BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia sebagaimana tercantum
dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia
merupakan negara hukum. Hukum mempunyai peranan yang sangat mendasar
bagi kehidupan bangsa dan Negara karena telah ditegaskan dalam pasal 1
ayat (3) UUD 1945 tersebut. Ini mengandung makna bahwa hukum harus
menampilkan peranannya sebagai titik sentral dalam seluruh kehidupan
orang perorangan maupun kehidupan berbangsa dan bernegara[1])
Pelaksanaan penegakkan hukum dilakukan
oleh badan-badan peradilan dibawah Mahkamah Agung yang merupakan alat
kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam pasal 24 atay (1)
Undang-Undang Dasar 1945, bahwa :
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”
Sangat sedikit diantara sekian banyak
rakyat Indonesia yang menaruh perhatian pada hukum militer. Mungkin
orang menganggap bahwa hukum militer itu cukup untuk diketahui oleh
kalangan militer saja. Hal ini tentu tidak salah, tetapi juga tidak
seluruhnya benar. Hukum militer dari suatu negara merupakan sub sistem
hukum dari negara tersebut, karena militer itu adalah bagian dari suatu
masyarakat atau bangsa yang melakukan tugas khusus. Melakukan tugas
pembelaan negara dan bangsa, dengan menggunakan senjata atau dengan kata
lain tugas utamanya adalah bertempur.
Militer adalah orang terdidik, dilatih
dan dipersiapkan untuk bertempur. Karena itu bagi mereka diadakan
norma-norma atau kaidah-kaidah yang khusus. Mereka harus tunduk tanpa
reserve pada tata kelakuan yang ditentukan dengan pasti dan yang
pelaksanaannya di awasi dengan ketat. Beberapa pihak menganggap bahwa
yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Itu benar, tetapi
hendaknya jangan lupa bahwa salah satu unsur untuk menegakkan disiplin
itu adalah hukum. Karenanya hukum itu secara tidak langsung
menyelenggarakan pemeliharaan disiplin militer. Pengadilan Militer
sebagai wujud nyata bagi masyarkat umum adalah lembaga penegakan hukum
atau displin bagi para anggota militer.
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian singkat pada latarbelakang
permasalahan diatas, maka penulis mengidentifikasi beberapa permasalahan
terkait dlam penulisan tugas Hukum Acara Peradilan Militer ini yatu
mengenai berlakunya hukum pidana di lingkungan militer, yang meliputi :
- Apakah yustiabel dan yurisdiksi dari peradilan militer ?
- Bagaimanakah perubahan paradigma dalam sistem peradilan militer menuju keterbukaan ?
BAB III
PEMBAHASAN
A. Yustisiabel dan Yrisdiksi Peradilan Militer.
Yustisibel adalah orang-orang yang
tunduk atau ditundukkan pada kekuasaan suatu badan peradilan tertentu
sedangkan yusidiksi merupakan kekuasaan memeriksa atau mengadili.
Ketentuan mengenai yurisdiksi peradilan
militer yang ada hubungannya dengan subjek tindak pidana (kejahatan dan
pelanggaran) dalam pasal 3 ayat (1) Undang-Undnag Nomor 5 Tahun 1950,
sebagai berikut :
Yang masuk kekuasaan kehakiman dalam
peradilan ketentaraan ialah memeriksa dan memutus perkara pidana
terhadap kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh :
- Seorang yang pada waktu itu adalah anggota angkatan perang.
- Seorang yang pada waktu itu adalah orang yang dengan undang-undang atau dengan peraturan pemerintah ditetapkan sama denagn Angkatan Perang Republik Indonesia yang dimaksudkan dalam sub a
- Seorang yang pada waktu itu adalah anggota suatu golongan atau jawatan yang dipersamakan atau dianggap sebagai anggota Angkatan Perang Republik Indonesia oleh atau berdasarkan undang-undang.
- Seorang yag tidak termasuk golongan a, b, dan c tetapi atas ketetapan Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan ketentaraan.
Setelah diundangkannya Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, ketentuan mengenai
yustisiabel dan yurisdiksi peradilan militer ditentukan dalam pasal 9
dari undang-undang tersebut yang menyebutkan pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer berwenang :
- Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah :
- Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
- Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
- Prajurit;
- Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
- Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang;
- Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Dilihat dari kemandirian peradilan
militer dan hukum pidana militer, seseorang dapat merupakan (ditentukan)
sebagai yustisiabel peradilan militer, tetapi tidak selalu dapat
menjadi subjek dari suatu tindak pidana militer. Sebaliknya seseorang
yang dapat melakukan tindak pidana militer selalu merupakan yustisiabel
peradilan militer.
B. Perubahan Paradigma Dalam Sistem Peradilan Militer Menju Keterbukaan.
Peradilan militer, bukan hanya milik
militer dan bagi kepentingan militer saja melainkan milik masyarakat
secara umum dan untuk kepentingan masyarakat umum pula, kpentingan yang
lebih mendasar adalah terkait perlindungan hukum bagi masyarakat luas,
sehingga secara internal perlu adanya sebuah paradigma baru bagi sistem
peradilan militer untuk lebih membuka diri bagi pihak luar dalam
berbagai proses yang menyangkut sistem peradilan militer.
Above the law, kata itulah yang mungking
sangat tepat untuk menggambarkan prilaku (oknum) anggota TNI
(Paspampres) yang merasa bebas dari aturan dan lepas dari tindakan
polisi. Namun, perikiraannya meleset, karena polisi ternyata tidak
pandang bulu. Dalam era reformasi masih banyak tingkah laku yang
memberikan gambaran betapa masih banyak oknum prajurit yang merasa era
sekarang masih era Orde Baru di mana tentara tidak terjamah hukum. Sikap
tersebut tetap melakat di dalam dirinya, meskipun alam sudah berubah di
mana perubahan itu menuntut perubahan prilaku prajurit pula. Memang
sangat sukar merubah sesuatu yang masih mendarah daging, terlebih sampai
sekarang masih ada keistimewaan hukum di mana anggota TNI tidak bisa
dijerat dengan hukum publik, meskipun kejahatan dan pelanggaran yang
dilakukan di luar konteks kejahatan dan pelanggaran kepada sesama
anggota dan di dalam konteks operasi militer. Hal itu merupakan kendala
bagi Polri untuk bertindak lebih jauh. Akibatnya, perasaan above the
(public) law masih terpatri dalam diri prajurit. Lihat saja, kasus
keberutalan oknum Paspampres yang merasa tidak diberi jalan oleh
pengendara mobil di mana telah menyebabkan dua warga sipil kena timah
panas. Dan, sampai sekarang, kita tidak tahu apakah kasus itu akan
diproses atau tidak. Biasanya kasus seperti itu akan menguap begitu saja
dan Polri akan berdalih bahwa hal itu bukan di bawah kewenangannya.
Banyak pihak-pihak meyakini, bahwa
kasus-kasus yang melibatkan gesekan antara polisi dan tentara, karena
tidak tuntasnya persoalan pemisahan kedua alat negara tersebut. Bahkan,
secara ekstrim KSAD Jenderal Riyamizard Riyacudu ketika mengomentari
penyerangan pos polisi di Mempawah mengatakan bahwa kasus serupa sangat
mungkin terjadi, jika tidak ada perubahan praturan menyangkut hubungan
TNI-Polri. Untuk itu, perlu ditata kembali agar gesekan-gesekan tersebut
tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. Apakah menata ulang itu
berarti mengembalikan Polri menjadi anak bawang kembali? Menurut saya
bukan persoalan peraturan yang telah menetapkan pemisahan Polisi dari
TNI (ABRI). Pemisahan tersebut sudah sangat baik, hanya saja jangan
terpatri kepada pemisahan kedua institusi tersebut, melainkan harus
diikuti dengan penguatan struktur polisi sipil dan penegak hukum publik
lainnya agar supremasi sebagai salah satu motivasi pemisahan Polri dari
TNI dan penghapusan dwi fungsi militer benar-benar terwujud. Hal itu
kiranya menuntut dirubahnya pardigma hukum yang telah memberikan
esklusivitas kepada prajurit selama ini. Perubahan paradigma tersebut
haruslah memberikan ruang kepada penyelidik dan penyidik sipil (Polri)
dan penegak hukum sipil lainnya seperti Kejaksaan dan Pengadilan Sipil
untuk menegakkan hukum publik bagi prajurit TNI. Oleh sebab itu, di
samping pemisahan TNI dan Polri masih perlu pengaturan lebih lanjut guna
menghindarkan gesekan di lapangan, juga diperlukan penataan kembali
perihal apa saja yang tetap jurisdiksi penegak hukum militer dan apa
saja yang harus berada di bawah jurisdiksi penegak hukum sipil.
Berkaitan itu, jika TNI memang
benar-benar mau mendukung proses demokrasi dan penegakan hukum harus
mulai mengamandemen peraturan yang menetapkan bahwa hanya Mahkamah
Militer yang bisa mengadili prajurit. Mahkamah Militer memang harus
tetap dipertahankan, hanya saja kasus-kasus yang ditangani tidak
bersifat menyeluruh seperti yang berlaku selama ini.
Menurut saya, kasus-kasus yang harus
tetap di bawah jurisdiksi Mahkamah Militer adalah kasus-kasus kejahatan
oleh prajurit terhadap sesama prajurit dan kejahatan atau pelanggaran
yang dilakukan dalam melaksanakan perintah operasi. Jika jurisdikasi
Mahkamah Militer kelak bisa dibatasi ke dalam dua hal tersebut, maka
kejahatan seperti pemerasan, penyerangan seperti di Mempawah, dan
kejahatan lainnya harus diproses di Pengadilan Sipil sehingga proses
hukumnya bisa diawasi oleh publik. Jika proses penuntutan dialihkan ke
Pengadilan Sipil, merupakan suatu keniscayaan bagi pihak kepolisian
untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan seperti yang mereka lakukan
kepada rakyat sipil.
Pada tahap awal, bantuan dari Polisi
Militer (PM) mutlak diperlukan untuk mendukung proses hukum yang
melibatkan oknum TNI. Akan tetapi, iklm penundukan terhadap hukum sipil
harus terus didorong agar persamaan di muka hukum termasuk dalam proses
penuntutan benar-benar terwujud. Selama ini yang memberlakukan status
sama dalam hal proses penunutan antara orang sipil dan militer hanya
dalam kasus terorisme selebihnya masih berlaku hukum yang lama.
Memperhatikan seringnya pelanggaran yang
dilakukan oleh oknum TNI, sudah waktunya memberlakukan pengadilan sipil
bagi mereka, agar efek penjerahan benar-benar terasa oleh mereka. Untuk
itu, perlu perhatian semua pihak terutama petinggi TNI agar anak
buahnya berhenti bersikap di atas hukum dan berlaku secara
sewenang-wenang kepada orang lain. Jadikanlah beberapa kasus bentrokan
tersebut sebagai isyarat bahwa di garis bawah masih ada keengganan untuk
tunduk di bawah hukum dan otoritas sipil.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
- Yustisibel daripada peradilan militer adalah prajurit, yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit, anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang; dan seseorang yang tidak masuk golongan pada yang teah disebutkan tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Sedangkan yusidiksi merupakan kekuasaan memeriksa atau mengadili perkara pidana terhadap kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang yang tunduk atau ditundukkan pada kekuasaan peradilan militer.
- Perubahan paradigma dalam sistem peradilan militer menju keterbukaan, artinya peradilan militer, bukan hanya milik militer dan bagi kepentingan militer saja melainkan milik masyarakat secara umum dan untuk kepentingan masyarakat umum pula, kepentingan yang lebih mendasar adalah terkait perlindungan hukum bagi masyarakat luas, sehingga secara internal perlu adanya sebuah paradigma baru bagi sistem peradilan militer untuk lebih membuka diri bagi pihak luar dalam berbagai proses yang menyangkut sistem peradilan militer.
B. Saran
Sebagai saran maka penulis menyebutkan
beberapa hal yang diharapkan semoga saja dapat memeberikan masukan
kepada pihak-pihak yang terkait, diantaranya yaitu :
- Pelaksanaan peradilan militer haruslah murni dan memenuhi ciri dan sifat kodratnya sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka dan lepas dari interfensi komandan atau siapapun.
- Pelaksanaan peradilan dilingkungan militer hendaknya tetap mengutamakan penegakan hukum dengan tanpa mengesampingkan atau merugikan kepentingan militer (negara).
- Diperlukan penataan kembali perihal apa saja yang tetap jurisdiksi penegak hukum militer dan apa saja yang harus berada di bawah jurisdiksi penegak hukum sipil.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Mulya Sumaperwata, Hukum Acara Peradilan Militer, Alumnus Press, Bandung, 2007.
Fadillah Agus, Hukum Humaniter Suatu Perspektif, Pusat Studi Hukum Humaniter Fakultas Hukum USAKTI, Jakarta, 1997.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat dan Pembangunan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1975.
Peraturan perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
[1]) Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat dan Pembangunan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1975, hlm. 27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar