BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Masalah
Pendapat bahwa dimanapun tempat
tinggalnya, individu memiliki sejumlah kekuatan dasar yang tidak dapat
dicabut kekuatan politik dimanapun, berdampak secara monumental pada dua
titik dalam sejarah. Pertama dampak revolusioner pada perempat abad
terakhir, yaitu pada abad ke-18 yang mengilhami dan membenarkan
perjuangan kemerdekaan Amerika dari Inggris dan penggulingan kerajaan
Perancis.
Ide kebebasan individu diatas
memunculkan dua pemberontakan dengan pemahaman politis yang lebih dari
sekedar pembentukan Republik, yang menjadi awal dari tujuannya. Dasarnya
adalah dengan meletakan kemerdekaaan individu sebagai prasyarat dari
pembatasan kekuasaan Negara. Ini tidak hanya berlaku di Amerika dan
Perancis. Dalam masyarakat manapun, terjadi pembatasan melalui tradisi
atau kovenan kebudayaan dan hukum. Namun yang monumental adalah
mencantumkan hak-hak warga Negara dalam konstitusi, yaitu hak-hak yang
dapat dituntut oleh rakyat kepada pemerintahannya melalui pengadilan.
Pasca perang Dunia I, tidak pernah
terpikirkan oleh para pemimpin politik bahwa lembaga internasional dapat
mendikte suatu Negara bagaimana memberlakukan rakyatnya. Liga
Bangsa-bangsa dan mahkamah Internasional tidak mempersoalkan isu Hak
Azasi Manusia sampai saat Hitler mengangapnya tidak penting. Pada titik
inilah, individu tidak memiliki hak dalam hukum Internasional. Akses
terhadap masalah yang tidak berkaitan dengan kovenan dan perjanjian
antar Negara sama sekali tertutup bagi rakyat tersebut.
Halocaust atau pembantaian bangsa Yahudi
di Eropa pada saat Hitler berkuasa adalah kenyataan yang mengubah
semuanya. Dengan Halocaust, tujuan perang sekutu menjadi terfokus dan
diikuti dengan tuntutan dan digelarnya pengadilan internasional yaitu
pengadilan Nuremberg untuk menghukum tokoh-tokoh Nazi atas kebiadaban
mereka terhadap bangsa Yahudi. Untuk pertama kalinya, hukuman tersebut
disebutkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against
humanity) yang didefinisikan dalam pasal 6 (c) piagam Nuremberg
(Nuremberg Charter) adalah alat Negara yang mengesahkan siksaan atau
pembunuhan massal (Genocide) atas rakyat mereka sendiri, yang harus
dipertanggung jawabkan secara kriminal dalam hukum internasional dan
dapat dikenakan hukuman oleh pengadilan maupun yang dapat menangkap
mereka.
Untuk pertama kalinya juga individu
memiliki hak untuk setidaknya diperlakukan dengan hormat oleh
pemerintahannya. Dengan hak tersebut, maka menjadi tanggung jawab
pemerintahan lain pula untuk mengadili para pelanggar hak asasi manusia
yang jatuh ketangan mereka, atau dengan menyelenggarakan pengadilan
internasional untuk menghukum mereka. Hal ini merupakan warisan legal
dari pengadilan Nuremberg, yang didukung oleh sistem PBB yang
menjanjikan dukungan institusional bagi deklarasi umum hak asasi manusia
yang telah disetujui oleh majelis umum PBB.
Titik terbesar ke dua dalam sejarah HAM
adalah proses pembentukannya yang dapat berasal dari hukum domestik dan
konstotusi beberapa Negara untuk menjadi sistem universal yang
menyediakan perlindungan minimum bagi siapa saja dan dimana saja, akan
tetapi hal ini tidak bertahan lama yaitu karena adanya perang dingin
antara blok-blok Negara yang berseteru. Amnesti Internasional sering
kali tidak berfungsi sebagaimana mestinya terhadap korban kejahatan
terhadap kemanusiaan, sedangan pelanggaran tidak pernah kunjung berhenti
melawan hak-hak kemerdekaan sipil dibanyak Negara di dunia.
Akhirnya pada tanggal 30 Juli 1998 di
Roma, 120 Negara menyatakan mendukung statute yang menciptakan
pengadilan Internasional untuk menghukum mereka yang bersalah karena
pelanggaran terburuk atas kemerdekaan fundamental dimanapun kekerasan
itu terjadi.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan apa yang telah terpaparkan
diatas timbul permasalahan yaitu mengenai bagaimana kejahatan terhadap
manusia ditinjau dari penerapan yurisdiksi universal ?
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Menurut Bassiouni, hukum pidana
Internasional adalah suatu hasil pertemuan pemikiran dua disiplin hukum
yang telah muncul dan berkembang secara berbeda serta saling melengkapi
dan mengisi. Kedua disiplin hukum ini adalah aspek-aspek hukum pidana
dari hukum pidana Internasional dan aspek-aspek internasional dari hukum
pidana.
Sedangkan Schwarzenberger tidak memberikan definisi melainkan 6 pengertian tentang hukum pidana Internasional sebagai berikut :
1) Hukum pidana internasional dalam
arti lingkup teritorial hukum pidana nasioanal yang memiliki lingkp
kejahatan-kejahatan yang melanggar kepentingan masyarakat Internasional,
akan tetapi kewenangan melaksanakan penangkapan, penahanan dan
peradilan atas pelaku-pelakunya diserahkan kepada Yurisdiksi criminal
Negara yang berkepentingan dalam batas-batas teritorial Negara tersebut.
2) Hukum pidana internasional dalam
arti aspek Internasional yang ditetapkan sebagai ketentuan dalam hukum
pidana Nasional menyangkut kejadian-kejadian dimana suatu Negara yang
terikat pada hukum Intrernasional berkewajiban memperhatikan
sanksi-sanksi atas tindakan perorangan sebagaimana ditetapkan didalam
hukum pidana Nasionalnya.
3) Hukum Pidana Internasional dalam
arti kewenangan Internasional yang terdapat didalam hukum Pidana
Nasional yaitu : Ketentuan-ketebntuan didalam hukum Internasional yang
memberikan kewenangan atas Negara Nasional untuk mengambil tindakan atas
tindak pidana tertentu dalam batas Yurisdiksi kriminilnya dan
memberikan kewenangan pula kepada Negara nasional untuk menerepkan
yurisdiksi mkriminil diluar batas teritorialnya terhadap tindak pidana
tertentu, sesuai dengan ketentuan-ketentuan didalam hukum
Internasional.
4) Hukum pidana Internasional dalam
arti ketentuan hukum pidana Nasional yang diakui sebagai hukum yang
patut dalam kehidupan masyarakat bangsa yang bweradab adalah
ketentuan-ketentuan didalam hukum pidana Nasional yang dianggap sesuai
atau sejalan dengan tuntutan kepentingan masyarakat Internasional.
5) Hukum pidana Internasional dalam
arti hukum kerjasama Internasional dalam mekanisme administrasi
peradilan pidana Nasional adalah semua aktifitas atau kegiatan penegakan
hukum pidana Nasional yang memerlukan kerja sama antar Negara, baik
yang bersifat bilateral maupun multilateral.
6) Hukum pidana Internasional dalam
arti kata mareriil merupakan objek pembahasan dari hukum pidana
Internasional yang telah ditetapkan oleh PBB sebagai kejahatan
Internasional dan merupakan pelanggaran atas de iure gentium, seperti piracy, agresi, kejahatan perang, genocide, dan lalu lintas illegal perdagangan narkotika.
Mengenai bentuk daripada prinsip-prinsip
dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hukum pidana internasional dapat
dikemukakan sebagai berikut :
1) Berbentuk prinsip-prinsip dan
kaidah-kaidah hukum Internasional umum atau universal, baik yang sudah
dirumuskan dalam bentruk tertulis seperti dalam konvensi-konvensi
Internasional umum, baik yang sudah berlaku secara sah, maupun yang
masih belum berlaku yang berbentuk hukum yang tidak tertulis atau
kebiasaan Internasional
2) Berbentuk konvensi-konvensi
Internasional umum yang memang dengan sengaja di buat dan dirancang
untuk nmenetapkan prilaku kiminal tertentu sebagai suatu yang harus
dicegah, di berantas dan dihapuskan.
3) Berbentuk peraturan
perundang-undangan Nasional dari Negara-negara yang memang sudah
mengatur di dalam hukum pidanannya masing-masing atas suatu perilaku
tertentu.
4) Berberntuk keputusan-keputusan badan-badan peradilan internasional.
Jenis-jenis tindak pidana Internasional menurut Bassiouni adalah sebagai berijkut :
- Agression.
- War crimes.
- Unlawfull use of weapons.
- Crime against humanity.
- Genocide.
- Racial Discrimination and apartheid.
- Slyvery and related crimes.
- Torture.
- Unlawfull human Experimentation.
- Piracy.
- Aircraft highjacking
- Threat and use of force against internationally protected person
- Taking of civilan hostages
- Drug offences
- International traffic in obscene publication
- Destruction and\or theft of national treasures
- Environmental protection
- Theft of nuclear materials
- Unlawfull use of the mails
- Interference of the submarine cables
- Falsification and counterfeiting
- Bribery of foreign public officials
Sedangkan Dautricourt di dalam karya tulisnya : ”the concept of international criminal jurisdiction-definition and limitation of the subject”menyebutkan beberapa international crime sebagai berikut :
1). Terrorism.
2). Slavery.
3). The slave trade (perdagangan budak).
4). Traffic in women and children (perdangangan wanita dan anak).
5). Traffic in narcotic drugs (perdagangan illegal narkotika).
6). Traffic in pornographic (peredaran publikasi pornografi)
7). Piracy ( pembajakan di laut).
8). Areal highjacking (Pembajakan di udara)
9). Counterfeiting ( Pemalsuan mata uang.
10). The destruction of submarine cables (pengrusakan kabel-kabel di bawah laut).
Jumlah dan jenis tindak pidana
Internasional yang berasal dari konvensi Internasional sejak tahun 1812 –
1978 ada 20 tindak pidana Internasional :
1). Agression : adalah penggunaan
kekerasan dan senjata oelh satu Negara terhadap kedaulatan integritas
wilayah dan kemerdekaan politik dari Negara lain atau dengan cara yang
tidak konsisten dengan piagam PBB.
2). War Crimes : Kejahatan perang.
3). Unlawfull Use of Weapons :
Penggunaan senjata secara tidak sah. Misalnya : dilarang menempatkan
senjata Nuklir di dasar laut bebas, di zona antartika, diangkasa luar (
termasuk planet-planet lainnya).
4). Genociden : Kejahatan terhadap
kemanusiaan didalam keadaan perang. Sejak Nuremberg trial hanya ada satu
kasus penuntutan atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan Genocide,
yaitu terhadap Adolf Eyckman (tahun 1961) orang Israel yangb melakukan
kejahatan terhadap kemanusiaan untuk memusnahkan bangsa Yahudi. Kemudian
Ia melarikan diri keluar negri dan ditangkap oleh agen Israel di
perbatasan Amerika Latin.
5). Crimes against humanity :
kejahatan terhadap kemanusiaan. Istilah ini diambil dari Nuremberg trial
pada tahun 1945 dan meliputi pula kejahatan pembunuhan, penghabisan
(Eksterminasi) pembudakan, deportasi dan tindakan-tindakan lain yang
tidak manusiawi yang dilakukan terhadap penduduk sipil.
6). Apartheid : diskriminasi ras (perbedaan warna kulit secara mencolok).
7). Slavery and related crimes :
perbudakan dan kejahatan yang berhubungan dengan pembudakan. Sebetulnya
pembudakan telah dilarang oleh hukum Internasional sejak Koncvensi Wina
tahun 1815.
8). Torture (As A War Crimes) :
penganiayaan selama peperangan. Konvensi penganiayaan pada tahun 1978
(Draft conduct convention) mengartikan kejahatan penganiayaan sebagai
perbuatan yang menimbulkan derita parah. Apakah itu bersifat mental atau
atas anjuran seseorang pejabat public atau untuk mana pejabat public
itu bertanggung jawab.
9). Unlawfull Human Experimentation:
Ekperimen secara medis secara melawan hukum atau tidak sah yang
dilakukan semasa perang (kejahatan perang).
10). Piracy : pembajakan dilaut.
11). Crimes relation to international air communication : Kejahatan yang berkaitan dengan komunikasi udara Internasional.
12). Treat and use of force against
internationally protected person : ancaman dan penggunaan kekerasan
terhadap orang-orang yang dilindungi secara Internasional. Merupakan
prinsip yang paling kuat dalam hukum kebiasaan internasional, yaitu
prinsip bahwa tertentu (biasanya diplomat) diberikan pelindung dan
kekebalan dalam pemenuhan tugasnya.
13). Taking of civilian hostages : Tindakan penyanderaan terhadap orang-orang sipil.
14). Unlawfull use of the mails : penggunaan surat secara tidak sah atau melawan hujkum.
15). Drugs offences : penyalahgunaan narkotika.
16). Falsification an counterfeiting :
pemalsuan dan memperbanyak mata uang. Kejahatan ini dilarang dalam
konvensi Internasional mengenai pemalsuan tahun 1929. Menurut konvensi
ini : “ mengharuskan mengekstradisi pelaku “. ( asas Universalitas) .
17). Theft of nation and archeologocal
treasurest (in time of war) : Pencurian kekayaan nasional dan
peninggalan sejarah (sewaktu perang).
18). Bribery of foreign public
officials : Penyuapan terhadap pejabat publik Negara asing. Kejahatan
ini melibatkan pemberian uang atau hadiah lain kepada pejabat public
dari Negara lain dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan dari orang
itu secara melanggar kewajiban yang sah.
19). Interference with submarine cables
: pengangguan kabel bawah laut. Karena hubungan antar Negara melalui
teknologi canggih, biasa dilakukan hanya dengan menghubungkan melalui
kabel atau pipa atau tabung yang diletakan dibawah laut.
20). International traffic in obscene
pubications : Lalu lintas internasional dalam publikasi yang tidak
semestinya, meliputi : Tindakan Penyiapan, pengobatan, pemilikan,
pengangkutan dan peredaran bahan-bahan yang tidak semesinya (usang)
diantara dua Negara untuk penggunaan personal. Namun seharusnya harus
dicatat bahwa kejahatan ini sering dilakukan karena terjadinya perubahan
dalam sikap di masyarakat dan kesukaran dalam pelaksanaan yang timbul
dari masalah kebebasan dalam mengemukanan atau mengeluarkan pendapat.
Perbedaan jenis tindak pidana
Internasional yang dikemukankan dalam Konvensi Internasional dan yang
dikemukakan oleh Bassiouni ( 22 jenis tindak pidana Internasional)
adalah dalam hal : Environmental Protetion dan theft of Nuclear Mterials.
BAB III
PENDAPAT HUKUM
Kejahatan terhadap kemanusiaan hanya
dapat dicegah jika calon pelakunya yaitu pemimpin politik, komandan
lapangan atau prajurit dan polisi diberi kesempatan untuk merenungkan
bahwa tidak ada tempat satupun yang dapat digunakan untuk bersembunyi.
Sebab suatu hari disuatu tempat nanti, keadilan hukum akan membawanya
untuk diadili.
Prospek tersebut realistis bila ada
pengadilan kejahatan Internasional yang mengetahui tindakan
kejahatannya, atau ada peraturan yang mengijinkan hukuman atas pelakunya
oleh pengadilan Negara-negara lainnya yang juga memiliki yurisdiksi
untuk membawa pelaku ke hadapan pengadilan
Pertimbangan praktis inilah yang membuat
yurisdiksi universal sebagai atribut paling penting dalam kejahatan
kemanusiaan. Dasar pemikirannya, akibat kejahatan itu begitu serius,
maka pengadilan manapun, dimanapun, diberi kekuasaan oleh hukum
Internasional untuk mengadili dan menguhukum tindakan itu, tanpa
mempedulikan tempat atau kebangsaan pelaku atau para korban. Dengan kata
lain, dimanapun sipelaku kejahatan ditemukan, yurisdiksi akan selalu
mengikutinya, mengingat ia telah dituduh telah melakukan kejahatan yang
sangat besar.
Yurisdiksi universal sudah pasti dikenal
dalam hukum kebiasaan Internasional yang merupakan dasar bagi proses
peradilan domestic untuk bajak laut dan pedangan budak. Juga termasuk
yurisdiksi universal untuk para pembajak pesawat terbang, penyanderaan
dan terorisme Internasional lainnya. Hal itu secara parsial diambil dari
perjanjian Internasional yang mewajibkan pelaku kejahatan yang
ditemukan dalam wilayah mereka atau Negara lainnya atau
mengekstradisikan pelaku ke Negara yang akan mengadili. Namun, ini semua
tindakan kejahatan yang terjadi diluar batas Negara atau dilaut bebas
atau di udara lepas, tanpa ada yang menjadi pemilik kedaulatan atasnya.
Dengan demikian, yurisdiksi universal tidak hanya muncul karena hanya
ada kejahatan kemanusiaan, tetapi semata-mata karena berdasarkan hukum
domestic dimanapun hal itu merupakan tindakan kejahatan, hanya tindakan
itu bisa lepas dari hukuman.
Kasus yang menjadi dasar hukum universal
atas kejahatan kemanusiaan merupakan preseden yang dalam beberapa hal
menyedihkan. Kekuasaan untuk membawa para pelaku ke pengadilan
digambarkan dalam frase yurisdiksi universal, dimana Negara-negara
mempunyai kekuasaan secara sendiri-sendiri maupun kolektif berdasarkan
yurisdiksi tersebut, meskipun mereka tidak memiliki hubungan dengan
tempat kejahatan itu dilakukan atau dengan pelaku atau dengan korban.
Yurisdiksi atas kejahatan biasa tergantung pada hubungan, yang umumnya
terjadi dalam suatu wilayah Negara, antara Negara yang menyelenggarakan
pengadilan dengan kejahatan itu sendiri. Tetapi dalam kasus kejahatan
kemanusiaan, hubungan tersebut dapat ditemukan dalam fakta sederhana
yang menyatakan bahwa kita semua adalah umat manusia.
Yurisdiksi universal di Negara maupun
akan berlangsung dibawah pengadilan local yang memberi kuasa sebuah
pengadilan untuk menyelenggarakannya. Pengadilan Internasional
memerlukan sebuah piagam atau statute yang akan diikuti oleh
Negara-negara yang membuatnya, baik secara kolektif maupun melalui PBB
sebagai organ tambahan dari Dewan Keamanan PBB. Dapat pula dilakukan
secara khusus melalui perjanjian Internasional seperti piagam Nuremberg
atau statute Roma mengenai pengadilan pidana Internasional.
Konsep yurisdiksi Internasional untuk
kejahatan kemanusiaan adalah solusi yang ditawarkan oleh hukum
Internasional atas tontonan pembebasan hukuman (impunity) dari para
tirani dan penyiksa yang melindungi diri dan imunitas domestic, amnesty
dan pemberian maaf. Mereka dapat bersembunyi tetapi di dalam dunia yang
memiliki yurisdiksi universal terhadap kejahatan yang bersangkutan,
mereka tidak dapat lari. Meskipun demikian, prinsip yurisdiksi universal
merupakan satu-satunya jalan untuk meminjam para tersangka tidak
memperoleh tempat persembunyian. Pilihannya adalah mengekstradisi atau
menghukum pelaku.
Alasan kejahatan terhadap kemanusiaan
tidak seperti kejahatan biasa, menarik yurisdiksi universal sekalipun
tidak ada perjanjian-perjanjian Internasional tidak terletak pada
beratnya kejahatan tersebut, karena pembunuhan berantai psikopatik dapat
lebih kejam daripada penyiksaan yang biasa dilakukan oleh polisi. Yang
membedakan kejahatan kemanusiaan, baik dalam skala kekejian maupun
kebutuhan akan langkah-langkah pencegahan semata-mata karena kejahatan
itu tidak dapat dimaafkan yang dilakukan oleh sebuah pemerintahan atau
setidaknya sebuah oerganisasi yang melaksanakan kekuasaan politik yang
menjadi masalah bukan otak penyiksa, akan tetapi fakta bahwa individu
yang bersangkutan merupakan bagian dari aparat Negara yang membuat
kejahatan tersebut menjadi begitu mengerikan dan meletakanya pada
dimensi yang lain dari kriminalitas umum. Faktor ini pula menjelaskan
mengapa tanggung jawab individu dan yurisdiksi universal merupkan
elemen-elemen yang diperlukan jika penyangkalan atas kejahatan tersebut
hendak dicapai.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan hal-hal sebagaimana yang
telah diuraikan dalam pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa tidak
mudah untuk mengadili mauun menghukum pelaku kejahatan terhadap
kemanusiaan ataupun yang berkaitan dengan nilai-nilai kemunusiaan, baik
oleh badan peradilan (Pidana) Nasional maupun badan peradilan pidana
Internasional, meskipun masyarakat Internasional sepakat bahwa kejahatan
terhadap kemanusiaan semacam itu diberlakukan yurisdiksi universal.
Kendala-kendala yang timbul dalam proses
peradilannya terletak pada faktor kedaulatan Negara yang
termenipestasikan pada ada atau kemauan politik (political will), baik
untuk mengadili sendiri pelakunya, mengekstradisikannya kepada Negara
lain yang memintanya, ataupun menyerahkan proses peradilannya kepada
badan peradilan pidana Internasional (Internasional Criminal Court).
Disamping itu, dimensi politik dari
kejahatan kemanusiaan juga sangat besar pengruhnya terhadap kelancaran
dalam proses penerapan hukumnya, meskipun terhadap kejahatan kemanusiaan
diberlakukan yurisdiksi universal. Negara-negara yang didalam
wilayahnya dituduh telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan sangat
berat untuk menerima proses penyelidikan oleh suatu badan atau komisi
internasional untuk menyelidiknya apalagi jika terbukti dan kemudian
diteruskan dengan menbentuk badan peradilan pidana Internasional ad hoc
untuk mengadili pelakunya yang tidak lain dari warga negaranya sendiri,
apalagi apabila pelakunya adalah merupakan bagian dari kelompok atau
pemerintah yang sedang berkuasa.
Konsep yurisdiksi universal untuk
kejahatan kemanusiaan adalah solusi yang ditawarkan oleh hukum
internasional atas tontonan permbebasan hukuman (impunity) dari para
tirani dan penyiksa yang melindungi diri dengan imunitas domestik,
amnesty dan pemberian maaf. Mereka dapat bersembunyi tetapi didalam
dunia yang memiliki yurisdiksi universal terhadap kejahatan yang
bersangkutan, mereka tidak dapat lari. Meskipun demikian, prinsip
yurisdiksi universal merupaka satu-satunya jalan untuk menjamin para
tersangka tidak memperoleh tempat persembunyian. Pilihannya adalah
mengekstradisikan atau menghukum pelaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar