Selasa, 22 Mei 2012

Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Ditinjau Dari Penerapan Yuridiksi Universal

BAB  I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Masalah
Pendapat bahwa dimanapun tempat tinggalnya, individu memiliki sejumlah kekuatan dasar yang tidak dapat dicabut kekuatan politik dimanapun, berdampak secara monumental pada dua titik dalam sejarah. Pertama dampak revolusioner pada perempat abad terakhir, yaitu pada abad ke-18 yang mengilhami dan membenarkan perjuangan kemerdekaan Amerika dari Inggris dan penggulingan kerajaan Perancis.
Ide kebebasan individu diatas memunculkan dua pemberontakan dengan pemahaman politis yang lebih dari sekedar pembentukan Republik, yang menjadi awal dari tujuannya. Dasarnya adalah dengan meletakan kemerdekaaan individu sebagai prasyarat dari pembatasan kekuasaan Negara. Ini tidak hanya berlaku di Amerika dan Perancis. Dalam masyarakat manapun, terjadi pembatasan melalui tradisi atau kovenan kebudayaan dan hukum. Namun yang monumental adalah mencantumkan hak-hak warga Negara dalam konstitusi, yaitu hak-hak yang dapat dituntut oleh rakyat kepada pemerintahannya melalui pengadilan.
Pasca perang Dunia I, tidak pernah terpikirkan oleh para pemimpin politik bahwa lembaga internasional dapat mendikte suatu Negara bagaimana memberlakukan rakyatnya. Liga Bangsa-bangsa dan mahkamah Internasional tidak mempersoalkan isu Hak Azasi Manusia sampai saat Hitler mengangapnya tidak penting. Pada titik inilah, individu tidak memiliki hak dalam hukum Internasional. Akses terhadap masalah yang tidak berkaitan dengan kovenan dan perjanjian antar Negara sama sekali tertutup bagi rakyat tersebut.
Halocaust atau pembantaian bangsa Yahudi di Eropa pada saat Hitler berkuasa adalah kenyataan yang mengubah semuanya. Dengan Halocaust, tujuan perang sekutu menjadi terfokus dan diikuti dengan tuntutan dan digelarnya pengadilan internasional yaitu pengadilan Nuremberg untuk menghukum tokoh-tokoh Nazi atas kebiadaban mereka terhadap bangsa Yahudi. Untuk pertama kalinya, hukuman tersebut disebutkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) yang didefinisikan dalam pasal 6 (c) piagam Nuremberg (Nuremberg Charter) adalah alat Negara yang mengesahkan siksaan atau pembunuhan massal (Genocide) atas rakyat mereka sendiri, yang harus dipertanggung jawabkan secara kriminal dalam hukum internasional dan dapat dikenakan hukuman oleh pengadilan maupun yang dapat menangkap mereka.
Untuk pertama kalinya juga individu memiliki hak untuk setidaknya diperlakukan dengan hormat oleh pemerintahannya. Dengan hak tersebut, maka menjadi tanggung jawab pemerintahan lain pula untuk mengadili para pelanggar hak asasi manusia yang jatuh ketangan mereka, atau dengan menyelenggarakan pengadilan internasional untuk menghukum mereka. Hal ini merupakan warisan legal dari pengadilan Nuremberg, yang didukung oleh sistem PBB yang menjanjikan dukungan institusional bagi deklarasi umum hak asasi manusia yang telah disetujui oleh majelis umum PBB.
Titik terbesar ke dua dalam sejarah HAM adalah proses pembentukannya yang dapat berasal dari hukum domestik dan konstotusi beberapa Negara untuk menjadi sistem universal yang menyediakan perlindungan minimum bagi siapa saja dan dimana saja, akan tetapi hal ini tidak bertahan lama yaitu karena adanya perang dingin antara blok-blok Negara yang berseteru. Amnesti Internasional sering kali tidak berfungsi sebagaimana mestinya terhadap korban kejahatan terhadap kemanusiaan, sedangan pelanggaran tidak pernah kunjung berhenti melawan hak-hak kemerdekaan sipil dibanyak Negara di dunia.
Akhirnya pada tanggal 30 Juli 1998 di Roma, 120 Negara menyatakan mendukung statute yang menciptakan pengadilan Internasional untuk menghukum mereka yang bersalah karena pelanggaran terburuk atas kemerdekaan fundamental dimanapun kekerasan itu terjadi.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan apa yang telah terpaparkan diatas timbul permasalahan yaitu mengenai bagaimana kejahatan terhadap manusia ditinjau dari penerapan yurisdiksi universal ?
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Menurut Bassiouni, hukum pidana Internasional adalah suatu hasil pertemuan pemikiran dua disiplin hukum yang telah muncul dan berkembang secara berbeda serta saling melengkapi dan mengisi. Kedua disiplin hukum ini adalah aspek-aspek hukum pidana dari hukum pidana Internasional dan aspek-aspek internasional dari hukum pidana.
Sedangkan Schwarzenberger tidak memberikan definisi melainkan 6 pengertian tentang hukum pidana Internasional sebagai berikut :
1)    Hukum pidana internasional dalam arti lingkup teritorial hukum pidana nasioanal yang memiliki lingkp kejahatan-kejahatan yang melanggar kepentingan masyarakat Internasional, akan tetapi kewenangan melaksanakan penangkapan, penahanan dan peradilan atas pelaku-pelakunya diserahkan kepada Yurisdiksi criminal Negara yang berkepentingan dalam batas-batas teritorial Negara tersebut.
2)    Hukum pidana internasional dalam arti aspek Internasional yang ditetapkan sebagai ketentuan dalam hukum pidana Nasional menyangkut kejadian-kejadian dimana suatu Negara yang terikat pada hukum Intrernasional berkewajiban memperhatikan sanksi-sanksi atas tindakan perorangan sebagaimana ditetapkan didalam hukum pidana Nasionalnya.
3)    Hukum Pidana Internasional dalam arti kewenangan Internasional yang terdapat didalam hukum Pidana Nasional yaitu : Ketentuan-ketebntuan didalam hukum Internasional yang memberikan kewenangan atas Negara Nasional untuk mengambil tindakan atas tindak pidana tertentu dalam batas Yurisdiksi kriminilnya dan memberikan kewenangan pula kepada Negara nasional untuk menerepkan yurisdiksi mkriminil diluar batas teritorialnya terhadap tindak pidana tertentu, sesuai dengan ketentuan-ketentuan  didalam hukum Internasional.
4)    Hukum pidana Internasional dalam arti ketentuan hukum pidana Nasional yang diakui sebagai hukum yang patut dalam kehidupan masyarakat bangsa yang bweradab adalah ketentuan-ketentuan didalam hukum pidana Nasional yang dianggap sesuai atau sejalan dengan tuntutan kepentingan masyarakat Internasional.
5)    Hukum pidana Internasional dalam arti hukum kerjasama Internasional dalam mekanisme administrasi peradilan pidana Nasional adalah semua aktifitas atau kegiatan penegakan hukum pidana Nasional yang memerlukan kerja sama antar Negara, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral.
6)    Hukum pidana Internasional dalam arti kata mareriil merupakan objek pembahasan dari hukum pidana Internasional yang telah ditetapkan oleh PBB sebagai kejahatan Internasional dan merupakan pelanggaran atas de iure gentium, seperti piracy, agresi, kejahatan perang, genocide, dan lalu lintas illegal perdagangan narkotika.
Mengenai bentuk daripada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hukum pidana internasional dapat dikemukakan sebagai berikut :
1)    Berbentuk prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum Internasional umum atau universal, baik yang sudah dirumuskan dalam bentruk tertulis seperti dalam konvensi-konvensi Internasional umum, baik yang sudah berlaku secara sah, maupun yang masih belum berlaku yang berbentuk hukum yang tidak tertulis atau kebiasaan Internasional
2)    Berbentuk konvensi-konvensi Internasional umum yang memang dengan sengaja di buat dan dirancang untuk nmenetapkan prilaku kiminal tertentu sebagai suatu yang harus dicegah, di berantas dan dihapuskan.
3)    Berbentuk peraturan perundang-undangan Nasional dari Negara-negara yang memang sudah mengatur di dalam hukum pidanannya masing-masing atas suatu perilaku tertentu.
4)    Berberntuk keputusan-keputusan badan-badan peradilan internasional.
Jenis-jenis tindak pidana Internasional menurut Bassiouni adalah sebagai berijkut :
-        Agression.
-        War crimes.
-        Unlawfull use of weapons.
-        Crime against humanity.
-        Genocide.
-        Racial Discrimination and apartheid.
-        Slyvery and related crimes.
-        Torture.
-        Unlawfull human Experimentation.
-        Piracy.
-        Aircraft highjacking
-        Threat and use of force against internationally protected person
-        Taking of civilan hostages
-        Drug offences
-        International traffic in obscene publication
-        Destruction and\or theft of national treasures
-        Environmental protection
-        Theft of nuclear materials
-        Unlawfull use of the mails
-        Interference of the submarine cables
-        Falsification and counterfeiting
-        Bribery of foreign public officials
Sedangkan Dautricourt di dalam karya tulisnya : ”the concept of international criminal jurisdiction-definition and limitation of the subject”menyebutkan beberapa international crime sebagai berikut :
1).     Terrorism.
2).     Slavery.
3).     The slave trade (perdagangan  budak).
4).     Traffic in women and children (perdangangan wanita dan anak).
5).     Traffic in narcotic drugs (perdagangan illegal narkotika).
6).     Traffic in pornographic (peredaran publikasi pornografi)
7).     Piracy ( pembajakan di laut).
8).     Areal highjacking (Pembajakan di udara)
9).     Counterfeiting ( Pemalsuan mata uang.
10).  The destruction of submarine cables (pengrusakan kabel-kabel di bawah laut).
Jumlah dan jenis tindak pidana Internasional yang berasal dari konvensi Internasional sejak tahun 1812 – 1978 ada 20 tindak pidana Internasional :
1).     Agression : adalah penggunaan kekerasan dan senjata oelh satu Negara terhadap kedaulatan integritas wilayah dan kemerdekaan politik dari Negara lain atau dengan cara yang tidak konsisten dengan piagam PBB.
2).     War Crimes : Kejahatan perang.
3).     Unlawfull Use of Weapons : Penggunaan senjata secara tidak sah. Misalnya  : dilarang menempatkan senjata Nuklir di dasar laut bebas, di zona antartika, diangkasa luar ( termasuk planet-planet lainnya).
4).     Genociden : Kejahatan terhadap kemanusiaan didalam keadaan perang. Sejak Nuremberg trial hanya ada satu kasus penuntutan atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan Genocide, yaitu terhadap Adolf Eyckman (tahun 1961) orang Israel yangb melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan untuk memusnahkan bangsa Yahudi. Kemudian Ia melarikan diri keluar negri dan ditangkap oleh agen Israel di perbatasan Amerika Latin.
5).     Crimes against humanity : kejahatan terhadap kemanusiaan. Istilah ini diambil dari Nuremberg trial pada tahun 1945 dan meliputi pula kejahatan pembunuhan, penghabisan (Eksterminasi) pembudakan, deportasi dan tindakan-tindakan lain yang tidak manusiawi yang dilakukan terhadap penduduk sipil.
6).     Apartheid : diskriminasi ras (perbedaan warna kulit secara mencolok).
7).     Slavery and related crimes : perbudakan dan kejahatan yang berhubungan dengan pembudakan. Sebetulnya pembudakan telah dilarang oleh hukum Internasional sejak Koncvensi Wina tahun 1815.
8).     Torture (As A War Crimes) : penganiayaan selama peperangan. Konvensi penganiayaan pada tahun 1978 (Draft conduct convention) mengartikan kejahatan penganiayaan sebagai perbuatan yang menimbulkan derita parah. Apakah itu bersifat mental atau atas anjuran seseorang pejabat public atau  untuk mana pejabat public itu bertanggung jawab.
9).     Unlawfull Human Experimentation: Ekperimen secara medis secara melawan hukum atau tidak sah yang dilakukan semasa perang (kejahatan perang).
10).  Piracy : pembajakan dilaut.
11).  Crimes relation to international air communication : Kejahatan yang berkaitan dengan komunikasi udara Internasional.
12).  Treat and use of force against internationally protected person : ancaman dan penggunaan kekerasan terhadap orang-orang yang dilindungi secara Internasional. Merupakan prinsip yang paling kuat dalam hukum kebiasaan internasional, yaitu prinsip bahwa tertentu (biasanya diplomat) diberikan pelindung dan kekebalan dalam pemenuhan tugasnya.
13).  Taking of civilian hostages : Tindakan penyanderaan terhadap orang-orang sipil.
14).  Unlawfull use of the mails : penggunaan surat secara tidak sah atau melawan hujkum.
15).  Drugs offences : penyalahgunaan narkotika.
16).  Falsification an counterfeiting : pemalsuan dan memperbanyak mata uang. Kejahatan ini dilarang dalam konvensi Internasional mengenai pemalsuan tahun 1929. Menurut konvensi ini : “ mengharuskan mengekstradisi pelaku “. ( asas Universalitas) .
17).  Theft of nation and archeologocal treasurest (in time of war) : Pencurian kekayaan nasional dan peninggalan sejarah (sewaktu perang).
18).  Bribery of foreign public officials : Penyuapan terhadap pejabat publik Negara asing. Kejahatan ini melibatkan pemberian uang atau hadiah lain kepada pejabat public dari Negara lain dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan dari orang itu secara melanggar kewajiban yang sah.
19).  Interference with submarine cables : pengangguan kabel bawah laut. Karena hubungan antar Negara melalui teknologi canggih, biasa dilakukan hanya dengan menghubungkan melalui kabel atau pipa atau tabung yang diletakan dibawah laut.
20).  International traffic in obscene pubications : Lalu lintas internasional dalam publikasi yang tidak semestinya, meliputi : Tindakan Penyiapan, pengobatan, pemilikan, pengangkutan dan peredaran bahan-bahan yang tidak semesinya (usang) diantara dua Negara untuk penggunaan personal. Namun seharusnya harus dicatat bahwa kejahatan ini sering dilakukan karena terjadinya perubahan dalam sikap di masyarakat dan kesukaran dalam pelaksanaan yang timbul dari masalah kebebasan dalam mengemukanan atau mengeluarkan pendapat.
Perbedaan jenis tindak pidana Internasional yang dikemukankan dalam Konvensi Internasional dan yang dikemukakan oleh Bassiouni ( 22 jenis tindak pidana Internasional) adalah dalam hal : Environmental Protetion dan theft of Nuclear Mterials.
BAB III
PENDAPAT HUKUM
Kejahatan terhadap kemanusiaan hanya dapat dicegah jika calon pelakunya yaitu pemimpin politik, komandan lapangan atau prajurit dan polisi diberi kesempatan untuk merenungkan bahwa tidak ada tempat satupun yang dapat digunakan untuk bersembunyi. Sebab suatu hari disuatu tempat nanti, keadilan hukum akan membawanya untuk diadili.
Prospek tersebut realistis bila ada pengadilan kejahatan Internasional yang mengetahui tindakan kejahatannya, atau ada peraturan yang mengijinkan hukuman atas pelakunya oleh pengadilan Negara-negara lainnya yang juga memiliki yurisdiksi untuk membawa pelaku ke hadapan pengadilan
Pertimbangan praktis inilah yang membuat yurisdiksi universal sebagai atribut paling penting dalam kejahatan kemanusiaan. Dasar pemikirannya, akibat kejahatan itu begitu serius, maka pengadilan manapun, dimanapun, diberi kekuasaan oleh hukum Internasional untuk mengadili dan menguhukum tindakan itu, tanpa mempedulikan tempat atau kebangsaan pelaku atau para korban. Dengan kata lain, dimanapun sipelaku kejahatan ditemukan, yurisdiksi akan selalu mengikutinya, mengingat ia telah dituduh telah melakukan kejahatan yang sangat besar.
Yurisdiksi universal sudah pasti dikenal dalam hukum kebiasaan Internasional yang merupakan dasar bagi proses peradilan domestic untuk bajak laut dan pedangan budak. Juga termasuk yurisdiksi universal untuk para pembajak pesawat terbang, penyanderaan dan terorisme Internasional lainnya. Hal itu secara parsial diambil dari perjanjian Internasional yang mewajibkan pelaku kejahatan yang ditemukan dalam wilayah mereka atau Negara lainnya atau mengekstradisikan pelaku ke Negara yang akan mengadili. Namun, ini semua tindakan kejahatan yang terjadi diluar batas Negara atau dilaut bebas atau di udara lepas, tanpa ada yang menjadi pemilik kedaulatan atasnya. Dengan demikian, yurisdiksi universal tidak hanya muncul karena hanya ada kejahatan kemanusiaan, tetapi semata-mata karena berdasarkan hukum domestic dimanapun hal itu merupakan tindakan kejahatan, hanya tindakan itu bisa lepas dari hukuman.
Kasus yang menjadi dasar hukum universal atas kejahatan kemanusiaan merupakan preseden yang dalam beberapa hal menyedihkan. Kekuasaan untuk membawa para pelaku ke pengadilan digambarkan dalam frase yurisdiksi universal, dimana Negara-negara mempunyai kekuasaan secara sendiri-sendiri maupun kolektif berdasarkan yurisdiksi tersebut, meskipun mereka tidak memiliki hubungan dengan tempat kejahatan itu dilakukan atau dengan pelaku atau dengan korban. Yurisdiksi atas kejahatan biasa tergantung pada hubungan, yang umumnya terjadi dalam suatu wilayah Negara, antara Negara yang menyelenggarakan pengadilan dengan kejahatan itu sendiri. Tetapi dalam kasus kejahatan kemanusiaan, hubungan tersebut dapat ditemukan dalam fakta sederhana yang menyatakan bahwa kita semua adalah umat manusia.
Yurisdiksi universal di Negara maupun akan berlangsung dibawah pengadilan local yang memberi kuasa sebuah pengadilan untuk menyelenggarakannya. Pengadilan Internasional memerlukan sebuah piagam atau statute yang akan diikuti oleh Negara-negara yang membuatnya, baik secara kolektif maupun melalui PBB sebagai organ tambahan dari Dewan Keamanan PBB. Dapat pula dilakukan secara khusus melalui perjanjian Internasional seperti piagam Nuremberg atau statute Roma mengenai pengadilan pidana Internasional.
Konsep yurisdiksi Internasional untuk kejahatan kemanusiaan adalah solusi yang ditawarkan oleh hukum Internasional atas tontonan pembebasan hukuman (impunity) dari para tirani dan penyiksa yang melindungi diri dan imunitas domestic, amnesty dan pemberian maaf. Mereka dapat bersembunyi tetapi di dalam dunia yang memiliki yurisdiksi universal terhadap kejahatan yang bersangkutan, mereka tidak dapat lari. Meskipun demikian, prinsip yurisdiksi universal merupakan satu-satunya jalan untuk meminjam para tersangka tidak memperoleh tempat persembunyian. Pilihannya adalah mengekstradisi atau menghukum pelaku.
Alasan kejahatan terhadap  kemanusiaan tidak seperti kejahatan biasa, menarik yurisdiksi universal sekalipun tidak ada perjanjian-perjanjian Internasional tidak terletak pada beratnya kejahatan tersebut, karena pembunuhan berantai psikopatik dapat lebih kejam daripada penyiksaan yang biasa dilakukan oleh polisi. Yang membedakan kejahatan kemanusiaan, baik dalam skala kekejian maupun kebutuhan akan langkah-langkah pencegahan semata-mata karena kejahatan itu tidak dapat dimaafkan yang dilakukan oleh sebuah pemerintahan atau setidaknya sebuah oerganisasi yang melaksanakan kekuasaan politik yang menjadi masalah bukan otak penyiksa, akan tetapi fakta bahwa individu yang bersangkutan merupakan bagian dari aparat Negara yang membuat kejahatan tersebut menjadi begitu mengerikan dan meletakanya pada dimensi yang lain dari kriminalitas umum. Faktor ini pula menjelaskan mengapa tanggung jawab individu dan yurisdiksi universal merupkan elemen-elemen yang diperlukan jika penyangkalan atas kejahatan tersebut hendak dicapai.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan hal-hal sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa tidak mudah untuk mengadili mauun menghukum pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan ataupun yang berkaitan dengan nilai-nilai kemunusiaan, baik oleh badan peradilan (Pidana) Nasional maupun badan peradilan pidana Internasional, meskipun masyarakat Internasional sepakat bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan semacam itu diberlakukan yurisdiksi universal.
Kendala-kendala yang timbul dalam proses peradilannya terletak pada faktor kedaulatan Negara yang termenipestasikan pada ada atau kemauan politik (political will), baik untuk mengadili sendiri pelakunya, mengekstradisikannya kepada Negara lain yang memintanya, ataupun menyerahkan proses peradilannya kepada badan peradilan pidana Internasional (Internasional Criminal Court).
Disamping itu, dimensi politik dari kejahatan kemanusiaan juga sangat besar pengruhnya terhadap kelancaran dalam proses penerapan hukumnya, meskipun terhadap kejahatan kemanusiaan diberlakukan yurisdiksi universal. Negara-negara yang didalam wilayahnya dituduh telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan sangat berat untuk menerima proses penyelidikan oleh suatu badan atau komisi internasional untuk menyelidiknya apalagi jika terbukti dan kemudian diteruskan dengan menbentuk badan peradilan pidana Internasional ad hoc untuk mengadili pelakunya yang tidak lain dari warga negaranya sendiri, apalagi apabila pelakunya adalah merupakan bagian dari kelompok atau pemerintah yang sedang berkuasa.
Konsep yurisdiksi universal untuk kejahatan kemanusiaan adalah solusi yang ditawarkan oleh hukum internasional atas tontonan permbebasan hukuman (impunity) dari para tirani dan penyiksa yang melindungi diri dengan imunitas domestik, amnesty dan pemberian maaf. Mereka dapat bersembunyi tetapi didalam dunia yang memiliki yurisdiksi universal terhadap kejahatan yang bersangkutan, mereka tidak dapat lari. Meskipun demikian, prinsip yurisdiksi universal merupaka satu-satunya jalan untuk menjamin para tersangka tidak memperoleh tempat persembunyian. Pilihannya adalah mengekstradisikan atau menghukum pelaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar