Senin, 13 Mei 2013

Inses, Hal Biasa bagi Warga Suku Polahi

Bagi masyarakat umum, kawin dengan saudara kandung merupakan sebuah pantangan, dan bahkan tidak bisa ditoleransi. Namun, hal itu tidak berlaku bagi suku Polahi di pedalaman Gorontalo. Mereka hingga saat ini justru hanya kawin dengan sesama saudara mereka.

"Tidak ada pilihan lain. Kalau di kampung banyak orang, di sini hanya kami. Jadi kawin saja dengan saudara," ujar Mama Tanio, salah satu perempuan Suku Polahi yang ditemui di Hutan Humohulo, Pegunungan Boliyohuto, Kecamatan Paguyaman, Kabupaten Boalemo, minggu lalu.

Suku Polahi merupakan suku yang masih hidup di pedalaman hutan Gorontalo dengan beberapa kebiasaan yang primitif. Mereka tidak mengenal agama dan pendidikan, serta cenderung tidak mau hidup bersosialisasi dengan warga lainnya.

Walau beberapa keluarga Polahi sudah mulai membangun tempat tinggal tetap, tetapi kebiasaan nomaden mereka masih ada. Polahi akan berpindah tempat, jika salah satu dari keluarga mereka meninggal.
Hal biasa bagi mereka ketika seorang ayah mengawini anak perempuannya sendiri, begitu juga seorang anak laki-laki kawin dengan ibunya.
Nah, salah satu kebiasaan yang hingga sekarang masih terus dipertahankan oleh suku Polahi adalah kawin dengan keluarga sendiri yang masih satu darah. Hal biasa bagi mereka ketika seorang ayah mengawini anak perempuannya sendiri, begitu juga seorang anak laki-laki kawin dengan ibunya.

Kondisi ini diakui oleh satu keluarga Polahi yang ditemui di hutan Humohulo. Kepala sukunya, Baba Manio, meninggal dunia sebulan lalu. Baba Manio beristri dua, Mama Tanio dan Hasimah. Dari perkawinan dengan Mama Tanio, lahir Babuta dan Laiya.

Babuta yang kini mewarisi kepemimpinan Baba Manio memperistri adiknya sendiri, hasil perkawinan Baba Manio dengan Hasimah. Hasimah sendiri merupakan saudara dari Baba Manio. Kelak anak-anak Babuta dan Laiya akan saling kawin juga.

"Kalau mau kawin, Baba Manio membawa mereka ke sungai. Disiram dengan air sungai lalu dibacakan mantra. Sudah, cuma itu syaratnya," ujar Mama Tanio dengan polosnya.

Keterisolasian mereka di hutan dan ketidaktahuan mereka terhadap etika sosial dan agama membuat suku Polahi tidak mengerti bahwa inses dilarang. Bagi mereka, kawin dengan sesama saudara kandung adalah salah satu cara untuk mempertahankan keturunan Polahi. "Yang mengherankan, tidak ada dari turunan mereka yang cacat sebagaimana akibat dari perkawinan satu darah pada umumnya," ujar Ebbi Vebri Adrian, seorang juru foto travel yang ikut menyambangi suku Polahi.

Memang belum ada penelitian yang bisa mengungkapkan akibat dari perkawinan satu darah yang terjadi selama ini di Suku Polahi. Namun, dibandingkan dengan suku-suku pedalaman lainnya di Indonesia, mungkin hanya Polahi yang mempunyai kebiasaan primitif tersebut. Sebuah ironi yang masih saja terjadi di belahan bumi Indonesia ini. 


 Mengapa Suku Polahi Terus Hidup Nomaden?

Ada kegalauan yang terbesit di wajah Babuta, ketika ditanyai tentang apa yang akan dia lakukan dengan keluarganya kelak. Babuta kini dipercaya sebagai penerus kepemimpinan keluarga, setelah ayahnya, Baba Manio, yang selama ini dianggap sebagai Kepala Suku meninggal dunia sebulan lalu.

"Saya sekarang sudah sering turun ke kampung, menjual hasil hutan dan kebun untuk cari uang," ujar Babuta di rumah mereka di Hutan Humohulo, Pengunungan Boliyohuto, yang masuk dalam wilayah Kecamatan Paguyaman, Kabupaten Boalemo, minggu lalu.Rumah yang ditinggali oleh Babuta bersama keluarganya sudah terbuat dari papan hasil sisa perambah hutan dan atapnya terbuat dari daun kelapa dan daun rumbia. Walau masih terlihat sangat sederhana, tapi rumah itu sudah lebih baik dari tempat tinggal Polahi sebelumnya. "Dulu tetua kami hanya tinggal di gubuk yang dibuat di bawah pohon besar. Cuma dari ranting dan daun rumbia, alasnya dari kulit pohon," jelas Babuta.

Tempat tinggal seadanya tersebut membuat Polahi harus hidup berpindah-pindah. Mereka menyesuaikan dengan kondisi dan cuaca. "Hidup Polahi dulunya nomaden, mereka terus berpindah dengan mencari lahan yang bisa digarap," kata Rosyid Asrar, seorang fotografer yang meminati kehidupan Polahi.

Keberadaan perambah hutan membuat Polahi mengenal papan sehingga rumah yang mereka tinggali sekarang sudah lebih baik. Namun, salah satu kepercayaan yang dipegang oleh orang Polahi hingga sekarang, menbuat rumah mereka siap ditinggalkan kapan saja. "Kami baru saja pindah di sini, dulu tempat tinggal kami di bawah sana," ujar Babuta sambil menunjuk ke salah satu daerah datar yang dulunya mereka tempati.

Kematian ayahnya yang sekaligus Kepala Suku, Baba Manio, membuat keluarga Polahi harus berpindah mencari tempat yang baru. "Kalau ada yang meninggal, kami keluarga yang ada di situ harus pindah semua, cari tempat baru," jelas Babuta.

Alhasil, dengan kematian Baba Manio, kini mereka terpencar-pencar lagi. Masing-masing mencari tempat tinggal baru. Pastinya tempat tinggal baru tersebut harus ada lahan yang bisa ditanami dan harus dekat dengan sumber air.

Kini Babuta bersama istri dan anak-anaknya serta ibunya, Mama Tanio, tinggal di satu rumah. Sementara itu, anak Baba Manio yang satunya lagi, Laiya, bersama istri dan anak-anaknya tinggal di rumah yang terpisah agak jauh. Di rumah itu pula tinggal keluarga Polahi lainnya yang merupakan adik dari Mama Tanio.

"Dari data yang ada, di Hutan Humohulo ini sendiri ada 11 keluarga Polahi. Mereka tersebar di beberapa lokasi yang sulit dijangkau," ujar Udin Mole, Kepala Dusun Pilomohuta, Desa Bina Jaya, Kecamatan Paguyaman, Kabupaten Boalemo, yang secara administrasi membawahi para Polahi tersebut.

Kegalauan Babuta tersebut disebabkan karena keluarganya, terutama Mama Tanio, masih mempertahankan kebiasaan berpindah tersebut dan hidup terus di dalam hutan. Pemerintah sebelumnya pernah membangun lokasi permukiman bagi Polahi. "Ada sembilan rumah layak huni (Mahayani) yang dibangun di Desa Binajaya untuk ke-11 keluarga Polahi tersebut. Tetapi hanya beberapa saat saja mereka tinggali, sesudah itu mereka kembali masuk hutan," jelas Udin.

Mama Tanio menjelaskan, bukannya mereka tidak mau tinggal di lokasi yang lebih layak, tetapi sejak dari awal mereka telah hidup di hutan. Mereka percaya hutan dan alam dapat memberi mereka makan. "Di Mahayani panas, kami tidak tahan. Tidak ada kebun, kami tidak bisa hidup di situ, jadi kami kembali ke sini, di hutan ini," jelas Mama Tanio dengan mantap.

Babuta sendiri tidak menyangkal, dirinya khawatir akan pindah ke mana lagi jika ada anggota keluarganya yang meninggal sementara tempat mereka sekarang saja sudah sangat jauh dari perkampungan.

Kehidupan semi nomaden yang masih terus dipertahankan oleh suku Polahi tersebut membuat mereka hingga kini masih saja termarginalkan. Jangan ditanya bagaimana mereka mengenal dunia luar, untuk urusan agama dan pendidikan saja hampir mustahil mereka rasakan. "Kalau ada yang sakit, ya kami cari obat-obat dari hutan. Kalau sudah tidak bisa diobati baru kami bawa turun ke kampung, seperti Baba dulu," kata Babuta. 

SUMBER KOMPAS