BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam dua dekade terakhir ini, Arbitrase
ditengarai sebagai metode alternatif yang banyak dipilih para pelaku
niaga dalam penyelesaian sengketa komersial. Disebut alternatif karena
bukan satu-satunya metode yang dapat dipilih. Masih ada beberapa metode
penyelesaian sengketa lainnya yang juga dikenal dalam masyarakat.
Mediasi (mediation), Negosiasi (negotiation), Konsiliasi (conciliation),
adalah beberapa contoh metode penyelesaian sengketa yang lazim
digunakan masyarakat pelaku niaga nasional maupun internasional dalam
menyelesaikan sengketa. Arbitrase sebagai salah satu metode alternatif
di antara sekian jenis metode penyelesaian sengketa kemudian menjadi
lebih popular dibandingkan dengan jenis metode lainnya. Bahkan
penggunaannya di luar bidang hukum publik terutama amat diminati sebagai
salah satu metode dalam menyelesaikan sengketa komersial atau bidang
hokum pernigaan dan perikatan. Akan tetapi kecenderungan orang untuk
memilih arbitrase ini bukan berarti cara penyelesaian sengketa melalui
pengadilan negeri sama sekali telah ditinggalkan, sehingga tidak lagi
populer.
Sebaliknya, peran pengadilan negeri
masih tetap tidak mudah untuk digantikan. Hal itu disebabkan setelah
selesai suatu sengketa diputus oleh forum pilihan semacam arbitrase,
peran pengadilan muncul lagi manakala para pihak tidak mau secara
sukarela melaksanakan putusan arbitrase bersangkutan. Demikian pula jika
forum arbitrase pemutus sengketa itu adalah arbitrase asing
(berkedudukan di luar Indonesia). Putusan yang dijatuhkan oleh forum
semacam itu untuk dapat diakui dan dilaksanakan di dalam wilayah hukum
Republik Indonesia, terlebih dahulu harus mendapat exequatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang
telah diuraikan tersebut diatas, maka penulis mengidentifikasi
permasalahan hukum yang akan dikaji berkaitan dengan penulisan tugas
dalam mata kuliah Hukum Acara Peradilan Niaga ini yaitu bagaimana
kewenangan pengadilan niaga sebagai penyelesai sengketa kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang ?
BAB II
BATASAN DAN PENGERTIAN
Kompetensi Pengadilan Negeri adalah
wewenang pengadilan negeri dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman
untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan kepadanya.
Pengadilan Negeri merupakan pengadilan
sehari-hari biasa untuk segala penduduk, yang mempunyai wewenang untuk
memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkat pertama segala perkara
perdata dan pidana yang dulu diperiksa dan diputus oleh
pengadilan-pengadilan yang dihapuskan (pasal 5 ayat 3a Undang-Undang
Darurat No. 1 Tahun 1951). Dalam teori hukum acara perdata yang bermuara
pada civil law system Eropa Continental, dikenal dua jenis kompetensi, yakni kompetensi absolut (attributie van rechtsmacht) dan kompetensi relative (distributie van rechtsmacht).
Kompetensi absolut pengadilan
negeri adalah wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara
tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan
lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama (Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi) maupun dalam lingkungan peradilan yang berbeda
(Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama). Sedangkan kompetensi relatif badan
pengadilan adalah pembagian kekuasaan mengadili antara badan pengadilan
yang serupa yang didasarkan pada tempat tinggal tergugat. Jadi
kompetensi relatif ini berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan.
Adapun kata “sengketa komersial” yang
terdiri atas dua suku kata “sengketa” dan “komersial”, tentu saja
masing-masing kata tersebut memiliki pengertian sendiri-sendiri. Berikut
ini dapat dipahami pengertian dari masing-masing kata bersangkutan.
Kata sengketa, secara umum dapat
didefinisikan sebagai “perselisihan mengenai masalah fakta, hukum atau
politik dimana pernyataan suatu pihak ditolak, dituntut balik atau
diingkari oleh pihak lain.”
Sedangkan istilah “komersial” yang berasal dari kata “commercial”,di dalam UNCITRAL4 Model Law on International Commercial Arbitration yang diadopsi oleh Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perdagangan Internasional pada 21 Juni 1985, kata “commercial”, didefinisikan sebagai berikut:
“The term ‘commercial’ should be
given a wide interpretation so as to cover matters arising from all
relationships of a commercial nature, whether contractual or not.
Relationships of a commercial nature include, but are not limited to,
the following transactions: any trade transactions for the supply or
exchange of goods or services; distribution agreement; commercial
representation or agency; factoring; leasing; construction of works;
consulting; engineering; licensing; investment; financing; banking;
insurance; exploitation agreement or concession; joint venture and other
forms of industrial or business co-operation; carriage of goods or
passenger by air, sea, rail or road.”
Memperhatikan rumusan komersial di atas,
ternyata cakupannya amat luas. Makna komersial, meliputi berbagai aspek
hubungan transaksi yang dapat dilakukan oleh setiap subjek hokum
manusia maupun badan hukum. Satu hal yang menarik dan hendak diungkap
melalui kajian ini antara lain adanya perkembangan baru dari doktrin
penyelesaian sengketa, khususnya sengketa komersial. Perkembangan
tersebut di Indonesia boleh jadi berawal tatkala Pemerintah Indonesia
pada dasawarsa 1970-an mengundang masuknya modal asing melalui
pengundangan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA). Sejak saat itu
interaksi para pelaku niaga di Indonesia tidak hanya sebatas dilakukan
dengan sesama warga negara, melainkan sudah berlangsung dengan berbagai
macam bangsa yang merupakan, baik mereka yang menjadi investor di
Indonesia maupun yang sekedar menjadi pelaku niaga. Sebagai konsekuensi
logis dari keadaan tersebut, maka produk perundang-undangan bidang
hukum acara perdata yang diundangkan sejak tahun 1970 juga telah
mengintroduksikan bahwa untuk menyelesaikan sengketa perdata
dimungkinkan dilakukan di luar pengadilan negeri. Perkembangan itu tentu
saja telah sangat berpengaruh
pada eksistensi pengadilan negeri
sebagai institusi konvensional tempat penyelesaian sengketa
konvensional. Fakta yang digambarkan di muka sekurang-kurangnya telah
menjadi salah satu indikator bahwa doktrin penyelesaian sengketa, meski
perlahan namun sedang mengalami perubahan.
BAB III
PEMBAHASAN
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu pertimbangan dibentuknya pengadilan niaga adalah agar mekanisme penyelesaian perkara permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, penyelesaiannya dapat dilakukan dengan cepat dan efektif. Keberadaan pengadilan niaga tidak menambah kuantitas lingkungan peradilan baru di Indonesia. Ini secara tegas disebutkan dalam Perpu. Artinya, pengadilan niaga hadir dan berada dalam lingkungan peradilan umum. Akan tetapi secara substansial kehadiran peradilan niaga jelas telah menggeserkan kompetensi absolut maupun relatif dari pengadilan negeri atas perkara-perkara permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban membayar utang.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu pertimbangan dibentuknya pengadilan niaga adalah agar mekanisme penyelesaian perkara permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, penyelesaiannya dapat dilakukan dengan cepat dan efektif. Keberadaan pengadilan niaga tidak menambah kuantitas lingkungan peradilan baru di Indonesia. Ini secara tegas disebutkan dalam Perpu. Artinya, pengadilan niaga hadir dan berada dalam lingkungan peradilan umum. Akan tetapi secara substansial kehadiran peradilan niaga jelas telah menggeserkan kompetensi absolut maupun relatif dari pengadilan negeri atas perkara-perkara permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban membayar utang.
Selain telah menyebabkan tergesernya
kompetensi pengadilan negeri, pembentukan pengadilan niaga sebagai
pengadilan khusus dalam konteks doktrin penyelesaian sengketa bidang
hukum privat paling tidak telah membawa perubahan dalam mekanisme
penyelesaian sengketa. Setidaknya terdapat dua faktor pengubah mekanisme
penyelesaian sengketa pada pengadilan negeri oleh pengadilan niaga.
Pertama, penyelesaian perkara di
pengadilan niaga ditetapkan dengan cepat (yakni ditentukan jangka
waktunya), sedangkan penyelesaian sengketa di pengadilan negeri sama
sekali tidak ditentukan jangka waktunya.
Kedua, sifat penyelesaian
sengketa pada pengadilan niaga ditetapkan harus efektif. Maksudnya,
putusan perkara permohonan kepailitan bersifat serta merta. Artinya,
putusan pengadilan niaga dapat dilaksanakan terlebih dahulu meski
terhadap putusan tersebut dilakukan upaya hukum kasasi maupun peninjauan
kembali
Berlakunya UU Kepailitan 1998 telah
memindahkan kewenangan mutlak (absolut) dari Pengadilan Umum untuk
memeriksa permohonan pailit, dengan menetapkan Pengadilan Niaga sebagai
Pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menerima permohonan kepailitan
dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Seperti diketahui
bahwa secara teoretis sistem peradilan di Indonesia mengenal dua macam
kewenangan, yaitu kewenangan mutlak atau absolut dan kewenangan relatif.
Kewenangan mutlak atau absolut diartikan
sebagai pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan yang berkaitan
dengan pemberian kekuasaaan untuk mengadili (attribute van rechtsmacht).
Dengan kata lain, kewenangan mutlak atau absolut ini berbicara mengenai
kewenangan badan-badan peradilan dalam menerima, memeriksa, dan memutus
perkara. Konsekuensinya, suatu pengadilan tidak dapat memeriksa
gugatan/permohonan yang diajukan kepadanya apabila ternyata secara
formil gugatan tersebut masuk dalam ruang lingkup kewenangan mutlak
pengadilan lain. Sementara itu, kewenangan relatif mengatur mengenai
pembagian kekuasaan untuk mengadili antar pengadilan yang serupa,
tergantung dari tempat tinggal tergugat seperti yang terdapat di dalam
Pasal 118 ayat (1) Het Herziende Indische Reglement (HIR).
Selain kewenangan absolut dan relatif,
Pengadilan Niaga juga memiliki kewenangan secara komprehensif. Pasal 280
UU Kepailitan 1998, menyatakan bahwa kewenangan secara komprehensif itu
adalah kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan seputar kepailitan
dan PKPU serta memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan.
Kewenangan secara komprehensif yang
dimiliki Pengadilan Niaga bukan tidak mungkin menimbulkan permasalahan
terkait dengan titik taut dengan kewenangan Pengadilan Umum (Pengadilan
Negeri) dalam hal pemeriksaan perkara, karena permasalahan seputar
kepailitan tidak hanya berkaitan dengan utang sebagai pokok utama,
melainkan hal-hal lain seperti pembatalan perjanjian perdamaian, actio
pauliana, keabsahan surat-surat, dan lain-lain. Kondisi inilah yang
memicu beberapa masalah karena sudah ditegaskan secara eksplisit bahwa
pemeriksaan di Pengadilan Niaga adalah bersifat sumir atau sederhana,
suatu hal yang sulit untuk dilakukan bila menyangkut pemeriksaan lain di
luar Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan 1998.
Berdasarkan sifat sumir atau sederhana
dari suatu perkara di Pengadilan Niaga, maka yang harus dibuktikan cukup
pada suatu keadaan berhenti membayar. Kondisi tersebut membawa
konsekuensi berbeda-beda. Sebagian pihak mengatakan cukup dipenuhinya
syarat kepailitan dalam Pasal 1 ayat (1) maka salah satu pihak (termohon
pailit) dapat langsung dinyatakan pailit. Sementara, di lain pihak
mengatakan diperlukan suatu analisis lebih lanjut di bidang hukum
ekonomi dan bisnis untuk menyatakan bahwa termohon pailit dapat
dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.
BAB IV
PENUTUP
Salah satu pertimbangan dibentuknya
pengadilan niaga adalah agar mekanisme penyelesaian perkara permohonan
kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, penyelesaiannya
dapat dilakukan dengan cepat dan efektif. Keberadaan pengadilan niaga
tidak menambah kuantitas lingkungan peradilan baru di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar