Senin, 26 November 2012

Pancasila Ternyata Ada Dalam Kitab Suci Yahudi



Selama ini, Pancasila diyakini sebagai made in Indonesia asli, produk pemikiran yang digali dari rahim bumi pertiwi. Kemudian, berhasil dirumuskan sebagai ideologi dan falsafah bangsa oleh Bung Karno, hingga menjadi rumusan seperti yang kita kenal sekarang.

Sebagai peletak dasar negara Pancasila, Bung Karno sendiri mengaku, dalam merumuskan ideologi kebangsaannya, banyak terpengaruh pemikiran dari luar. Di depan sidang BPUPKI, Bung Karno mendeskripsikan pengakuannya:

“Pada waktu saya berumur 16 tahun, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis bernama A. Baars, yang memberi pelajaran pada saya, ‘jangan berpaham kebangsaan, tapi berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia”.

Tetapi pada tahun 1918, kata Bung Karno selanjutnya, alhamdulillah ada orang lain yang memperingatkan saya, yaitu Dr. Sun Yat Sen. Di dalam tulisannya San Min Chu I atau The Three People’s Principles, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan A. Baars itu. Sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan di hati saya oleh pengaruh buku tersebut.”

Pengakuan jujur Bung Karno ini membuktikan, sebenarnya Pancasila bukanlah produk domistik yang orisinal, melainkan intervensi ideologi transnasional yang dikemas dalam format domistik.

Sebagai gerakan zionisme internasional, freemasonry memiliki doktrin Khams Qanun yang diilhami Kitab Talmud. Yaitu, monoteisme (ketuhanan yang maha esa), nasionalisme (berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu Yahudi), humanisme (kemanusiaan yang adil dan beradab bagi Yahudi), demokrasi (dengan cahaya talmud suara terbanyak adalah suara tuhan), dan sosialisme (keadilan sosial bagi setiap orang Yahudi). (Syer Talmud Qaballa XI:45).

Tokoh-tokoh pergerakan di Asia Tenggara juga merujuk pada Khams Qanun dalam merumuskan dasar dan ideologi negaranya. Misalnya, tokoh China Dr. Sun Yat Sen, seperti disebut Bung Karno, dasar dan ideologi negaranya dikenal dengan San Min Chu I, terdiri dari: Mintsu, Min Chuan, Min Sheng, nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme.

Asas Katipunan Filipina yang dirumuskan oleh Andreas Bonifacio, 1893, dengan sedikit penyesuaian terdiri dari : nasionalisme, demokrasi, ketuhanan, sosialisme, humanisme. Begitupun, Pridi Banoyong dari Thaeland, 1932, merumuskan dasar dan ideologi negaranya dengan prinsip: nasionalisme, demokrasi, sosialisme, dan religius.

Sedangkan Bung Karno, proklamator kemerdekaan Indonesia, pada mulanya merumuskan ideologi dan dasar negara Indonesia yang disebut Panca Sila terdiri dari: nasionalisme (kebangsaan), internasionalisme (kemanusiaan), demokrasi (mufakat), sosialisme, dan ketuhanan.

Prinsip indoktrinasi zionisme, memang cukup fleksibel. Dan fleksibilitasnya terletak pada kemampuannya beradaptasi dengan pola pikir pimpinan politik disetiap negara.

Pertanyaannya, adakah kesamaan ideologi dari tokoh dan aktor politik di atas bersifat kebetulan, atau memang berasal dari sumber yang sama, tapi dimainkan oleh aktor-aktor politik yang berbeda?

Dalam kaedah mantiq, dikenal istilah tasalsul, yaitu rangkaian yang berkembang, mustahil kebetulan. Artinya, sesuatu yang berpengaruh pada yang sesudahnya, pastilah bukan kebetulan.

Rumusan Pancasila versi Bung Karno, memiliki kesamaan dengan doktrin zionisme yang dijiwai Talmud. Sehingga, klaim Pancasila sebagai produk domistik terbantahkan secara faktual.

Melestarikan Pancasila seperti diwariskan kedua rezim di atas, berarti melestarikan doktrin Yahudi, yang bertentangan dengan konstitusi negara. Dan tidak konsisten dengan semangat kemerdekaan. Muqadimah UUD 1945, menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.

Senin, 12 November 2012

Oleh Richard Ingham dan Mariette Le Roux

Serangan Badai Sandy ke New York harus harus meningkatkan kewaspadaan kota-kota besar Asia yang terletak di wilayah pesisir, yang lebih terbuka tapi kurang siap untuk menghadapi ancaman tersebut.

New York memiliki tata kota, tata pemerintahan yang baik dan  perekonomian terkaya di dunia saat diterpa badai yang terjadi sekali dalam seabad itu. Namun, hal itu tidak dimiliki banyak kota yang berkembang di pesisir pantai mulai dari Cina hingga Laut Arab, yang menjadi tempat jutaan orang mengadu nasib yang lebih baik.

"Kota-kota ini mengalami perkembangan yang sangat cepat dan mereka tidak hanya terancam kenaikan permukaan laut, tapi juga dengan adanya badai tropis," kata Bob Ward, direktur kebijakan di Grantham Research Institute on Climate Change and the Environment di London.

"Jelas tidak ada perencanaan tata kota, dan kota-kota itu dihuni banyak warga miskin yang tinggal di perumahan dengan kualitas yang sangat buruk dan akan menjadi sangat rentan dan terancam."

Sebuah penelitian OECD yang dilakukan pada 2007 mendaftar 20 kota pelabuhan, yang dari segi populasi akan paling terkena dampak banjir di pesisir pada 2070.

Lima belas kota terdapat di Asia, dengan delapan tempat pertama dipimpin oleh Kolkata diikuti oleh Mumbai, Dhaka, Guangzhou, Ho Chi Minh City, Shanghai, Bangkok dan Yangon.

Kota-kota Asia lainnya adalah Haiphong (ke-10), Tianjin (ke-12), Khulna di Banglades (ke-13), Ningbo di China (ke-14), Chittagong (ke-18), Tokyo (ke-19) dan Jakarta (ke-20). Lima sisanya Miami (ke-9), Alexandria di Mesir (ke-11), Lagos (ke-15), Abidjan di Pantai Gading (ke-16) dan New York, yang berada di urutan ke-17.

"Kota-kota yang memiliki  perlindungan tertinggi adalah negara-negara Eropa. Tempat-tempat seperti Belanda sudah benar-benar memiliki standar pertahanan (banjir) yang tinggi, sedangkan beberapa kota di Amerika, pertahanan mereka tidak begitu tinggi," kata Susan Hanson, ahli rekayasa pesisir di Tyndall Centre for Climate Change Research yang ikut menulis laporan tersebut.

Gabungan beberapa faktor membuat kota-kota besar itu sangat rentan, katanya.

Salah satunya adalah kenaikan rata-rata permukaan air laut, yang menurut model penelitian akan menjadi sekitar 50 cm (20 inci) pada 2070, saat suhu yang menghangat menyebabkan lautan semakin luas.

Lalu ada juga gelombang badai dari siklon, yang juga membawa hujan lebat.

Beberapa ilmuwan mengatakan badai ini bisa menjadi lebih ganas sering waktu, tetapi ilmuwan lainnya tidak sependapat.

Tom Mitchell, kepala perubahan iklim di Overseas Development Institute di Inggris, mengatakan: "Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa dengan perubahan iklim kita mungkin merasakan kecepatan angin yang lebih kuat tetapi jumlah siklon tropis secara keseluruhan tidak akan mengalami perubahan atau bahkan mungkin sedikit menurun. "

Dampak badai besar akan sangat terasa ketika kota mengikis pertahanan alami mereka dan warga diizinkan tinggal di tempat yang memiliki risiko tinggi.

Dalam sebuah laporan tentang cuaca ekstrem pada Maret lalu, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) milik PBB mencatat bahwa kenaikan 50 cm di permukaan laut akan membuat Mumbai tidak dapat dihuni lagi.

Menurut laporan OECD, 1,9 juta orang di Mumbai terkena banjir pesisir pada 2005, angkanya mungkin akan meningkat menjadi 14 juta orang pada 2070.

Kesadaran akan risiko itu dan tata pemerintahan yang baik merupakan kunci untuk mengurangi ancaman, kata Ashvin Dayal, kepala Rockefeller Foundation di Asia, yang mendukung proyek untuk memperkuat pertahanan iklim wilayah tersebut.

Kota-kota dapat menjaga dataran banjir dan membangun kembali hutan bakau yang merupakan perisai alami gelombang badai. Kota-kota dapat memperbaiki perencanaan untuk mencegah badai berbahaya dan menggunakan model yang lebih baik untuk mengetahui cara menggunakan lahan.

Dan mereka dapat mempromosikan teknik sederhana tapi efektif seperti penyemenan lantai rumah, yang berarti air dapat mengalir keluar setelah banjir tanpa kerusakan pada struktur bangunan.

"Kita harus bergerak dari situasi solusi yang mungkin gagal dan tidak aman ke situasi yang mungkin mengalami kegagalan tapi tetap aman," kata Dayal.

"Hal-hal seperti ini [Badai Sandy] membuat orang terkejut dan benar-benar membuat mereka waspada. Kami hanya harus memastikan bahwa mereka tidak akan melupakan kejadian ini."