BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sangat sedikit diantara sekian banyak
rakyat Indonesia yang menaruh perhatian pada hukum militer. Mungkin
orang menganggap bahwa hukum militer itu cukup untuk diketahui oleh
kalangan militer saja. Hal ini tentu tidak salah, tetapi juga tidak
seluruhnya benar. Hukum militer dari suatu negara merupakan sub sistem
hukum dari negara tersebut, karena militer itu adalah bagian dari suatu
masyarakat atau bangsa yang melakukan tugas khusus. Melakukan tugas
pembelaan negara dan bangsa, dengan menggunakan senjata atau dengan kata
lain tugas utamanya adalah bertempur.
Militer adalah orang terdidik, dilatih
dan dipersiapkan untuk bertempur. Karena itu bagi mereka diadakan
norma-norma atau kaidah-kaidah yang khusus. Mereka harus tunduk tanpa
reserve pada tata kelakuan yang ditentukan dengan pasti dan yang
pelaksanaannya di awasi dengan ketat.
Beberapa pihak menganggap bahwa yang
terpenting bagi militer adalah disiplin. Itu benar, tetapi hendaknya
jangan lupa bahwa salah satu unsur untuk menegakkan disiplin itu adalah
hukum. Karenanya hukum itu secara tidak langsung menyelenggarakan
pemeliharaan disiplin militer.
Pengadilan Militer sebagai wujud nyata
bagi masyarkat umum adalah lembaga penegakan hukum atau displin bagi
para anggota militer.
Dalam makalah ini, penulis akan
memaparkan sejarah peradilan militer dari zaman pendudukan Belanda
hingga masa sekarang ini. Paparan tersebut tidaklah selengkap yang
seharusnya sebuah sejarah, tapi hanya terbatas pada garis-garis besar
atau peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah peradilan
militer di Indonesia.
B. Maksud dan Tujuan
Pembuatan makalah ini diharapkan dapat
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan di bidang
Hukum Acara Peradilan Militer pada khususnya.
Disamping itu secara khusus sesuai dengan rumusan permasalahan, tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
- Untuk mengetahui ssistem peradilan yang ada di Indonesia pada masa sebelum dan sesudah merdeka
- Untuk mengetahui alasan-alasan mengapa dilakukan pemisahan antara peradilan umum dengan peradilan militer.
C. Identifikasi Masalah
Keadaan negara Republik Indonesia sejak
awal kemerdekaan hingga tahun 1960-an berada dalam keamanan yang tidak
stabil. Pemberontakan terjadi dimana-mana, yang menuntut kerja keras
militer untuk memberantasnya demi terciptanya iklim negara yang aman dan
tentram. Kerja militer ini membutuhkan lembaga peradilan untuk menjamin
penegakan hukm bagi prajurit yang melanggar hukum. Rumusan masalah
dalam makalah ini adalah :
- Bagaimanakah sistem peradilan militer di Indonesia pada masa pendudukan Belanda dan Jepang ?
- Bagaimanakah sistem peradilan militer Indonesia dimasa kemerdekaan ?
- Mengapa diadakan pemisahan peradilan umum dengan peradilan militer ?
E. Defenisi
Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tidak
secara tegas memberikan defenisi Peradilan Militer. Namun beberapa
pendapat pakar bisa dijadikan acuan :
- Peradilan adalah segala sesuatu mengenai perkara pengadilan (kamus besar bahasa Indonesia).
- Peradilan adalah segala sesuatu yang bertalian dengan tugas hakim memutus perkara, baik perdata maupun pidana, untuk menjamin ditaatinya hukum materil (Sudikno Mertokusumo).
- Militer adalah yang mereka yang berikatan dinas secara sukarela pada angkatan perang, yang wajib berada dalam dinas secara terus menerus dalam tenggang waktu ikatan dinas.(pasal 46 KUHPM).
- Peradilan Militer adalah pelaksanaan kekuasaan kehakiman di lingkungan angkatan bersenjata, untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara (pasal 5 UU No. 31 Tahun 1997).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masa Pendudukan Belanda dan Jepang
Sebelum PD II peradilan militer Belanda
di kenal dengan nama ‘ Krijgsraad’ dan ‘Hoog Militair Gerechtshof’, hal
ini sebagaimana tercantum dalam bepalingen Betreffende de rechtsmaacht Van De militaire rechter in nederlands Indie, S. 1934 No. 173 dan De Provisionele Instructie Voor Het Hoog Militair Gerechtshof Van Nederlands Indie, S.1992 No. 163.
Peradilan ini ruang lingkupnya meliputi
pidana materil yang anggotanya terdiri dari anggota angkatan darat
Belanda di Indonesia (Hindia Belanda) yaitu KNIL dan Angkatan Laut
Belanda. Untuk diketahui, Angkatan Laut ini merupakan bagian integral
dari Angkatan Laut kerajaan Belanda (Koninklijke Marine), sedangkan KNIL
merupakan organisasi tersendiri dalam arti terlepas dari tentatara
kerajaan Belanda (Koninklijke Leger). Atas dasar ini maka KNIL diperiksa
dan diadili oleh Krijgsraad untuk tingkat pertama dan Hoog Militair Gerechtshop pada tingkat banding, sedangkan anggota angkatan laut diperiksa dan diadili oleh Zee Krijraad dan Hoog Militair Gerecht Shoof.
Krijgsraad terdapat di kota, Cimahi, Padang, dan Makassar dengan wilayah meliputi:
- Cimahi : Jawa Madura, Palembang, Bangka, Belitung, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, Kalimantan, Bali, Lombok.
- Padang : Sumbar, Tapanuli, Aceh dan Sumatera Timur
- Makassar : Sulawesi, Maluku dan Timor
Krijsraad memeriksa dan mengadili
perkara pidana pada tingkat pertama terhadap anggota militer dengan
pangkat Kapten ke bawah dan orang-orang sipil yang bekerja di militer.
Sedangkan Hoog Militair Gerecht shoof merupakan pengadilan militer
instansi kedua (banding) serta mengadili pada tingkat pertama untuk
Kapten ke atas dan yang tertinggi di Hindia Belanda serta berkedudukan
di Jakarta.
Pada masa pendudukan Balatentara Jepang pada tanggal 2 maret 1942, berdasarkan Osamu Gunrei No. 2 tahun 1942, membentuk Gunritukaigi
(peradilan militer) untuk mengadili perkara-perkara pelanggaran
undang-undang militer Jepang. Pengadilan militer ini bertugas mengadili
perbuatan-perbuatan yang bersifat mengganggu, menghalang-halangi dan
melawan balatentara Jepang dengan pidana terberat hukuman mati.
Gunritukaigi dikepalai oleh Sirei Kan (pembesar Balatentara Jepang), yang beranggotakan :
- Sinbankan ; hakim yang memberikan putusan
- Yosinkan ; hakim yang memeriksa perkara sebelum persidangan
- Kensatakun ; Jaksa
- Rokusi ; Panitera
- Keiza ; Penjaga terdakwa.
B. Masa Awal Kemerdekaan (1945-1950)
Pada tanggal 5 Oktober 1945 Angkatan Perang RI dibentuk tanpa diikuti pembentukan Peradilan Militer.
Peradilan Militer baru dibentuk setelah
dikeluarkannya Undag-undang Nomor 7 Tahun 1946 tentang Peraturan
mengadakan Pengadilan Tentara disamping pengadilan biasa, pada tanggal 8
Juni 1946, kurang lebih 8 bulan setelah lahirnya Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia. Dalam masa kekosongan hukum ini, diterapkan hukum
disiplin militer dan bersamaan dengan ini pula dikeluarkan Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1946 tentang Hukum Acara Pidana guna peradila Tentara.
Dengan dikeluarkannya kedua
undang-undang diatas, maka peraturan-peraturan di bidang peradilan
militer yang ada pada zaman sebelum proklamasi, secara formil dan
materil tidak diperlakukan lagi.
Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1946 Penradilan tentara di bagi menjadi 2 (dua) tingkat, yaitu :
- Mahkamah Tentara
- Mahkamah Tentara Agung.
Peradilan Tentara berwenang mengadili perkara pidana yang merupakan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh :
- Prajurit Tentara (AD) Republik Indonesia, Angkatan laut dan Angkatan Udara
- Orang yang oleh presiden dengan PP ditetapkan sama dengan prajurit
- Orang yang tidak termasuk golongan (a) dan (b) tetapi berhubungan dengan kepentingan ketentaraan.
Pengadilan juga diberi wewenang untuk
mengadili siapapun juga, bila kejahatan yang dilakukan termasuk dalam
titel I dan II buku II KUHP yang dilakukan dalam daerah yang dinyatakan
dalam keadaan bahaya.
Mahkamah Tentara merupakan pengadilan
tingkat pertama yang berwenang mengadili perkara dengan tersangka
prajurit berpangkat Kapten ke bawah.
Mahkamah Tentara Agung, pada tingkat pertama dan terakhir untuk perkara :
- Terdakwanya serendah-rendahnya berpangkat Mayor
- Seorang yang jika dituntut di pengadilan biasa diputus oleh PT atau MA
- Perselisihan kewenangan antara Mahkamah-mahkamah tentara
Mahkamah Tentara Agung pada tingkat
kedua dan terakhir, mengadili perkara yang telah diputus oleh mahkamah
tentara. Persidangan di pisahkan menjadi dua yakni persidangan untuk
perkara kejahatan dan perkara pelanggaran.
Pada tahun 1948 dikeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 tahun 1948, yang mengubah beberapa ketentuan
susunan, kedudukan dan daerah hukum yang telah diatur sebelumnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1948 ini mengatur peradilan tentara
dengan susunan :
- Mahkamah Tentara
- Mahkamah Tentara Tinggi
- Mahkamah Tentara Agung
Dengan demikian sistem peradilan dua
tingkat yang diatur sebelumnya berubah menjadi tiga tingkat, dengan
masing-masing kewenangan;
- Mahkamah Tentara, mengadili dalam tingkat pertama kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan prajurit berpangkat kapten ke bawah
- Mahkamah Tentara Tinggi, pada tingkat pertama mengadili prajurit yang berpangkat Mayor ke atas. Pada tingkat kedua memeriksa dan memutus segala perkara yang telah diputus mahkamah tentara yang diminta ulangan pemeriksaan.
- Mahkamah Tentara Agung, pada tingkat pertama da terakhir memeriksa dan memutus perkara kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Panglima Besar, Kastaf Angkatan Perang, Kastaf Angkatan Darat, Kastaf Angkatan Laut, Kastaf Angkatan Udara, Panglima Tentara Teritorium Sumatera, Komandan Teritorium Jawa, Komandan Teritorium Sumtera, Panglima Kesatuan Reserve Umum, Kastaf Pertahanan Jawa Tengah dan Kastaf Pertahanan Jawa Timur.
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut juga diatur adanya 3 tingkat kejaksaan tentatara :
- Kejaksaan Tentara
- Kejaksaan Tentara Tinggi
- Kejaksaan Tentara Agung
Hukum Pidana Materil yang berlaku pada
masa berlakunya Undang-undang Nomor 7 tahun 1946 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 tahun 1948 adalah sebagai berikut :
- KUHP (UU. No. 1 tahun 1946)
- KUHPT (UU. No. 39 Tahun 1947 jo. S. 1934 No. 167)
- KUHDT (UU. No. 40 Tahun 1947 jo. S. 1934 No. 168)
Pada masa tahun 1946 hingga 1948
diadakan Peradilan Militer Khusus, sebagai akibat dari peperangan yang
terus berlangsunf yang mengakibatkan putusnya hubungan antar daerah.
Peradilan militer khusus ini meliputi:
- Mahkamah Tentara Luar Biasa (PP. No. 5 tahun 1946).
- Mahkamah Tentara Sementara (PP. No. 22 tahun 1947).
- Mahkamah Tentara Daerah Terpencil (PP. No. 23 Tahun 1947).
Pada tanggal 19 Desember 1948 tentara
Belanda melakukan agresinya yang kedua terhadap negara Republik
Indonesia. Agresi tersebut dimaksudkan untuk menghancurkan Tentara
Nasional Indonesia dan selanjutnya pemerintah RI. Aksi tersebut
mengakibatkan jatuhnya kota tempat kedudukan badan-badan peradilan ke
tangan Belanda.
Mengingat kondisi ini, maka
dikeluarkanlah peraturan darurat tahun 1949 Nomor 46/MBKD/49 yang
mengatur Peradilan Pemerintahan Militer untuk seluruh pulau Jawa
-Madura. Peraturan tersebut memuat tentang :
- Pengadilan Tentara Pemerintahan Militer
- Pengadilan Sipil Pemerintah Militer
- Mahkamah Luar Biasa
- Cara menjalankan Hukuman Penjara.
Selanjutnya dalam makalah ini penulis
akan membatasi dengan hanya membahas pengadilan tentara pemerintahan
militer. Pada masa ini Pengadilan Militer terdiri atas tiga badan yaitu:
- Mahkamah Tentara Onder Distrik Militer (MTODM), berkedudukan sama dengan komandan ODM yang berwenang mengadili prajurit tingkat Bintara.
- Mahkamah Tentara Distrik Militer (MTDM), berkedudukan sama dengan komandan DM yang berwenang mengadili perwira pertama hingga Kapten.
Mahkamah Tentara Daerah Gubernur
Militer, (MTGM), berkedudukan sama dengan Gubernur militer yang
berwenang mengadili kapten sampai Letnan Kolonel. Peraturan darurat
tersebut hanya berjalan selama kurang lebih 6 bulan, kemudian pada
tanggal 12 juli 1949 menteri kehakiman RI mencabut Bab II peraturan
tersebut. Kemudian pada tanggal 25 Desember 1949 dengan PERPU No. 36
tahun 1949 mencabut seluruhnya materi Peraturan darurat No. 46/MBKD/49,
dan aturan yang berlaku sebelumnya dinyatakan berlaku lagi.
Berdasarkan Undang-undang darurat No. 16 tahun 1950, mengatur peradilan tentara kedalam tiga tingkatan yaitu:
- Mahkamah Tentara
- Mahkamah Tentara Tinggi
- Mahkamah Tentara Agung
Sementara untuk Kejaksaan dibagi atas :
- Kejaksaan Tentara
- Kejaksaan Tentara Tinggi
- Kejaksaan Tentara Agung
Undang-undang darurat No. 16 tahun 1950
kemudian dicabut dengan lahirnya UU No. 5 tahun 1950, yang sebenarnya
hanya merupakan penggantian formil saja, sedangkan mengenai materinya
tetap tidak mengalami perobahan. Pada masa ini masa RIS lahir Mahkamah
Tentara di banyak tempat, seperti :
1. Jawa – Madura pada kota-kota :
- Jakarta, dengan daerah hukumya Keresidenan Jakarta, Banten dan Bogor
- Bandung, meliputi Keresidenan Priangan dan Cirebon
- Pekalongan, meliputi Keresidenan Pekalongan dan Banyumas
- Semarang, meliputi Keresidenan Semarang dan Pati
- Yogyakarta, meliputi Keresidenan Yogyakarta dan Kedu
- Surakarta, meliputi: Keresidenan Surakarta dan Madiun
- Surabaya, meliputi Keresidenan Surabaya, Bojonegoro dan Madura
- Malang, meliputi Keresidenan Malang dan Besuki.
Dengan Yogyakarta sebagai tempat kedudukan Mahkamah Tentara Tinggi, untuk daerah Jawa-Madura.
2. Sumatera, Mahkamah Tentara berkedudukan dikota:
- Medan, meliputi bekas Keresidenan Aceh, Riau dan Sumatera Timur
- Padang, meliputi bekas Keresidenan Sumatera Barat dan Tapanuli
- Palembang, meliputi bekas Keresidenan Palembang, Jambi, Bengkulu, Lampung dan Bangka-Belitung.
Bukit Tinggi merupakan tempat kedudukan Mahkamah Tentara Tinggi untuk seluruh Sumatera
3. Kalimantan, Mahkamah Tentara berkedudukan dikota:
- Pontianak, meliputi bekas Keresidenan Kalimantan Barat dengan pulau-pulaunya
- Banjarmasin, meliputi bekas Keresidenan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
Mahkamah Tentara Tinggi untuk seluruh Kalimantan berkedudukan di Jakarta.
Mahkamah Tentara di Indonesia Timur berada di kota:
- Makassar, meliputi Propinsi Sulawesi dan bekas Afdeling Ternate
- Ambon, meliputi seluruh wilayah Maluku di kurangi Ternate
- Denpasar, meliputi seluruh wilayah Propinsi Sunda Kecil (NTT-B).
Mahkamah Tentara Tinggi berkeduduan di Makassar dan Mahkamah Tentara Agung berkedudukan di Mahkamah Agung Indonesia.
C. Masa Berlakunya UUDS 1950 (1950-1959)
Ketentuan yang telah ada pada masa RIS
tetap berlaku kecuali yang tidak sesuai dengan tujuan negara kesatuan.
Daerah hukum Mahkamah Tentara mengalami perubahan (penambahan dan
pengurangan) seperti:
1. Jawa-Madura
- Jakarta, tambah Kab. Kep. Riau (Tanjung Pinang)
- Surabaya, tambah Kediri
2. Sumatera
- Medan, dikurangi Kab. Kep. Riau tapi ditambah dengan Tapanuli
- Padang, dikurangi Tapanuli dan ditambah Kampar (Pekanbaru)
Kedudukan Pengadilan Tinggi Tentara yang sebelumnya di Bukit Tinggi dipindah ke Medan dengan wilayah hukum seluruh Sumatera.
3. Kalimantan
Pengadilan Tinggi Tentara dipindah dari Jakarta ke Surabaya.
Pada periode 1950-1959 di negar kita
terjadi keadaan darurat, sebagai dampak dari politik federalisme kontra
unitarisme. Seperti pemberontakan Andi azis di Makassar, Peristiwa APPRA
di Bandung, RMS di Maluku, peristiwa DI/TII di Jabar, Jateng, Aceh dan
Sulawesi Selatan serta peristiwa yang tidak kalah besar ialah peristiwa
PRRI/Permesta di Sumtera dan Sulawesi.
Berangkat dari kondisi diatas, dan demi
untuk tetap menegakkan hukum di lingkungan militer, maka di bentuklah
Peradilan Militer Khusus seperti;
- Mahkamah Tentara Luar Biasa : Putusan mahkamah ini tidak dapat di mintakan banding
- Mahkamah Angkatan Darat/Udara pertempuran : Putusan mahkamah ini merupakan tingkat pertama dan terakhir.
D. Masa Juli 1959-11 Maret 1966
Pada Tanggal 5 Juli 1959 Presiden RI
mengeluarkan dekrit yang menyatakan pembubaran Konstituante dan
berlakunya kembali UUD 1945. Undang-undang Nomor 5 tahun 1950 sejak
dikeluarkannya dekrit tetap berlaku, tetapi perkembangan selanjutnya
menyebabkan penerapannya berbeda dengan periode sebelum dekrit 5 Juli
1959. Hal ini karena makin disadari bahwa kehidupan militer memiliki
corak kehidupan khusus, disiplin tentara yang hanya dapat dimengerti
oleh anggota tentara itu sendiri. Karena itu dirasakan perlunya fungsi
peradilan diselenggarakan oleh anggota militer.
Pada tanggal 30 Oktober 1965 di
undangkan Penetapan Presiden No.22 tahun 1965, tentang perobahan dan
tambahan beberapa pasal dalam UU. No. 5 tahun 1950. Perobahan-perobahan
tersebut adalah mengenai pengangkatan pejabat-pejabat utama pada
badan-badan peradilan militer. Dengan adanya ketentuan tentang
pengangkatan tersebut, maka ketua pengadilan tentara dan pengadilan
tentara tinggi, yang menurut ketentuan lama, karena jabatannya dijabat
oleh oleh ketua pengadilan Negeri/ketua pengadilan tinggi, sekarang di
jabat oleh pejabat dari kalangan Militer sendiri. Perubahan sama berlaku
pula pada panitera. Penyiapan tenaga ini telah dilakukan sejak tajun
1952 dengan mendirikan dan mendidik para perwira pada akademi hukum
militer. Tahun 1957 angkatan I telah lulus kemudian melanjutkan ke
Fakultas Hukum dan pengetahuan masyarakat, Universitas Indonesia.
Tahun 1961 merupakan awal pelaksanaan
peradilan militer diselenggarakan oleh para perwira ahli atau sarjana
hukum, sesuai dengan instruksi Mahkamah agung No. 229/2A/1961 bahwa
mulai september 1961 hakim militer sudah harus mulai memimpin sidang
pengadilan tentara. Demkian halnya dengan kejaksaan.
Dengan perkembangan tersebut diatas,
dimulailah babak baru dalam penyelenggaraan Peradilan Militer.
Perkembangan selanjutnya ialah anggota dari suatu angkatan diperiksa dan
diadili oleh hakim jaksa dari angktan bersangkutan. Perkembangan
selanjutnya yang perlu mendapat perhatian adalah di undangkannya
Undang-undang Nomor 3 PNPS tahun 1965 tentang memberlakukan Hukum Pidana
Tentara, Hukum Acara Pidana Tentara dan Hukum disiplin tentara bagi
angkatan Kepolisian pada tanggal 15 maret 1965.
Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya
Undang-undang Nomor 23 PNPS 1965 pada tanggal 30 Oktober 1965 yang
menetapkan bahwa dalam tingkat pertama, tantama, bintara dan perwira
polisi yang melakukan tindak pidana di adili oleh badan peradilan dalam
lingkungan angkatan kepolisian. Sebelumnya diadili di badan peradilan
angkatan darat dan angkatan laut untuk yang kepulauan Riau. Dengan
demikian peradilan dalam lingkungan Peradilan Militer dalam
pelaksanaannya terdiri dari :
- Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Darat
- Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Laut
- Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Udara
- Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Kepolisian.
Peradilan ini terus berlangsung hingga
setelah 11 maret 1966, bahkan peradilan di lingkungan angkatan
kepolisian baru di mulai pada tahun 1966.
E. Masa 11 Maret 1966-1997
Pelaksanaan peradilan militer didalam
lingkungan masing-masing angkatan seperti yang ada sebelumnya tetap
berlaku hingga pada awal 1973.
Tahun 1970 lahirlah Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970 menggantikan Undang-undang Nomor 19 tahun 1964 tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang ini
mendorong proses integrasi peradilan di lingkungan militer. Baru
kemudian berubah ketika dikeluarkan berturut-turut :
- Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan/Pangab pada tanggal 10 Juli 1972 No. J.S.4/10/14 – SKEB/B/498/VII/72
- Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan keamanan pada tanggal 19 maret 1973 No. KEP/B/10/III/1973 – J.S.8/18/19. Tentang perobahan nama, tempat kedudukan, daerah hukum, jurisdiksi serta kedudukan organisatoris pengadilan tentara dan kejaksaan tentara.
Barulah kemudian peradilan militer
dilaksanakan secara terintegrasi. Pengadilan militer tidak lagi berada
di masing-masing angkatan tetapi peradilan dilakukan oleh badan
peradilan militer yang berada di bawah departemen pertahanan dan
keamanan. Kemudian berdasar dari SK bersama tersebut, maka nama
peradilan ketentaraan di adakan perubahan. Dengan demikian, maka
kekuasaan kehakiman dalam peradilan militer dilakukan oleh:
- Mahkamah Militer (MAHMIL)
- Mahkamah Militer Tinggi (MAHMILTI)
- Mahkamah Militer Agung (MAHMILGUNG).
Pada tahun 1982 dikeluarkan
Undang-undang No. 20 tahun 1982 tentang ketentuan pokok pertahanan
keamanan negara RI yang kemudian diubah dengan undang-undang No 1 tahun
1988. Undang -undang ini makin memperkuat dasar hukum keberadaan
peradilan militer. Pada salah satu point pasalnya dikatakan bahwa
angkatan bersenjata mempunyai peradilan tersendiri dan komandan-komandan
mempunyai wewenang penyerahan perkara. Hingga tahun 1997 hampir tidak
ada perubahan yang signifikan dalam pelaksaanan peradilan militer di
Indonesia.
F. Peradilan Militer 1997 – Sekarang
Pada tahun 1997 diundangkan UU No. 31
tahun 1997 tentang peradilan militer. Undang-undang ini lahir sebagai
jawaban atas perlunya pembaruan aturan peradilan militer, mengingat
aturan sebelumnya dipandang tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat
undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman. Undang-undang ini kemudian mengatur susunan peradilan militer
yang terdiri dari :
- Pengadilan Militer
- Pengadilan Militer Tinggi
- Pengadilan Militer Utama
- Pengadilan Militer Pertempuran.
Dengan diundangkannya ketentuan ini,
maka Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang susunan dan kekuasaan
pengadilan atau kejaksaan dalam lingkungan peradilan ketentaraan,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 22 PNPS Tahun 1965
dinyatakan tidak berlaku lagi. Demikian halnya dengan Undang-undang
Nomor 6 tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada pengadilan tentara,
sebagaimana telah di ubah dengan UUndang-undang Nomor 1 Drt tahun 1958
dinyatakan tidak berlaku lagi.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari paparan sejarah militer diatas, dengan berbagai macam perubahan system peradilan, dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Pada masa pendudukan Belanda, peradilan militer mengadili pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan oleh tentara Belanda yang tergabung kedalam angkatan darat dan angkatan laut. Angkatan darat diadili oleh Krijsraad sedangkan angkatan laut diadili oleh Zee Krijsraad karena masih merupakan bagian dari tentara kerajaan Belanda. Berbeda dengan peradilan militer di zaman Jepang. Pada masa ini peradilan militer dibentuk dengan tujuan utama untuk mengadili mereka yang mengganggu atau melawan balatentara Jepang.
- Sejak kemerdekaan Republik Indonesia hingga saat sekarang ini, peradilan militer telah menjalani perubahan berkali-kali, baik dari segi penamaan, tingkatan maupun kewenangan mengadili. Hal ini ditandai dengan lahirnya beberapa peraturan tentang peradilan militer, yang pada akhirnya lahir Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 Tentang Peradilan Militer, yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi beberapa peraturan sebelumnya.
- Militer sebagai orang terdidik, dilatih dan dipersiapkan untuk bertempur, bagi mereka diadakan norma-norma yang khusus. Mereka harus tunduk tanpa reserve pada tata kelakuan yang telah ditentukan dan diawasi dengan ketat. Karena kekhususan dalam mengemban tugas ini, mengakibatkan terjadinya pemisahan peradilan anggota tentara dengan masyarakat umum. Penegakan disiplin yang sangat ketat dan harus dipertanggung jawabkan di lembaga khusus jika melanggar. Mereka diadili dengan aturan yang khusus berlaku bagi mereka dengan tidak mengesampingkan kenyataan yang hidup ditengah masyarakat.
B. Saran-saran
Sebagai saran maka penulis menyebutkan
beberapa hal yang diharapkan semoga saja dapat memeberikan masukan
kepada pihak-pihak yang terkait, diantaranya yaitu :
- Pelaksanaan peradilan militer haruslah murni dan memenuhi ciri dan sifat kodratnya sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka dan lepas dari interfensi komandan atau siapapun.
- Pelaksanaan peradilan dilingkungan militer hendaknya tetap mengutamakan penegakan hukum dengan tanpa mengesampingkan atau merugikan kepentingan militer (negara).
DAFTAR PUSTAKA
Hersoebeno. Pemeriksaan Permulaan Dalam Sistem Peradilan Militer. Jakarta: Perguruan Tinggi Hukum Militer, 1994.
Ka’bah, Rifyal, ed. Indonesian Legal History. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001.
Kasdiyanto. Pemeriksaan In Absentia dalam Perkara Desersi di Lingkungan Peradilan Militer. Jakarta: Sekolah Tinggi Hukum Militer, 1999.
Keraf, Gorys. Komposisi. Flores: Nusa Indah, 1993.
Nurani, Agus. Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Piodana Koneksitas. Jakarta: Sekolah Tinggi Hukum Militer, 1999.
Soegiri dkk. 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di Negara Republik Indonesia. Jakarta: Indra Jaya, 1976.
Soepomo. Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II. Jakarta: Pradnya Paramita, 1991.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Sejarah Hukum. Bandung: Alumni, 1983.
Salam, Faisal. Peradilan Militer Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 1994.
Sjarif, Amiroeddin. Hukum Disiplin Militer Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar