Selasa, 22 Mei 2012

Pandangan Hukum Islam Terhadap Harta dan Ekonomi

BAB. I
PENDAHULUAN
Dewasa ini masih terdapat anggapan bahwa Islam menghambat kemajuan. Beberapa kalangan mencurigai Islam sebagai factor penghambat pembangunan  (an obstacle to economic growth). Pandangan ini berasal dari para pemikir Barat. Meskipun demikian, tidak sedikit intelektual muslim yang juga menyakininya.
Kesimpulan yang agak tergesa-gesa ini hampir dapat dipastikan timbul karena kesalah pahaman terhadap Islam. Seolah-olah Islam merupakan agama yang hanya berkaitan dengan masalah ritual, bukan sebagai suatu system yang komprehensif dan mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk masalah pembangunan ekonomi serta industri perbankan sebagai salah satu motor penggerak roda perekonomian.
Manusia adalah khalifah di muka bumi. Islam memandang bahwa bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah kepada sang khalifah agar dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama. Untuk mencapai tujuan suci ini, Allah memberikan petunjuk melalui para rasul-Nya. Petunjuk tersebut meliputi segala sesuatu yang dibutuhkan manusia baik akidah, akhlak, maupun syariah.
Dua komponen pertama, akidah dan akhlak, bersifat konstan. Keduanya tidak mengalami perubahan apapun dengan berbedanya waktu dan tempat. Adapun syariah senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan dan taraf peradaban umat, yang berbeda-beda sesuai dengan masa rasul masing-masing. Hal ini diungkapkan dalam Al’Qur’an Surah Al-Maa’idah ayat 48 yang artinya “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang“
Juga oleh Rasulullah saw, dalam suatu hadits, HR Bukhari, Abu Dawud, dan Ahmad yang artinya :
“Para rasul tak ubahnya bagaikan saudara sebapak, ibunya (syariahnya) berbeda-beda sedangkan dinnya (tauhidnya) satu “.
Oleh karena itu, syariah Islam sebagai suatu syariah yang dibawa oleh rasul terakhir, mempunyai keunikan tersendiri. Syariah ini bukan saja menyeluruh atau komprehensif,  tetapi juga universal. Karakter istimewa ini diperlukan sebab tidak akan ada syariah lain yang datang untuk menyempurnakannya.
Komprehensif berarti syariah Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah). Ibadah diperlukan untuk menjaga ketaatan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Khaliq-nya. Ibadah juga merupakan sarana untuk mengingatkan secara kontinu tugas manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini. Adapun muamalah diturunkan untuk menjadi rules of the game atau aturan main manusia dalam kehidupan sosial. Kelengkapan system muamalah yang disampaikan Rasulullah saw.
Universal bermakna syariah Islam dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai Hari Akhir nanti. Universalitas ini tampak jelas terutama pada bidang muamalah. Selain mempunyai cakupan luas dan fleksibel, muamalah tidak membeda-bedakan antara muslim dan non muslim. Kenyataan ini tersirat dalam suatu ungkapan yang diriwayatkan oleh Sayyidina Ali, “ Dalam bidang muamalah kewajiban mereka adalah kewajiban kita dan hak mereka adalah hak kita. “
Sifat muamalah ini dimungkinkan karena Islam mengenal hal yang diistilahkan sebagai tsawabit wa mutaghayyirat. Dalam sektor ekonomi, misalnya yang merupakan prinsip adalah larangan riba, syistem bagi hasil, pengambilan keuntungan, pengenaan zakat, dan lain-lain. Adapun contoh variable adalah instrument-instrumen untuk melaksanakan prinsip-prinsip tersebut. Di antaranya adalah aplikasi prinsip jual beli dalam modal kerja, penerapan asas mudharabah dalam investasi atau penerapan bai’as-salam dalam pembangunan suatu proyek. Tugas cendekiawan muslim sepanjang zaman adalah mengembangkan teknik penerapan prinsip-prinsip tersebut dalam variabel-variabel yang sesuai dengan situasi dan kondisi pada setiap masa.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pandangan Islam Terhadap Harta dan Ekonomi
Secara umum, tugas kekhalifahan manusia adalah tugas mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan (Al-An’aam : 165) serta tugas pengabdian atau ibadah dalam arti luas (adz-Dzaariyaat : 56). Untuk menunaikan tugas tersebut, Allah SWT memberi manusia dua anugerah nikmat utama, yaitu manhaj al-hayat “ sistem kehidupan “ dan wasilah al-hayat “ sarana kehidupan .
Manhaj al-hayat adalah seluruh aturan kehidupan manusia yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Aturan tersebut berbentuk keharusan melakukan atau sebaiknya melakukan sesuatu, juga dalam bentuk larangan melakukan atau sebaliknya meninggalkan sesuatu. Aturan tersebut dikenal sebagai hukum lima, yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram.
Aturan-aturan tersebut dimaksudkan untuk menjamin keselamatan manusia sepanjang hidupnya, baik yang menyangkut keselamatan agama, keselamatan diri (jiwa dan raga), keselamatan akal, keselamatan harta benda, maupun keselamatan nasab keturunan. Hal-hal tersebut merupakan kebutuhan pokok atau primer.
Pelaksanaan Islam sebagai way of life secara konsisten dalam semua kegiatan kehidupan, akan melahirkan sebuah tatanan kehidupan yang baik, sebuah tatanan yang disebut sebagai hayatan thayyibah (An-Nahl : 97).
Sebaliknya, menolak aturan itu atau sama sekali tidak memiliki keinginan mengaplikasikannya dalam kehidupan, akan melahirkan kekacauan dalam kehdupan sekarang, ma’isyatan dhanka atau kehidupan yang sempit, serta kecelakaan diakhirat nanti (Thaahaa : 124 – 126).
Aturan-aturan itu juga diperlukan untuk mengelola wasilah al-hayah atau segala sarana dan prasarana kehidupan yang diciptakan Allah SWT untuk kepentingan hidup manusia secara keseluruhan. Wasilah al-hayah ini dalam bentuk udara, air, tumbuh-tumbuhan, hewan ternak, dan harta benda lainnya yang berguna dalam kehidupan.
Sebagaimana dalam Surah Al-Baqarah ayat 29 yang artinya :
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan, dia Maha Mengetahui segala sesuatu “
Dari keterangan diatas, islam mempunyai pandangan yang jelas mengenai harta dan kegiatan ekonomi. Pandangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
  1. Pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, termasuk harta benda, adalah Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relativf, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya.
  2. Status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut.
    • Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada. Dalam bahasa Einstein, manusia tidak mampu menciptakan energi ; yang mampu manusia lakukan adalah mengubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi lain. Pencipta awal segala energi adalah Allah SWT.
    • Harta sebagi perhiasan  hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai, dan menikmati harta. Firman-Nya, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup di dunia dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran : 14). Sebagai perhiasan hidup, harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan, serta kebanggan diri (Al-‘Alaq : 6 – 7).
    • Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam ataukah tidak. (Al-Anfaal : 28)
    • Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan muamalah di antara sesama manusia, melalui kegiatan zakat, infak dan sedekah. (At-Taubah : 41, 60 ; Ali Imran : 133-134).
  1. Pemilikan harta dapat dilakukan antara lain melalui usaha (a’mal) atau mata pencaharian (ma’isyah) yang halal dan sesuai dengan aturan-Nya. Banyak ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang mendorong umat manusia bekerja mencari nafkah secara halal.
  2. Dilarang mencari harta, berusaha, atau bekerja yang dapat melupakan kematian (At-Takaatsur : 1 – 2), melupakan dzikrullah (tidak ingat kepada Allah dengan segala ketentuan-Nya ) (Al-Munaafiquun ; 9 ), melupakan shalat dan zakat  (an-Nuur ; 37), dan memutuskan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja (al-Hasyr : 7).
  3. Dilarang menempuh usaha yang haram seperti melalui kegiatan riba                   (al-Baqarah : 273 – 281), perjudian, berjual beli barang yang dilarang atau haram (al-Maa’idah : 90-91), mencuri, merampok, penggasaban (al-Maa’idah : 38 ), curang dalam takaran dan timbangan (al-Muthaffifiin : 1 – 6) melalui cara-cara yang batil dan merugikan (al-Baqarah : 188 ), dan melalui suap-menyuap (HR Imam Ahmad ).
  1. 2. Nilai-nilai Sistem Perekonomian Islam
    1. a. Perekonomian Masyarakat Luas, Bukan Hanya Masyarakat Muslim Akan Menjadi Baik Bila Menggunakan kerangka Kerja atau Acuan Norma-Norma Islami.
Banyak ayat Al-Qur’an yang menyerukan penggunaan kerangka kerja perekonomian Islam, diantaranya Aurah Al-Baqarah ayat 60 dan Al-Maa’idah ayat 87 – 88 yang semua ayatnya merupakan penentuan dasar pikiran dari pesan Al-Qur’an dalam bidang ekonomi. Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa Islam mendorong penganutnya untuk menikmati karunia yang telah diberikan oleh Allah. Karunia tersebut harus didayagunakan untuk meningkatkan pertumbuhan, baik  materi maupun non materi.
Islam juga mendorong penganutnya berjuang untuk mendapatkan materi atau harta dengan berbagai cara, asalkan mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan.
  1. b. Keadilan dan Persaudaraan Menyeluruh
Islam bertujuan untuk membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid. Dalam tatanan itu, setiap individu diikat oleh persudaraan dan kasih saying bagai satu keluarga. Sebuah persaudaraan yang universal dan tak diikat batas geografis.
Keadilan dalam Islam memiliki implikasi sebagai berikut :
—  Keadilan Sosial
Islam menganggap umat manusia sebagai suatu keluarga. Karenanya, semua anggota keluarga ini mempunyai derajat yang sama di hadapan  Allah. Hukum Allah tidak membedakan yang kaya dan yang miskin, demikian juga tidak membedakan yang hitam dan yang putih. Secara sosial, nilai yang membedakan satu dengan yang lain adalah ketakwaan, ketulusan hati, kemampuan dan pelayanannya pada manusia.
—  Keadilan Ekonomi
Konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama bagi setiap individu dalam masyarakat dan dihadapan hukum harus diimbangi oleh keadilan ekonomi. Tanpa pengimbangan tersebut, sosial kehilangan makna. Dengan keadilan ekonomi, setiap individu akan mendapatkan haknya sesuai dengan kontribusi masing-masing kepada masyarakat. Setiap individu pun harus terbebaskan dari eksploiasi individu lainnya. Islam dengan tegas melarang seorang muslim merugikan orang lain.
Peringatan akan ketidakadilan dan eksploitasi ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak individu dalam masyarakat, juga untuk meningkatkan kiesejahteraan umum sebagai tujuan utama Islam.
  1. c. Keadilan Distribusi Pendapatan
Kesenjangan pendapatan dan kekayaan alam yang ada dalam masyarakat, berlawanan dengan semangat serta komitmen Islam terhadap persaudaraan dan keadilan sosial ekonomi. Kesenjangan harus diatasi dengan menggunakan cara yang ditekankan Islam. Diantaranya adalah dengan cara-cara berikut ini.
Pertama :
-          Menghapuskan monopoli, kecuali oleh pemerintah, untuk bidang-bidang tertentu.
-          Menjamin hak dan kesempatan semua pihak untuk aktif dalam proses ekonomi, baik produksi, distribusi, sirkulasi maupun konsumsi.
-          Menjamin basic needs fulfillment ( pemenuhan kebutuhan dasar hidup ) setiap anggota masyarakat.
-          Melaksanakan amanah at-takaaful al-ijtima’I social economic security insurance dimana yang mampu menanggung dan membantu yang tidak mampu.
Dengan cara itu, standar kehidupan setiap individu akan lebih terjamin. Sisi manusiawi dan kehormatan setiap individu akan lebih terjaga sesuai dengan martabatnya yang yang telah melekat pada manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Kedua :
Islam membenarkan seorang memilih kekayaan lebih dari yang lain sepanjang kekayaan tersebut diperoleh secara benar dan yang bersangkutan telah menunaikan kewajibannya bagi kesejahteraan masyarakat, baik dalam bentuk zakat maupun amal kebajikan lain seperti infak dan sedekah. Meskipun demikian, Islam sangat menganjurkan golongan yang kaya untuk tetap tawadhu dan tidak pamer.
Jika seluruh ajaran Islam (termasuk pelaksanaan syariah serta norma keadilan) diterapkan, kesenjangan kekayaan serta pendapatan yang mencolok tidak akan terjadi di dalam masyarakat.
  1. d. Kebebasan Individu dalam Konteks Kesejahteraan Sosial
Pilar terpenting dalam keyakinan seorang muslim adalah kepercayaan bahwa manusia diciptakan  oleh Allah. Ia tidak tunduk kepada siapa pun kecuali kepada Allah (ar-Ra’d : 36 dan Luqman : 32). Ini merupakan dasar bagi Piagam Kebebasan Islam dari segala bentuk perbudakan. Menyangkut hal ini Al Qur’an  tegas menyatakan bahwa tujuan utama dari misi kenabian Muhammad adalah melepaskan manusia dari beban dan rantai yang membelenggunya (Al-A’raaf : 157).
Konsep Islam amat jelas. Manusia dilahirkan merdeka. Karenanya, tidak ada seorang pun bahkan Negara manapun yang berhak mencabut kemerdekaan tersebut dan membuat hidup manusia terikat. Dalam konsep ini, setiap individu berhak menggunakan kemerdekaannya tersebut sepanjang tetap berada dalam kerangka norma-norma islami. Dengan kata lain, sepanjang kebebasan tersebut dapat dipertanggungjawabkan, baik secara sosial maupun dihadapan Allah.
Kebebasan individu dalam kerangka etika Islam diakui selama tidak bertentangan dengan kepentingan sosial yang lebih besar atau sepanjang individu itu tidak melangkahi hak-hak orang lain.
BAB III
KESIMPULAN
Islam membenarkan seorang memilih kekayaan lebih dari yang lain sepanjang kekayaan tersebut diperoleh secara benar dan yang bersangkutan telah menunaikan kewajibannya bagi kesejahteraan masyarakat, baik dalam bentuk zakat maupun amal kebajikan lain seperti infak dan sedekah. Meskipun demikian, Islam sangat menganjurkan golongan yang kaya untuk tetap tawadhu dan tidak pamer.
Islam juga mendorong penganutnya berjuang untuk mendapatkan materi atau harta dengan berbagai cara, asalkan mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan. Dilarang mencari harta, berusaha, atau bekerja yang dapat melupakan kematian (At-Takaatsur : 1 – 2), melupakan dzikrullah (tidak ingat kepada Allah dengan segala ketentuan-Nya ) (Al-Munaafiquun ; 9), melupakan shalat dan zakat  (an-Nuur ; 37), dan memutuskan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja (al-Hasyr : 7).
Konsep Islam amat jelas. Manusia dilahirkan merdeka. Karenanya, tidak ada seorang pun bahkan Negara manapun yang berhak mencabut kemerdekaan tersebut dan membuat hidup manusia terikat. Dalam konsep ini, setiap individu berhak menggunakan kemerdekaannya tersebut sepanjang tetap berada dalam kerangka norma-norma islami. Dengan kata lain, sepanjang kebebasan tersebut dapat dipertanggungjawabkan, baik secara sosial maupun dihadapan Allah.
Kebebasan individu dalam kerangka etika Islam diakui selama tidak bertentangan dengan kepentingan sosial yang lebih besar atau sepanjang individu itu tidak melangkahi hak-hak orang lain.
DAFTAR  PUSTAKA
Islamic Banking, Bank Syariah dari Teori Ke Praktik. Muhammad Syafi’i Antonio, Gema Inzani bekarja sama dengan Tazkia Cendekia, Jakarta 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar