Senin, 18 Juni 2012

Kategori Al-Masaa'il : Propaganda

Muslim Liberal

Jumat, 22 Juli 2011 23:09:09 WIB

Seorang muslim ialah seorang yang berserah diri kepada Allah dengan tauhid, tunduk kepadaNya dengan ketaatan, dan ia berlepas diri dari perbuatan syirik dan pelakunya. Sedangkan seseorang yang ingin kebebasan, yang tidak memiliki ketentuan kecuali undang-undang buatan menusia, ialah orang yang keluar dari syariat Allah, menginginkan hukum jahiliyah dan hukum taghut. Yang demikian itu bukanlah seorang muslim. Seseorang yang mengingkari perkara-perkara yang secara pasti sudah jelas dalam agama, berupa perbedaan antara muslim dan kafir, dan ingin kebebasan yang tidak tunduk kepada batasan syariat serta mengingkari hukum-hukum syariat, seperti hukum-hukum khusus tentang wanita, amar makruf nahi mungkar dan jihad fi sabilillah, (berarti ia) telah melakukan beberapa perkara yang mengeluarkannya dari agama (nawaqid Islam) sebagaimana telah dijelaskan para ulama. Seseorang yang mengatakan “saya muslim liberal” adalah kontradiktif. Apabila yang diinginkan ialah seperti yang disebutkan (dalam pertanyaan), maka hendaklah ia bertaubat kepada Allah agar menjadi muslim yang benar.

Islam Dan Liberalisme

Kamis, 21 Juli 2011 23:17:00 WIB

Liberalisme, adalah sebuah istilah asing yang diambil dari bahasa Inggris, yang berarti kebebasan. Kata ini kembali kepada kata “liberty” dalam bahasa Inggrisnya, atau “liberte” menurut bahasa Perancis, yang bermakna bebas. Istilah ini datang dari Eropa. Para peneliti, baik dari mereka ataupun dari selainnya berselisih dalam mendefinisikan pemikiran ini. Namun seluruh definisi, kembali kepada pengertian kebebasan dalam pandangan Barat. The World Book Encyclopedia menuliskan pembahasan Liberalism, bahwa istilah ini dianggap masih samar, karena pengertian dan pendukung-pendukungnya berubah dalam bentuk tertentu dengan berlalunya waktu. Syaikh Sulaiman al-Khirasyi menyebutkan, liberalisme adalah madzhab pemikiran yang memperhatikan kebebasan individu. Madzhab ini memandang, wajibnya menghormati kemerdekaan individu, serta berkeyakinan bahwa tugas pokok pemerintah ialah menjaga dan melindungi kebebasan rakyat, seperti kebebasan berfikir, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan kepemilikan pribadi, kebebasan individu, dan sejenisnya. Pemikiran Liberal masuk ke dalam tubuh kaum muslimin melalui para penjajah kolonial. Kemudian disambut orang-orang yang terperangah dengan modernisasi Eropa waktu itu

Liberalisme, Pluralisme Dan Inklusivisme, Dahulu Hingga Sekarang

Rabu, 20 Juli 2011 23:05:15 WIB

Kata liberal di sini, ialah sebuah kondisi dan suasana dimana kaum muslim bebas mengartikulasikan kesadaran budaya dan peradaban mereka. Dalam konteks Eropa, liberal mengacu kepada situasi kebangkitan dan pencerahan. Itulah sebabnya ketika karya Hourani ini diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, kata yang digunakan untuk menerjemahkan “liberal age” adalah ‘ashr al-nahdhoh, yang berarti “era kebangkitan”. Judul lengkap buku Hourani ini ialah al-Fikr al-Arabi fi asr al-nahdhoh. Menurut Hourani, era liberal di dunia Arab dimulai antara tahun 1798 sampai tahun 1939. Selama rentang itu, dasar pemikiran seperti kemajuan, modernitas, kebebasan, dan persamaan dibincangkan secara luas. Para pembaharu generasi awal seperti at-Tahtawi, at-Tunisi, dan al-Kawâkibi memandang kondisi kaum muslimin saat itu terbelakang, tidak semaju bangsa Eropa. Perhatian utama mereka adalah bagaimana mengubah keadaan ke arah lebih baik. Mereka selalu membenturkan kondisi keterbelakangan kaum muslimin dengan kemajuan Eropa. Persis seperti yang dipertanyakan al-Kawaakibi dalam bukunya berjudul, Limâdza Ta-akhkhara al-Muslimun wa Limâdza Taqaddama Ghairuhum (Mengapa kaum muslim mundur dan mengapa bangsa lain maju?).

Menelusuri Akar Pemikiran Kaum Liberal

Selasa, 19 Juli 2011 22:57:27 WIB

Slogan-slogan sesatpun bermunculan, mulai dari slogan toleransi beragama, pluralisme, persaudaraan agama-agama, reaktualisasi hukum Islam, pengakuan sebagai nabi baru, pengakuan mendapat wahyu, hermeneutika, liberalisasi tafsir, paham relativisme, paham inklusivisme, pengakuan sebagai imam mahdi, pembaharuan syariat Islam, dan masih banyak lagi slogan-slogan lainnya. Sekularisasi dan liberalisasi agama ini dibungkus dengan atribut Islam dan diklaim sebagai bagian dari Islam. Selain itu muncul pula sebagian oknum yang berusaha menyatukan agama-agama. Mereka menyimpulkan bahwa semua agama itu pada hakikatnya sama, dan hanya penampilannya saja yang berbeda-beda. Menurut mereka, bangunan agama itu nampak sama atau serupa, atau dapat diabstrasikan menjadi sesuatu yang sama. Yang sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin yang awam terpengaruh dengan propaganda sesat seperti ini. Apalagi, di kalangan umat Islam, mulai muncul gejala umum yang mengkhawatirkan, yakni mudahnya mengambil dan meniru metodologi pemahaman Al-Qur‘an dan as-Sunnah yang berasal dari pemikiran dan peradaban asing. Gerakan “impor pemikiran” semakin gencar dilakukan, terutama oleh kalangan yang menggeluti Islamic Studies.

Bentuk-Bentuk Ingkarus Sunnah

Minggu, 19 Desember 2010 22:50:03 WIB

Qur’aniyun bentuknya bermacam-macam. Di Indonesia ada yang secara tegas memakai sebutan Ingkarus Sunnah untuk menyatakan bahwa pegangan satu-satunya adalah al-Qur’an. Sebenarnya gerakan ingkarus Sunnah sudah lama muncul ke permukaan, sejalan dengan munculnya firqah-firqah umat Islam. Dalam sejarah, firqah yang dari segi waktu disebutkan oleh Ulama sebagai yang muncul pertama kali di tengah umat Islam adalah Khawarij, di susul kemudian dengan kemunculan Syi’ah. Keduanya muncul pada zaman kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Hanya saja, Syi’ah waktu itu masih sangat terselubung. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah XIII/32,33 dan 49). Khawarij sejak pertama kemunculannya merupakan sekelompok orang yang terkesan sangar, pemberani dan tanpa basa basi. Sedangkan Syi’ah adalah sekelompok orang yang terkenal sangat licik, salah satu aqidahnya adalah menipu. Aqidah “menipu” ini mereka istilahkan dengan taqiyah. Namun baik khawarij maupun syi’ah, sama sama jahat, kejam dan bengis terhadap lawan-lawannya, khususnya terhadap Ahlu Sunnah dan tokoh-tokohnya. Bahkan syi’ah lebih jahat lagi. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah XXVIII/478,479,480 dst). Sejalan dengan kemunculan firqah-firqah itulah, penolakan terhadap sunnah berhembus kencang. Bahkan penolakan terhadap sunnah itulah yang menjadi pemicu lahirnya firqah-firqah.

Membedah Syubhat Ingkarus Sunnah

Minggu, 19 Desember 2010 22:44:16 WIB

Diantara cara mereka merusak Islam adalah dengan menyuntikkan konsep pemikiran yang berisi racun-racun yang dapat membius dan memabukkan kaum muslimin sehingga mereka tidak dapat melihat dan memandang agamanya secara benar dan tepat dan itu telah berhasil di suntikkan oleh musuh-musuh Allah l dari kalangan para orientalis salibis yang memanfaatkan hasil rangkaian pemikiran ahlil bidah yang muncul didalam islam dan membesar-besarkannya serta menghembuskannya dengan propaganda dan profokasi yang beraneka ragam namanya seperti sekulerisme, pluralisme, kebebasan berfikir, berfikir moderat dan reformis dan lain-lainnya dari propaganda musuh-musuh islam yang hakikatnya hanya satu yaitu menghancurkan dan melemahkan serta memberikan keraguan terhadap aqidah yang benar yang telah dimiliki oleh kaum muslimin. Salah satu usaha mereka ini adalah menyebarkan pemahaman ingkarus sunnah, satu gerakan dan konsep pemikiran yang berbahaya yang mengajak kaum muslimin meninggalkan sunnah-sunnah Rasululloh n dalam memahami dan mengamalkan agama islam dengan menamakan diri mereka Al Quraniyun (golongan Alquran/ ahlil quran) –mereka sendiri sebenarnya adalah perusak Al Quran- atau ingkarus sunnah.


Yahudi Pelopor Faham Ingkar Sunnah Modern

Minggu, 19 Desember 2010 22:38:13 WIB

Sebelas abad setelah itu, tepatnya pada abad ke-14 H, setelah runtuhnya negara-negara Islam ditangan barat, muncullah gerakan faham ingkar sunnah secara mutlak. Faham sesat ini dibidani oleh seorang Yahudi tulen. Aneh tetapi nyata. Seharusnya menjadi maklum bahwa Yahudi itu ingkar Al-Qur`an dan Sunnah. Akan tetapi jalan baru ini dinilai sebagai alternatif jitu untuk membidik leher umat Islam. Dan yang lebih aneh lagi pemikirannya yang jelas-jelas rusak itu diikuti oleh sebagian sarjana muslim. Yahudi tersebut adalah seorang orientalis terkemuka bernama Ignaz Goldziher. Dia mengingkari sunnah melalui karangannya Muhammadanische Studien yang diterbitkan pada tahun 1890 M di Jerman. Prof. DR. Goldziher (1850-1921 M) adalah Yahudi Honggaria. Ibu bapaknya adalah tukang mas di Honggaria dan beragama Yahudi tulen. Nenek moyangnya juga beragama Yahudi fanatik. Dalam usia yang sangat muda (19 tahun), ia dilantik menjadi doktor dalam bidang Islamologi di Jerman, dibawah bimbingan Prof. Rodiger. Dia ahli dalam bahasa Ibrani, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan dalam bahasa Jerman, Perancis, dan Inggris. Ia kemudian mendapat beasiswa untuk belajar di Al-Azhar, Kairo, Mesir, pada tahun 1873-1874 guna memperdalam bahasa Arab dan pengetahuan Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam.

Zindiq [Madrasah Orientalis Atau Yahudi Gaya Baru]

Selasa, 21 September 2010 16:28:27 WIB

Ini sebuah tulisan tentang sebuah gerakan orientalis yang berpakaian dengan pakaian Islam dan dari nasab atau keturunan kaum Muslimin. Akan tetapi, hakekatnya ruh, badan, akal dan pikiran mereka seperti Yahudi, atau mengambil istilah saya, Yahudi gaya baru. Mereka telah diasuh dan disusui dengan baik oleh Yahudi di negeri-negeri yang dikuasai oleh Yahudi seperti Amerika dan negeri kafir lainnya. Usai belajar, mereka pun pulang ke negeri masing-masing, seperti Mesir, Syiria, Sudan, Pakistan, Malaysia. Indonesia dan lain-lain. Sekarang mereka menjadi guru di negeri mereka untuk mendidik kaum Muslimin agar mereka menjadi Yahudi walaupun nama dan pakaiannya tetap Islam. Mereka mendirikan dan membuka madrasah–madrasah (pusat kajian) dengan kajian-kajian Islamnya dalam berbagai macam acara seperti diskusi atau seminar dan lain-lain. Mungkin ada pertanyaan, bukankah yang dimaksud dengan orientalis ialah orang-orang non-Muslim yang mempelajari Islam untuk merusak Islam dan mengajarkan kerusakan itu kepada kaum Muslimin ?! Jawabannya, "Ya, Itu dulu. Sekarang, cara kerja mereka berbeda. Tokoh-tokoh orientalis zaman ini tidak lagi terjun langsung, akan tetapi lewat perantara anak didik mereka yang terdiri dari manusia– manusia munafik yang ada di dalam Islam untuk merusak Islam dan kaum Muslimin dari dalam.

Dengan Dalih Kajian Ilmiah, Cendikiawan-Cendikiawan Muslim Ramai Merendahkan Kedudukan Rasulullah

Kamis, 22 Juli 2010 16:53:46 WIB

Rasionalisme, sebuah cara berpikir yang mengagungkan kemampuan akal, dan memposisikan akal lebih tinggi dari agama (wahyu). Rasionalisme juga memberikan wewenang untuk membicarakan alam ghaib. Nash-nash syar'i yang berasal dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya dikalahkan. Akal menjadi segala-galanya dalam menentukan dan menerima suatu hukum. Demikian pemikiran yang diusung oleh paham yang dikenal dengan istilah 'aqlaniyyun. Keburukan konsep mereka tersembunyi di balik gelar megah, yaitu "Cendikiawan Muslim". Konsep berpikir Mu`tazilah, yang mengutamakan akal di atas wahyu nampak kuat keberadaannya mempengaruhi kalangan akademisi, maupun tokoh-tokoh yang dianggap sebagai "cendikiawan muslim". Tokoh-tokoh tersebut bisa kita sebutkan, misalnya: Dr. Thâha Husain, Muhammad Farid Wajdi, Dr. Ahmad Zaki Abu Syâdi, Salâmah Musa, Syaikh 'Ali 'Abdur-Razzâq, Qâsim Amin, Dr. Muhammad Husain Haikal, Dr. Ahmad Amin dan putranya Husain Ahmad Amin, Syaikh Mahmud Abu Rayyah, Muhammad Ahmad Khalfullah, Khalid Muhammad Khalid. Tokoh-tokoh yang semuanya berasal dari Mesir ini, merujuk pemikiran Syaikh Jamaluddin al-Afghani dan Syaikh Muhammad 'Abduh dari perguruan rasionalisnya (madrasah 'aqliyyah).

Menimbang Pernyataan Bebas Memilih Agama

Rabu, 14 Mei 2008 10:50:49 WIB

Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)” [Al-Baqarah : 256] Yang dijadikan pegangan oleh para pengusung pendapat ini tanpa alasan yang haq, maka ayat tersebut tidak seperti yang mereka inginkan. Al-Iman Ibnu Katsir rahimahullah berkata : Allah Azza wa Jalla berfirman : “Maksudnya surat Al-Baqarah ayat 256 yaitu, kalian jangan memaksa seseorang untuk memasuki Islam”. Maksudnya sangatlah jelas, tidak perlu memaksa seseorang masuk Islam. Akan tetapi, orang yang diberi petunjuk Allah Azza wa Jalla, dan dilapangkan dadanya untuk menerimanya, serta hatinya disinari, maka ia akan masuk Islam. Sedangkan orang yang dibutakan mata hatinya, pendengaran dan penglihatannya ditutup oleh Allah Azza wa Jalla, maka tidak ada gunanya memaksanya masuk Islam. Para ulama menyebutkan ayat ini turun pada sekelompok orang Anshar, meskipun hukum ayat ini bersifat umum.

Ucapan, Sesungguhnya Islam Telah Merongrong Hak Wanita Dan Membiarkan Separuh Masyarakat Menganggur

Minggu, 6 April 2008 15:03:56 WIB

Komentar saya terhadap hal ini, bahwa ini adalah ucapan yang hanya bersumber dari orang yang jahil terhadap syari'at, terhadap Islam, hak-hak wanita itu sendiri serta terlalu terpukau dengan perilaku dan manhaj yang jauh dari kebenaran yang dilakukan musuh-musuh Allah. Dan alhamdulillah, Islam tidak pernah merongrong hak wanita malah Islam itu adalah agama hikmah yang menempatkan masing-masing orang sesuai dengan proporsinya. Pekerjaan wanita adalah di rumahnya dan tinggalnya dia di rumahnya demi menjaga kehormatan suaminya, mendidik anak-anaknya, mengurusi urusan rumah serta pekerjaan lainnya yang sesuai dengan kodratnya. Demikian pula, laki-laki memiliki spesifikasi pekerjaan yang khusus. Yang tampak adalah pekerjaan yang dilakukan untuk mencari rizki dan bermanfaat untuk umat. Sementara bila wanita tinggal di rumahnya untuk kemaslahatannya, anak-anak serta suaminya, maka inilah pekerjaan yang sesuai dengannya, yang menjaga dirinya, melindungi dan menjauhkannya dari perbuatan yang keji.

Sepuluh Kaidah Dasar Menolak Paham Pluralisme Agama

Sabtu, 22 Maret 2008 07:51:15 WIB

Setiap muslim tidak dibenarkan menyambut ajakan membangun masjid, gereja dan ma’bad (tempat peribadatan Yahudi) dalam satu komplek. Karena hal itu berarti pengakuan bagi agama selain Islam, menghambat tegaknya Dinul Islam atas agama-agama lainnya, dan secara tidak langsung merupakan statement, bahwa agama yang sah itu ada tiga dan (merupakan) pernyataan bahwa penduduk bumi ini boleh memilih salah satu di antaranya, bahwa ketiga agama itu sama dan Islam tidak menghapus agama-agama sebelumnya. Tentu saja, pengakuan, keyakinan dan kerelaan kepada hal semacam itu termasuk kekufuran dan kesesatan, serta sangat bertentangan dengan nash-nash Al Qur`an yang sangat jelas, As Sunnah yang shahih dan Ijma’ kaum muslimin. Secara tidak langsung, hal itu juga merupakan pengakuan, bahwa penyelewengan yang dilakukan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu berasal dari Allah. Maha Tinggi Allah dari hal itu. Sebagaimana juga tidak dibenarkan menyebut gereja sebagai rumah Allah, atau mengatakan bahwa ibadah kaum Nasrani kepada Allah di gereja-gereja tersebut diterima di sisi Allah; sebab ibadah mereka itu tidak berdasarkan ajaran Islam.


Ada Apa Dengan Hak Asasi Manusia (HAM)?

Selasa, 12 Februari 2008 14:47:21 WIB

Kita mendapati bahwasanya Islam menjamin hak-hak individu dan masyarakat, dan ini tidak pernah dipelihara oleh negara-negara kafir yang mengaku demokratis dan menjaga hak-hak manusia. Sebaliknya, justru melanggar hak Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dengan melakukan perbuatan kufur dan syirik. Mereka melanggar hak-hak kaum muslimin dengan cara membunuh kaum muslimin secara massal, mengusirnya serta merampas harta benda mereka. Merubah penegakkan syari’at Allah Azza wa Jalla dengan sanksi sebagai pelaku kriminal. Negara-negara itu melarang penegakkan sanksi dari Allah Azza wa Jalla dan dianggap pelanggar hak-hak manusia. Seakan dalam pandangan negara-negara kafir itu, manusia yang wajib dilindungi hak-haknya adalah pelaku kejahatan, pembuat kerusakan lagi zhalim. Sedangkan (menurut mereka, red) seorang muslim, orang yang terzhalimi dan yang dilanggar hak-haknya, bukanlah manusia yang harus dibela hak-haknya.

Relevansi Hukum Waris : Bias Isu Gender, Egalitarianisme, Pluralisme Dan HAM

Senin, 11 Februari 2008 16:23:37 WIB

Dalam rumusan mereka tentang syariat Islam, bahwa semua warga negara, apapun agamanya dan sesembahannya memiliki kedudukan yang sama dan memperoleh perlakuan yang adil, dan menurut hasil penelitian mereka, syariat Islam yang “purba” itu, secara jelas sangat menyalahi prinsip dasar universal, yaitu : prinsip persamaan (al-mursawah), persaudaraan (al-ikha) dan keadilan (al-adl), serta gagasan dasar bagi pembentukan masyarakat modern, seperti pluralisme, kesetaraan gender, HAM, demokrasi dan egalitarianisme. Bahkan menurut keyakinan mereka, hukum Islam bertentangan dengan hukum nasional dan konversi internasional. Oleh karena itu, mereka berpendapat syariat Islam adalah diskriminatif, anti demokrasi, usang, formalistic, radikalistik, fundamentalistik, teosentris, berwajah keras, kaku dan rigid, intoleran, tidak relevan dan bernuansa konfliktual.

Hukum Al-Hadatsah, Perang Terhadap Bahasa Arab Yang Merupakan Bahasa Al-Qur'an

Senin, 12 Nopember 2007 14:55:56 WIB

Dari ucapan kalian saya pahami bahwa mereka itu juga ingin melenyapkan agama-agama samawi seperti Yahudi dan Nashrani. Mereka tidak rela menjadi orang-orang Islam, Yahudi ataupun Nashrani. Karena orang ini (Islam, Yahudi atau Nashrani, pent.) berafiliasi kepada agama, sementara mereka menurut apa yang telah aku dengar dari penjelasan kalian tidak menginginkan afiliasi kepada apapun yang sudah lama (usang) sekalipun ia adalah Dienullah dan Syari'atNya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa perbuatan ini merupakan bentuk atheisme total yang persis dengan perbuatan orang yang disebutkan dalam firmanNya, "Dan tentu mereka akan mengatakan (pula), 'Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan". Orang yang berakal tidak meragukan lagi bahwa perbuatan ini adalah bentuk riddah (keluar dari Islam), yang terhadap pelakunya harus dipaksa bertaubat, bila dia mau, maka sanksinya gugur dan bila tidak, maka wajib dibunuh karena dia sudah murtad.

Wanita Di Saudi Arabia

Selasa, 27 Februari 2007 16:07:11 WIB

Ucapan kotor Ulil, "Inilah yang terjadi di Saudi Arabia, negeri Wahabi itu. Karena perempuan dianggap hewan, tidak boleh nyetir mobil. Itulah negeri Saudi Arabia, negeri Wahabi itu, apakah negeri semacam ini akan diikuti saudara saudara? ! ". Jawabnya : Ini kontradiksi ; sebab larangan nyetir mobil itu untuk menjaga kehormatan wanita. Sekiranya perempuan dianggap hewan oleh Saudi Arabia, tentu akan dibebaskan nyetir mobil seperti keinginan Ulil, yang sebenarnya juga keinginan musuh-musuh Islam?! Sebenarnya, apa beratnya bagi pemerintah Saudi memberikan kebebasan kaum wanita nyetir mobil. Bukankah itu malah menguntungkan mereka?! Anda bisa membayangkan, entah berapa banyak uang yang mereka keluarkan untuk mengambil sopir-sopir dari luar negeri -terbanyak adalah negeri kita Indonesia-. Namun, untuk membendung kerusakan yang lebih besar, mereka rela mengeluarkan dana yang cukup besar. Tidakkah anda menyadari hal itu?!

Bahaya Firqah Liberal

Selasa, 12 Desember 2006 04:32:35 WIB

Misi Firqah Liberal adalah untuk menghadang (tepatnya : rnenghancurkan) gerakan Islam fundamentalis. mereka menulis: “sudah tentu, jika tidak ada upaya-upaya untuk mencegah dominannya pandangan keagamaan yang militan itu, boleh jadi, dalam waktu yang panjang, pandangan-pandangan kelompok keagamaan yang militan ini bisa menjadi dominan. Hal ini jika benar terjadi, akan mempunyai akibat buruk buat usaha memantapkan demokratisasi di Indonesia. Sebab pandangan keagamaan yang militan biasanya menimbulkan ketegangan antar kelompok-kelompok agama yang ada. Sebut saja antara Islam dan Kristen. Pandangan-pandangan kegamaan yang terbuka (inklusif) plural, dan humanis adalah salah satu nilai-nilai pokok yang mendasari suatu kehidupan yang demokratis.”

Bahaya Propaganda Penyatuan Agama

Selasa, 12 September 2006 15:52:23 WIB

Diantara dampak negative propaganda keji tersebut adalah hilangnya pembeda antara Islam dengan kekufuran, yang haq dengan yang batil, yang ma'ruf dengan yang mungkar, dan hilangnya kebencian antara kaum musilimin dan kaum kafir. Tidak ada lagi wala' dan bara' ! Tidak ada lagi seruan jihad dan perang demi menegakkan Kalimatullah di atas muka bumi, sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah Dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk"

Bergabung Dengan Madzhab-Madzhab Ilhad [Atheis] Dan Kelompok-Kelompok Jahiliyah

Jumat, 24 Maret 2006 15:14:11 WIB

Madzhab-madzhab atheis tersebut adalah madzhab-madzhab yang menyimpang, karena didirikan diatas kebatilan. Komunisme misalnya, mengingkari wujud pencipta Subhanahu wa Ta’ala dan memerangi agama-agama samawiyah. Barangsiapa rela dengan akalnya untuk hidup tanpa aqidah serta mengingkari kepastian hukum-hukum akal, maka berarti ia menafikan akalnya. Lalu sekulerisme mengingkari agama-agama dan hanya bersandar kepada materi yang tidak memiliki orientasi dan tujuan dalam hidup ini, selain kehidupan hewani. Kapitalisme yang dipentingkan hanya mengumpulkan harta dari mana saja, tanpa memperdulikan halal-haram, kasih sayang dan cinta kepada orang-orang fakir dan miskin. Dasar perekonomiannya adalah riba yang berarti memerangi Allah dan RasulNya, dan karenanya Negara serta pribadi menjadi hancur dan menghisap darah rakyat miskin.

Seputar Hukum Berafiliasi Kepada Gerakan Frimasonry

Rabu, 23 Nopember 2005 08:28:50 WIB

Frimasonry adalah organisasi rahasia yang terkadang merahasiakan operasinya dan terkadang menampakkannya sesuai dengan situasi dan kondisi, akan tetapi prinsip-prinsip kerjanya yang substansial adalah kerahasiaan dalam setiap kondisi, tidak dapat diketahui bahkan oleh para anggotanya sendiri kecuali oleh tim inti yang telah melewati tahapan eksperimen yang beragam mencapai karir tertinggi didalamnya. Organisasi ini memiliki target-target politis dan memiliki andil dan campur tangan dalam mayoritas peristiwa penggulingan kekuasaan politik, militer dan perubahan-perubahan berbahaya lainnya baik secara terang-terangan maupun terselubung. Secara prinsip kerja dan organisasi, ia lahir dari gerakan Yahudi dan secara administratif berada di bawah manajemen Yahudi internasional tingkat tinggi, serta secara operasional senyawa dengan gerakan zionis.

Hukum Ungkapan Kebebasan Berfikir

Jumat, 1 April 2005 07:05:48 WIB

Tanggapan kami bahwa orang yang membolehkan seseorang bebas menganut keyakinan dengan meyakini agama yang dia inginkan ; maka dia telah kafir karena setiap orang yang berkeyakinan bahwa seseorang boleh saja beragama dengan selain agama Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka berarti dia telah kafir terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala, harus dipaksa bertaubat ; bila dia bersedia, maka dia selamat dari hukum dan bila tidak, maka dia wajib dibunuh. Agama-agama bukanlah pemikiran akan tetapi merupakan wahyu dari Allah yang dia turunkan kepada para RasulNya sehingga hambaNya berjalan diatasnya. Ungkapan seperti ini yakni ucapan 'berfikir' yang maksudnya terhadap agama, wajib dihapus dari kamus buku-buku Islami.

Apa Itu Sekulerisme ?

Minggu, 20 Februari 2005 06:25:58 WIB

Barangsiapa menjadikan undang-undang buatan manusia sebagai pemutus dan membatalkan hukum-hukum syari'at, maka dia adalah seorang sekuler. Siapa yang membolehkan semua hal yang diharamkan seperti perzinaan, minuman keras, musik dan transaksi ribawi dan meyakini bahwa melarang hal itu berbahaya bagi manusia dan merupakan sikap apatis terhadap sesuatu yang memiliki mashalahat terhadap diri, maka dia adalah seorang Sekuler. Siapa yang mencegah atau mengingkari penegakan hukum hudud seperti hukum bunuh terhadap si pembunuh, rajam, cambuk terhadap pezina atau peminum khamar, potong tangan pencuri atau perampok dan mengklaim bahwa penegakannya menyalahi sikap lemah lembut dan mengandung unsur kesadisan dan kebengisan, maka dia masuk ke dalam sekulerisme.

Penjelasan Penting Tentang : Peringatan Dari Bahaya Gerakan Kristenisasi Dan Wasilah-Wasilahnya

Jumat, 24 Desember 2004 07:04:01 WIB

Tentunya tidak samar lagi bagi setiap kaum muslimin yang Allah terangi mata hatinya dengan pengetahuan tentang permusuhan kaum Yahudi dan Nasrani yang amat sangat terhadap kaum muslimin. Mereka bersatu padu menggalang kekuatan dalam menghadapi kaum muslimin demi mengobok-obok dan mengacaukan keimanan kaum musilmin terhadap Islam, agama yang Allah turunkan kepada penutup para nabi dan rasul, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk disampaikan kepada umat manusia. Dalam usaha orang-orang kafir melawan kaum muslimin dan menyesatkan, menguasai dan menjajah akal mereka, serta membuat makar busuk terhadap mereka dengan berbagai cara. Dakwah orang-orang kafir, yayasan-yayasan serta pengiriman da'i-da'i mereka kian menggeliat. Sehingga fitnah pada zaman sekarang ini bertambah besar. Diantara musuh-musuh Islam yang paling menonjol adalah kaum Nasrani yang dengki. Mereka mengerahkan segala kemampuan untuk melawan dan menghadapi kaum muslimin di seluruh belahan dunia.

Bantahan Secara Global Teori Penyatuan Agama

Rabu, 21 Juli 2004 06:55:05 WIB

Menurut hukum Islam propaganda semacam itu adalah bid'ah, sesat dan kekufuran, langkah menuju dosa dan seruan kepada pemurtadan secara keseluruhan dan Islam. Propaganda tersebut sangat bertentangan dengan dasar-dasar akidah Islamiyah, merobek kehormatan para rasul dan kehormatan risalah ilahi, membatalkan kebenaran Al-Qur'an, membatalkan fungsi Al-Qur'an yang menghapus kitab-kitab suci sebelumnya, membatalkan fungsi Dienul Islam yang menghapus syariat-syariat sebelumnya dan membatalkan status Muhammad Rasulullah sebagai rasul penutup yang membawa risalah terakhir. Propaganda itu secara syar'i jelas betolak dan diyakini keharamannya berdasarkan seluruh sumber-sumber hukum dalam Islam, berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma' dan argumen-argumen yang tercakup dalam dalil-dalil syar'i tersebut.


Dampak Negatif Teori Penyatuan Agama Terhadap Islam Dengan Dibukanya Kuliah Perbandingan Agama

Selasa, 8 Juni 2004 08:25:47 WIB

Diantara makar busuk yang memudahkan lajunya propaganda ini dalam merusak ajaran Islam adalah dibukanya materi kuliah perbandingan agama, khususnya antara ketiga agama tersebut. Dari situ ketahuanlah usaha masing-masing pemeluk agama untuk meninggikan agamanya atas agama lainnya. Akibatnya mencairlah kebutuhan dan keistimewaan Dienul Islam. Syubhat-syubhat pun semakin subur dan gencar dilontarkan yang kemudian ditampung oleh hati yang lemah. Tidaklah mengherankan bila Yahudi dan Nasrani sangat antusias sekali menyambut seruan "Dialog Antar Umat Beragama" dalam sebuah seminar yang bertema : "Pertukaran Peradaban dan Kebudayaan", "Membangun Peradaban baru Umat Manusia", "Pembangunan Masjid, Gereja dan Ma'bad di satu tempat, khususnya di tempat-tempat umum seperti lingkungan universitas, pelabuhan udara dan sejenisnya.

Dampak Negatif Teori Penyatuan Agama Terhadap Islam Dan Kaum Muslimin

Jumat, 28 Mei 2004 07:44:02 WIB

Syiar-syiar propaganda ini juga semakin meluas di seantero dunia, di dengar oleh umat manusia di berbagai belahan dunia. Lebih parah lagi propaganda itu telah menyusup ke negari-negeri muslimin ! Mendapat tempat di hati sebagian oknum yang mengaku muslim. Dan membuat mereka hilang akal sehat, lalu ditulislah artikel-artikel yang mendukung propaganda tersebut, mucullah komentar-komentar yang menguatkannya, semakin maraklah seruan kepadanya dalam bentuk seminar-seminar internasional dan pertemuan-pertemuan resmi yang bersifat regional. Diantaranya adalah Seminar Syarmusy Syaikh di Mesir pada bulan Syawal tahun 1416.Yang diikuti dan diarahkan oleh orang-orang berpengaruh dari kalangan kaum muslimin. Dengan dasar satu keyakinan, yaitu Ibrahimiyah.

Propaganda Penyatuan Agama Pada Hari Ini

Jumat, 21 Mei 2004 08:43:08 WIB

Pada kesempatan akhir kurun empat belas Hijriyah hingga pada hari ini dibawah selogan ‘membangun dunia baru’, Yahudi dan Nasrani secara terang-terangan menyuarakan persatuan agama, yaitu antara mereka dengan kaum muslimin. Dalam istilah lain mereka mengatakan : “Penyatuan antara pengikut nabi Musa, Isa dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Dibawah slogan ‘seruan kepada penyatuan agama’, pendekatan antara agama’ dan ‘ persaudaraan antara agama’. Bahkan di Mesir telah dibuka sebuah markas dengan nama tersebut. Lalu dengan nama ‘persatuan agama’ dan telah dibuka pula sebuah markas di Sinai Mesir dengan nama tersebut.

Propaganda Yang Dilancarkan Pada Separuh Awal Abad Empat Belas Hijriyah

Rabu, 12 Mei 2004 12:59:09 WIB

Muncul gerakan Al-Masuuniyah, yaitu sebuah organisasi Yahudiyah untuk menguasai dunia, menyebarkan kesesatan dan kehidupan bebas. Mereka bersembunyi di balik seruan kepada penyatuan tiga agama, membuang fanatisme agama di bawah satu ikatan, yaitu iman kepada Allah, semuanya orang-orang beriman. Diantara orang yang terjerat propaganda mereka adalah Jamaluddin bin Shafdar Al-Afghani dan muridnya, yaitu Syaikh Muhammad Abduh bin Hasan At-Turkimani. Diantara upaya yang dilakukan oleh Muhammad Abduh adalah mendirikan sebuah organisasi bernama "Jam'iyah Ta'lif Wat Taqrib (Organisasi Penyatuan dan Pendekatan)", bersama tokoh gerakan yaitu Mirza Muhammad Baqir Al-Irani yang pernah memeluk agama Nasrani lalu kembali memeluk Islam dan Jamaluddin Al-Afghani serta beberapa pemikir lainnya di Beirut.

Propaganda Kepada Teori Penyatuan Agama Setelah Berakhirnya Tiga Kurun Yang Utama

Selasa, 11 Mei 2004 09:52:37 WIB

Kemudian muncullah upaya baru dalam menyebarkan teori penyatuan agama melalui slogan-slogan yang memperdaya orang-orang jahil. Yakni slogan bahwa agama-agama seperti Yahudi, Nasrani dan Islam, kedudukannya seperti kedudukan empat madzhab yang dikenal kaum muslimin. Seluruhnya merupakan jalan menuju Allah Subhanahu wa Ta'ala. Demikianlah syubhat-syubhat yang mereka tebarkan, nash-nash yang mereka penggal untuk mengelabuhi dan menjebak kaum awam dan untuk menjaring orang-orang yang menyandang gelar-gelar mentereng di segala tempat. Kemudian teori ini ditelan bulat-bulat oleh pentolan-pentolan wihdatul wujud, ittihadiyah, hululiyah, dan kaum sufi dari golongan ekstrim Syi'ah Rafidah

Tinjauan Historis Teori Penyatuan Agama Dan Beberapa Kasus Yang Berkaitan Dengannya

Senin, 10 Mei 2004 14:43:08 WIB

Teori ini sebenarnya berasal dari Yahudi dan Nasrani. Teori ini tergolong baru, yang disebarkan lewat selogan dan kegiatan-kegiatan dalam segala bidang untuk menyeret kaum muslimin keluar dari Islam. Namun di kalangan Yahudi dan Nasrani teori ini tergolong lama dan termasuk salah satu bentuk strategi mereka dan salah satu bentuk permusuhan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan hal itu dalam kitabnya, bahwa Yahudi dan Nasrani senantiasa berupaya memurtadkan kaum muslimin dari Islam dan mengembalikan mereka kepada kekafiran. Bahwasanya mereka senantiasa membujuk kaum muslimin kepada agama Yahudi dan Nasrani.



Kategori Al-Masaa'il : Politik

Pemimpin Ideal

Kamis, 17 Juni 2010 16:24:32 WIB

Al-Walid bin Hisyam berkata,"Sesungguhnya rakyat akan rusak karena rusaknya pemimpin, dan akan menjadi baik karena baiknya pemimpin." Sufyan ats-Tsauri berkata kepada Abu Ja'far al-Manshur: "Aku tahu, ada seorang lelaki yang bila ia baik, maka umat akan baik; dan jika ia rusak, maka rusaklah umat." Abu Ja'far al-Manshur (ia adalah pemimpin) bertanya: "Siapa dia?" Sufyan menjawab: "Engkau!" Pemimpin yang paling baik ialah pemimpin yang ikut berbagi bersama rakyatnya. Rakyat mendapat bagian keadilan yang sama, tidak ada yang diistimewakan. Sehingga pihak yang merasa kuat tidak memiliki keinginan melakukan kezhalimannya. Adapun pihak yang lemah tidak merasa putus asa mendapatkan keadilan. Dalam sebuah kata-kata hikmah disebutkan: Pemimpin yang baik, ialah pemimpin yang orang-orang tak bersalah merasa aman dan orang-orang yang bersalah merasa takut. Pemimpin yang buruk, ialah pemimpin yang orang-orang tak bersalah merasa takut dan orang-orang yang bersalah merasa aman." Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata kepada al-Mughirah ketika mengangkatnya menjadi gubernur Kufah: "Hai Mughirah, hendaklah orang-orang baik merasa aman denganmu dan orang-orang jahat merasa takut terhadapmu".

Sebelas Rambu Bagi Seorang Pemimpin

Rabu, 16 Juni 2010 16:14:27 WIB

Secara syar'i, meminta jabatan adalah dilarang kecuali dalam kondisi tertentu. Seseorang yang menginginkan suatu jabatan dan berusaha dengan sungguh untuk mendapatkan jabatan atau kedudukan terhormat dalam pemerintahan, kemungkinan besar ia akan mengorbankan agamanya demi mencapai keinginannya itu. Dia pun rela melakukan apa saja, meskipun merupakan perbuatan maksiat demi mendapatkan atau untuk mempertahankan kedudukan yang telah ia raih. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita meminta jabatan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan, betapa berat tanggung-jawab jabatan tersebut pada hari Kiamat nanti. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Kalian selalu berambisi untuk menjadi penguasa, padahal akan membuat kalian menyesal pada hari Kiamat kelak. Sungguh hal itu (ibarat) sebaik-baik susuan dan sejelek-jelek penyapihan". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengingatkan seorang sahabatnya yang bernama Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu akan bahayanya memegang sebuah jabatan pemerintahan serta berat dan besarnya tanggung jawab yang akan dipikul. Beliau bersabda : "Ya Abu Dzar, aku lihat engkau seorang yang lemah dan aku suka engkau mendapatkan sesuatu yang aku sendiri menyukainya. Janganlah engkau memimpin dua orang dan janganlah engkau mengurus harta anak yatim".

Rapor Merah Ideologi Demokrasi

Rabu, 3 Maret 2010 15:50:56 WIB

Isu demokrasi telah mendunia. Ideologi produk Barat ini (baca: orang-orang kafir) lantas dipaksakan atas negara-negara lain, termasuk pada komunitas kaum muslimin. Opini yang dihembuskan, bahwa kesengsaraan dan penderitaan rakyat suatu negara berpangkal pada hilangnya ruh demokratis di tengah mereka. Ketika suasana demokratis telah menaungi sebuah negara, maka rakyat akan hidup dalam kemakmuran yang merata (?!). Faktanya, justru, wajah demokrasi melahirkan masalah-masalah baru yang tidak bisa dianggap sepele oleh umat Islam. Berikut ini sedikit tentang pelanggaran-pelanggaran ideologi demokrasi secara ringkas, baik ditinjau dari hukum asalnya, atau mekanisme-mekanisme penyelenggaraan negara dalam negara berdemokrasi (dimanapun) ditinjau dari sudut pandang Islam. Demokrasi merupakan pelanggaran dalam aspek akidah, lantaran ideologi demokrasi memutuskan hukum berdasarkan suara mayoritas. Apapun hasilnya, pilihan suara mayoritas itu akan diputuskan sebagai peraturan yang mengikat. Suara terbanyak dikultuskan, dan penetapan hukum-hukum hanya berada di tangan sekelompok orang saja. Demokrasi yang bertumpu pada ketaatan pada suara mayoritas telah mengakibatkan terjadinya syirkuth-thâ'ah (menyekutukan sesuatu dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala pada aspek ketaatan dengan mutlak).

Bahaya Khuruj (Melawan) Terhadap Pemerintah

Kamis, 6 Agustus 2009 22:58:15 WIB

Gerakan khuruj (pemberontakan) dan inqilab (melancarkan kudeta) terhadap suatu pemerintahan (yang sah) bukanlah sarana untuk memperbaiki masyarakat. Bahkan justru memicu timbulnya kerusakan di tengah masyarakat. Khuruj terhadap pemerintah muslim, bagaimanapun tingkat kezhalimannya, merupakan bentuk penyimpangan dari manhaj Ahlus Sunnah (Wal Jama'ah). Ada dua macam bentuk khuruj, (1). Khuruj dengan memanggul senjata (2). Khuruj dengan perkataan dan lisan. Mereka yang selalu memunculkan perpecahan, pertikaian, dan pergolakan terhadap pemerintahan muslim, pada hakikatnya telah melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan tersebut. padahal, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh kita untuk bersabar, sebagaimana sabda beliau. "Kecuali engkau melihat suatu kekufuran yang sangat jelas, yang dapat engkau buktikan di sisi Allah". Renungkanlah perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Kecuali engkau melihat suatu kekufuran". Penuturan beliau tidak terhenti sampai di situ saja, tetapi diiringi dengan keterangan "kekufuran yang sangat jelas". Lantas beliau menambahkan keterangan lebih lanjut " yang dapat engkau buktikan tentang itu di sisi Allah"

Dr Yusuf Al-Qaradhawi Dan Demokrasi

Rabu, 8 Agustus 2007 10:49:41 WIB

Pertama-tama, saya merasa heran karena Dr. Yusuf al-Qaradhawi menempatkan pendapat lawan-lawannya yang menurutnya tidak benar dengan membuka ucapannya bahwa mereka berpendapat "Demokrasi adalah ajaran yang diimport dari Barat dan tidak mempunyai hubungan dengan Islam"-Apakah Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengetahui bahwa demokrasi merupakan ajaran yang tidak diimport? Dan bahwasanya demokrasi merupakan prinsip dasar yang lahir dan tumbuh di dalam buaian sejarah Islam disertai berbagai perubahan peradaban, manhaj, agama dan politik? Lalu kapan hal itu terjadi? Di zaman apa, jika dihitung dari sejak diutusnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai pertengahan abad ke-19? Kapan Eropa mengimport demokrasi dari kaum muslimin? Serta apakah rahasia-rahasia yang terdapat dalam peristiwa bersejarah dan menghebohkan itu yang tidak diketahui oleh seantero bumi selama kurun waktu yang begitu panjang?

Demonstrasi, Solusi Atau Polusi ?

Senin, 11 Juni 2007 11:35:55 WIB

Sebagian orang menisbatkan demonstrasi kepada Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, dan ini sama sekali tidak benar, karena keshahihan riwayatnya tidak diakui oleh para ulama. Maka penisbatan demonstrasi kepada Umar merupakan kedustaan atas nama beliau sang pembeda (Al-Faruq) Radhiyallahu ‘anhu. Demonstrasi secara umum tidak akan bisa digunakan untuk membela kebenaran dan tidak akan bisa digunakan untuk mengugurkan kebatilan. Terbukti, seluruh dunia demonstrasi untuk menghentikan kebengisan Yahudi di Palestina, apakah kebiadaban Yahudi berhenti? Atau apakah kejahatan mereka semakim menjadi-jadi karena melihat permohonan tolong orang-orang lemah ?!! Jika ada orang yang mengatakan : Demonstrasi merupakan perwujudan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Maka kita katakan : Kemungkaran tidak boleh diingkari dengan kemungkaran yang semisalnya. Karena kemungkaran tidak akan diingkari kecuali oleh orang yang bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, sehingga dia akan mengingkari kemungkaran tersebut atas dasar ilmu dan pengetahuan


Ahlus Sunnah Taat Kepada Pemimpin Kaum Muslimin

Selasa, 27 Maret 2007 01:44:52 WIB

Di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah wajibnya taat kepada pemimpin kaum Muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat kemaksiyatan, meskipun mereka berbuat zhalim. Apabila mereka memerintahkan perbuatan maksiyat, saat itulah kita dilarang untuk mentaatinya namun tetap wajib taat dalam kebenaran lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "..Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah Yang Mahamulia lagi Mahatinggi, tetaplah mendengar dan mentaati, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak hitam...“ Untuk menghindarkan diri dari kezhaliman penguasa bukan dengan cara menurut sangkaan sebagian orang, yaitu dengan memberontak, mengangkat senjata ataupun dengan cara kudeta, karena yang demikian itu termasuk bid’ah dan menyalahi nash-nash syari’at yang memerintahkan untuk merubah diri kita lebih dahulu.

Syirik Politik ?!

Selasa, 8 Agustus 2006 14:06:29 WIB

Anda mungkin sering menjumpai dikalangan dai-dai harokah orang-orang yang mengatakan : Sesungguhnya tauhid itu adalah tauhid hakimiyah yaitu mewujudkan syariat Islam dalam hudud (hukum-hukum yang berkaitan dengan potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina muhshon dan sebagainya), muamalah, perjanjian dan lain-lain !! Syariat dan politik menurut mereka bagaikan dua sisi mata uang. Syirik menurut mereka adalah syirik politik. Tidak diragukan lagi, ini merupakan penyelewengan akan makna tauhid yang diperintahkan Allah kepada hamba-hambaNya, serta penyelewengan akan makna syirik yang Allah telah melarang mereka darinya. Maka inilah sebagian dari penjelasan yang merupakan bentuk pelurusan akan apa yang mereka (para dai harokah) ucapkan diatas.

Arti Nasehat Kepada Para Pemimpin Kaum Muslimin

Selasa, 9 Mei 2006 12:09:15 WIB

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata : "Sedangkan nasehat kepada pemimpin kaum muslimin adalah dengan menolong mereka di atas kebenaran dan taat kepada mereka dalam hal kebenaran, dan mengajak, memperingatkan dan mengingatkan mereka dengan lemah lembut kepada kebenaran dan memberi tahu mereka akan kelalaian mereka, dan barangkali belum sampai berita kepada mereka akan kelalaian mereka yang berkenaan dengan hak-hak kaum muslimin, dan tidak keluar dari ketaatan kepada mereka dan melunakkan hati-hati manusia untuk taat kepada mereka. Al-Khaththabi rahimahullah berkata : "Dan termasuk dari menasehati kepada mereka adalah dengan shalat di belakang mereka dan berjihad bersama mereka (ketika penguasa berperang dengan orang-orang kafir untuk meninggikan kalimat Allah), dan tidak keluar mengangkat senjata melawan mereka, meskipun mereka berbuat zalim.

Sikap Atas Penerbitan Karikatur Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam

Selasa, 18 April 2006 15:29:32 WIB

Apa yang telah terjadi di Denmark, (yaitu) berupa olok-olok dan pelecehan terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menggambarkannya dengan sesuatu yang tidak layak dengan kedudukan nabi siapapun, terlebih lagi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak diragukan lagi, hal ini menunjukkan sikap emosional mereka (orang-orang kafir) terhadap Islam, mencerminkan kebencian yang tersembunyi di dalam dada-dada mereka. Mereka tidak hanya ingin memerangi sebagian kaum muslimin yang ghuluw (keras dan berlebih-lebihan), yang memiliki sifat mudah mengkafirkan, akan tetapi, sesungguhnya yang ingin mereka perangi dan musnahkan adalah Islam itu sendiri, tidak lain lagi!. Bukti yang menunjukkan hal itu ialah, mereka telah menentang Al-Qur’an. Bahkan mereka mengancam akan membakar Al-Qur’an di tengah-tengah publik. Dan akhirnya merekapun menggambar karikatur Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sangat buru.

Hukum Mogok Kerja Untuk Meminta Dijatuhkannya Sistem Sekulerisme?

Selasa, 11 April 2006 14:57:57 WIB

Pertanyaan ini tidak diragukan lagi memiliki arti yang sangat penting khususnya dalam mengarahkan para pemuda muslim. Hal itu dikarenakan mogok kerja baik pekerjaan itu bersifat khusus atau berkaitan dengan bidang pemerintahan adalah (sesuatu) yang memiliki dasar dari syari’at yang dapat dijadikan landasan. Tidak diragukan lagi perbuatan ini akan mengakibatkan terjadinya berbagai mudharat sesuai dengan ukuran cakupan dan kepentingan pemogokan ini. Dan tidak diragukan juga bahwa hal itu termasuk salah satu bentuk tekanan terhadap pemerintahan. Dan yang disebutkan dalam soal bahwa yang dimaksudkan adalah menjatuhkan sistem sekulerisme. Dan disini kita harus membuktikan bahwa sistem sekulerisme itu terlebih dahul.

Apakah Boleh Melawan Undang-Undang Pemerintah ? Dan Apakah Demonstrasi Termasuk Jalan Dakwah?

Sabtu, 28 Januari 2006 19:26:01 WIB

Saya tidak setuju (bolehnya) melakukan revolusi rakyat dalam kondisi ini, karena kekuatan materil berada di tangan pemerintah sebagaimana telah diketahui, sementara revolusi rakyat tidak mempunyai sesuatupun ditangan selain pisau dapur dan tongkat pengembala. Ini tidak akan dapat melawan mobil-mobil tank dan berbagai senjata. Akan tetapi hal ini bisa saja dilakukan dengan cara lain jika syarat-syarat diatas telah terpenuhi walaupun kita tidak boleh tergesa-gesa dalam perkara ini. Karena negara manapun yang telah hidup sekian tahun dengan penjajahan tidak mungkin dapat berubah dalam sehari semalam menjadi negara Islam, bahkan kita harus memiliki nafas panjang untuk mendapatkan tujuan itu.


Pemboikotan Produk-Produk Amerika, Yahudi, Seperti Coca Cola, Pizza Hut, Mc Donald

Jumat, 23 Desember 2005 06:55:28 WIB

Apakah belum sampai kepadamu bahwa Nabi pernah membeli makanan untuk keluarganya dari orang Yahudi, ketika Nabi wafat baju besinya tergadai di tempat orang Yahudi?! Apakah belum sampai kepadamu bahwa Nabi pernah menerima hadiah dari orang Yahudi?! Jika kita mengatakan tidak boleh membeli produk mereka maka akan luput dari kita banyak sekal hal-hal yang bermanfaat, seperti mobil buatan Yahudi, dan hal-hal lain yang bermanfaat yang tidak membuatnya kecuali orang Yahudi. Memang benar bahwa minuman seperti ini kadang ada unsur mudharat dari orang Yahudi, karena orang Yahudi tidak bisa dipercaya, karena ini mereka letakkan racun pada daging kambing yang mereka hadiahkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Rasulllah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal. Tetapi aku menduga bahwa barang-barang yang sampai kepada kita ini pasti sudah dicek dan diuji, dan diketahui apakah berbahaya atau tidak.

Embargo Produk Negara Kafir Dan Solidaritas Negara-Negara Islam

Senin, 7 Nopember 2005 06:34:12 WIB

Mengenai muqatha'ah (boikot) terhadap (produk) orang kafir, adalah masalah politik bukan masalah syar'i. Jika ia masalah syar'i, maka tentu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sudah memboikot orang-orang Yahudi. Padahal ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal dunia, baju besi beliau masih tergadaikan pada orang Yahudi. Jadi masalah ini bisa bermanfaat bisa tidak. Lalu siapa yang menentukan ada tidaknya pemboikotan ? mereka adalah para ulama dan para politisi muslim dan para negarawan muslim yang memiliki ilmu syar'i dan memahami realitas, mengetahui sebab akibat. Jika tidak, maka boikot justru tidak merugikan orang kafir, (tetapi) dapat berbalik merugikan umat Islam sendiri. Jadi ada tidaknya muqatha'ah, (itu) tergantung maslahah syar'iyyah rajihah.

Salafiyah Dan Politik

Rabu, 7 September 2005 13:06:28 WIB

Sesungguhnya salafiyah meniadakan untuk uluran apa saja kepada Hizbiyah Siasiyyah (gerakan politik) yang menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dan bukan sebagai wasilah (perantara), mereka yang berusaha mencapai kekuasaan dengan segala makar, kelicikan dan tipu daya, serta menjadikan Islam sebagai syiar (simbol). Jika mereka telah mencapai apa saja yang diinginkan, merekapun berpaling dari jalan Islam ! Yang demikian itu karena makna politik didalam benak mereka adalah : Kemampuan memperdaya dan menipu, dan seni membentuk jawaban-jawaban yang bermuatan (politis), serta perbuatan-perbuatan yang mempunyai halusinasi, yang diibaratkan dalam bentuk bejana yang diletakkan didalamnya baik itu warna, rasa dan baunya". Politik seperti ini dalam pandangan salafiyyin (mereka yang mengikuti pemahaman salafus shalih) serupa dengan kemunafikan.

Siapa Yang Berhak Berpolitik ? Dan Kapan ?

Minggu, 14 Agustus 2005 14:50:02 WIB

Wajib atas para ulama untuk berjihad dengan melakukan tashfiyah dan tarbiyah dengan cara mengajari kaum muslimin tauhid yang benar dan keyakinan-keyakinan yang benar serta ibadah-ibadah dan akhlak. Semuanya itu sesuai dengan kemampuannya masing-masaing di negeri-negeri yang dia diami, karena mereka tidak mampu menegakkan jihad menghadapi Yahudi dalam satu shaf (barisan) selama mereka keadaannya seperti keadaan kita pada saat ini, saling berpecah-belah, tidak berkumpul/bersatu dalam satu negeri maupun satu shaf (barisan), sehingga mereka tidak mampu menegakkan jihad dalam arti perang fisik untuk menghadapi musuh-musuh yang berkumpul/bersatu memusuhi mereka.

Sejauh Manakah Kita Diperbolehkan Ikut Berpolitik Dan Wajibkah Kita Taat Kepada Penguasa?

Selasa, 2 Agustus 2005 22:38:49 WIB

Adapun kata "politik " yang dipahami pada zaman ini sebenarnya tidak pernah dikenal oleh Islam, karena pengertian berpolitik di era ini adalah sebatas kemampuan untuk berdebat, menggerakkan massa, kemampuan berkelit, berubah-ubah warna, kemunafikan dan selalu mengikuti kemana arah angin bertiup. Islam berlepas diri dari "politik " yang seperti ini, karena tidak akan mendatangkan kemaslahatan kepada ummat. Inilah perbedaan makna "politik" yang diinginkan Allah dengan makna yang dipahami oleh orang-orang sekarang, yang tidak lain target utamanya agar sampai ketampuk kekuasaan, karena itu seorang politikus rela untuk bekerja sama dengan segala macam kelompok dan segala macam mazhab.

Selebaran Fatwa Politik

Sabtu, 26 Juni 2004 13:57:04 WIB

Telah beredar sebuah selebaran berjudul ‘Fatwa Politik” yang berisi fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Selebaran fatwa enam halaman itu diterjemahkan oleh Normal Sho’iman dari buku “Fatawa wa Kalimaat fi Hukmi Al-Musyarakah bi Al-Barlamanaat” karya DR Abdur Razzaq bin Khalifah Asy-Syaayiji. Inti dan maksud selebaran tersebut adalah untuk mencuatkan opini bahwa kedua syaikh tersebut membolehkan masuk parlemen. Hal itu membuat banyak diantara saudara kami bertanya-tanya dan mengharapkan tanggapan. Sungguh lucu dan aneh sekali prilaku kaum hizbiyyun, mereka menyebarkan fatwa di atas. Tetapi pada kesempatan lain mereka menuding kedua syaikh tersebut sebagai ulama haid dan nifas, ulama pemerintah, ulama tidak tahu fiqhul waqi’

Fatwa Ulama Tentang Kondisi Politik Di Indonesia, Wawancara Dengan Syaikh Ubaid Al-Jabiri

Minggu, 11 April 2004 20:06:53 WIB

Yang paling dominan pada mereka (politikus) yang berkecimpung didalamnya dan dari slogan-slogan mereka atau slogan-slogan hizbiyah yang menjadikan Islam sebagai syiar mereka, adalah tatkala mencampuri politik, maka menjadi rusak dan merusak, serta berbuat sia-sia dan berbuat jahat terhadap Islam dan kaum Muslimin. Hal ini berdasarkan apa yang kami ketahui tentang mereka, yaitu dengan praktek-praktek menarik simpati dan meraup massa guna meraih kemenangan dalam pemilu. Dan bukanlah suatu perkara nyata yang mereka terapkan dan kerjakan melainkan secara realita yang berlaku adalah suatu perkara yang tidak dapat diterapkan sama sekali dan hanya sekedar slogan saja. Ini berdasarkan apa yang kami ketahui. Maka, janganlah kamu ikut serta, biarkan mereka bersama keadaannya.

Fatwa Ulama Tentang Kondisi Politik Di Indonesia, Wawancara Dengan Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

Sabtu, 3 April 2004 08:32:56 WIB

"Berbagai pemilihan umum telah dilangsungkan dan berbagai partai yang mengatasnamakan Islam telah didukung dalam berbagai kesempatan dalam banyak negeri. Namun semua itu tidak membuahkan hasil kecuali penyimpangan demi penyimpangan dan kemungkaran-demi kemungkaran. Maka nasihat kami dalam hal itu janganlah kita menyibukkan diri dan membuang-buang waktu untuk hal seperti ini. Tapi hendaknya seluruh usaha dan potensi, kita kerahkan untuk mengajak manusia kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah, dan mengajarkan kepada mereka dien yang haq. Sehingga siapa saja di antara kalian yang meninggal, maka ia meninggal dengan keyakinan yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.

Demokrasi Dan Pemilu

Jumat, 2 April 2004 09:15:24 WIB

Termasuk sistem demokrasi pula, oleh karena itu diharamkan, sebab orang yang dipilih dan yang memilih untuk memegang kepemimpinan umum atau khusus tidak disyaratkan memenuhi syarat-syarat yang sesuai syariat. Metode ini memberi peluang kepada orang yang tidak berhak memegang kepemimpinan untuk memegangnya. Karena tujuan dari orang yang dipilih tersebut adalah duduk di dewan pembuat undang-undang (Legislatif) yang mana dewan ini tidak memakai hukum Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun yang jadi hukum adalah Suara Mayoritas. Ini adalah dewan thagut, tidak boleh diakui, apalagi berupaya untuk menggagas dan bekerjasama untuk membentuknya. Sebab dewan ini memerangi hukum Allah dan merupakan sistem barat, produk yahudi dan nashara, oleh karena itu tidak boleh meniru mereka

Tanya Jawab Syaikh Al-Albani Dengan Partai FIS Aljazair Mengenai Parlemen Dan Pemilu

Selasa, 23 Maret 2004 21:40:47 WIB

Sekarang ini kami tidak menganjurkan siapapun saudara kita sesama muslim untuk mencalonkan dirinya menjadi anggota parlemen di negara yang tidak menjalankan hukurn Allah. Sekalipun undang-undang dasarnya menyebutkan Islam sebagai agama negara. Karena dalam prakteknya hanya untuk membius anggota parlemen yang lurus hatinya. Dalam negara semacam itu, para anggota parlemen sedikitpun tidak pernah mampu merubah undang-undang yang berlawanan dengan Islam. Fakta itu telah terbukti di beberapa negara yang menyatakan Islam sebagai agama negaranya. Jika berbenturan dengan tuntutan zaman maka beberapa hukum yang bertentangan dengan Islam sengaja disahkan oleh parlemen dengan dalih belum tiba waktu untuk melakukan perubahan! Itulah realita yang kami lihat di sejumlah negara. Para anggota parlemen rnulai menanggalkan ciri dan identitas keislamannya.

Syubhat-Syubhat Sekitar Masalah Demokrasi Dan Pemungutan Suara

Kamis, 18 Maret 2004 21:00:53 WIB

Pemungutan suara atau voting sering digunakan oleh lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi baik skala besar seperti sebuah negara maupun kecil seperti sebuah perkumpulan, di dalam mengambil sebuah sikap atau di dalam memilih pimpinan dan lain-lain. Sepertinya hal ini sudah lumrah dilangsungkan. Hingga dalam menentukan pimpinan umat harus dilakukan melalui pemungutan suara, dan tentu saja masyarakat umumpun dilibatkan di dalamnya. Padahal banyak di antara mereka yang tidak tahu menahu apa dan bagaimana kriteria seorang pemimpin menurut Islam. Dengan cara dan praktek seperti ini bisa jadi seorang yang tidak layak menjadi pemimpin keluar sebagai pemenangnya. Adapun yang layak dan berhak tersingkir atau tidak dipandang sama sekali !

Hukum Ikut Serta Dalam Parlemen

Kamis, 18 Maret 2004 09:36:09 WIB

Praktek ini telah dilakukan oleh sebagian jamaah jamaah Islam di Suria. Mereka ikut serta dalam parlemen Suria, padahal di dalamnya terdapat apa yang dinamakan dengan hukum negara. Akhirnya kaum muslimin tidak mendapatkan manfaat apapun dari keikutsertaan ini kecuali hanya mencari-cari pembenaran terhadap perbuatan yang mereka lakukan dan penyelewengan-penyelewengan yang mereka kerjakan dengan dalih bahwa kemaslahatan umatlah yang menuntut hal itu, serta dengan anggapan bahwa penegakkan hukum-hukum syariat terlalu dini untuk dilaksanakan. Padahal menurut syariat, tidak boleh memberikan loyalitas kepada orang yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah.


Hukum-Hukum Umum Seputar Akad Jual Beli

HUKUM-HUKUM UMUM SEPUTAR AKAD JUAL BELI


Oleh
Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, MA


Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.

Akad jual beli telah menjadi sarana petukaran barang antara penjual dan pembeli. Penjual mendapatkan uang pembayaran dan pembeli mendapatkan barang. Sebagai konsekuensinya, penjual dapat memanfaatkan uang hasil penjualannya, dan sebaliknya pembelia dapat memanfaatkan barang pembeliannya.

Demikianlah ketentuan asal pada setiap akad jual beli. Akan tetapi, ada beberapa poin penting yang seyoginya Anda ketahui sebelum Anda memanfaatkan barang pembelian Anda. Dengan demikian, diharapkan Anda dapat bertindak sesuai dengan kewenangan Anda tanpa melanggar aturan dan hukum syari’at. Berikut saya akan menyebutkan beberapa ketentuan penting yang harus diindahkan oleh pembeli.

KETENTUAN PERTAMA: PEMINDAHAN KEPEMILIKAN
Telah Anda ketahui bersama bahwa manfaat utama akad jual beli ialah memindahkan kepemilikan barang. Dengan demikian, barang yang telah Anda jual secara sah menjadi milik pembeli, sehingga Anda tidak lagi berhak menggunakannya kecuali atas izin darinya, sebagaimana tidak ada orang lain yang berhak memanfaatkannya kecuali seizing pembeli.

Ketentuan ini berlaku walaupun pembeli belum melakukan pembayaran sama sekali atau hanya membayar sebagiannya saja. Karena itu, bila masih merasa perlu untuk memanfaatkan barang hingga batas waktu tertentu, Anda dibenarkan untuk mengajukan persyaratan kepada pembeli. Anda mensyaratkan kepadanya untuk diizinkan menggunakan barang hingga batas waktu yang disepakati. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Sahabat Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu ketika menjual untanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sahabat Jabir Radhiyallahu anhu mengisahkan bahwa pada suatu hari ia menunggang unta yang telah kelelahan, sehingga ia berencana melepaskan untanya. Namun, sebelum ia melakukan rencananya, tiba-tiba Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam –yang sebelumnya berada di akhir rombongan- berhasil menyusulnya. Selanjutnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akannya dan memukul unta tunggangan sahabat Jabir Radhiyallahu anhu. Diluar dugaan, unta Sahabat Jabir Radhiyallahu anhu sekejap berubah menjadi gesit dan lincah melebihi kebiasaannya. Setelah melihat unta Sahabat Jabir Radhiyallahu anhu pulih gesit kembali, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Sahabat Jabir Radhiyallahu anhu “Juallah unta itu kepadaku seharga 40 dirham.” Sahabat Jabir Radhyallahu anhu menolak tawaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dan berkata,”Tidak” Namun kembali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Juallah untamu kepadaku.” Setelah penawaran kedua ini Sahabat Jabir Radhiyallahu anhu pun menjual untanya seharga 40 dirham, namun beliau mensyaratkan agar diizinkan tetap menungganginya hingga tiba di rumahnya. Dan setibanya di rumah, Sahabat Jabir Radhiyallahu anhu segera menyerahkan untanya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan bayarannya.” [Riwayat al-Bukhori hadits no. 2569 dan Muslim hadits no. 4182]

Cermatilah, bagaimana Sahabat Jabir Radhiyallahu anhu merasa perlu untuk mengajukan persyaratan agar dapat tetap menunggangi untanya walaupun ia telah menjualnya. Sikap ini menunjukkan bahwa tanpa adanya persyaratan ini, ia tidak dapat lagi menunggangi unta itu, karena telah berpindah kepemilikan.

KETENTUAN KEDUA: MANFAAT DAN KERUGIAN BARANG
Sebagai konsekuensi langsung dari ketentuan pertama, maka segala manfaat barang setelah akad penjualan menjadi hak pembeli. Dan sebaliknya, segala kerugian atau kerusakan barang menjadi tanggung jawab pembeli. Ketentuan ini telah ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلاً ابْتَاعَ غُلاَمًا فأَقَامَ عِنْدَهُ مَاشَاءَ اللَّهُ أَنْ يُقِيْمَ ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا فَخَاصَمَهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّهُ عَلَيْهِ فَقَالَ الرَّجُلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدِ اسْتَغَلَّ غُلاَمِي فَقَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الخَراجُ بِالضَّمَانِ

Aisyah Radhyallahu anhuma mengisahkan, “Ada seorang lelaki yang membeli seorang budak. Tidak berapa lama setelah, ia mendapatkan suatu cacat pada budak tersebut. Karena tidak mau rugi, ia mengembalikannya (kepada penjual). Akibatnya penjual mengadu (kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan berkata, ‘Wahai, Rasulullah, sesungguhnya ia telah mengerjakan budakku.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab keluhannya dengan bersabda,’Keuntungan adalah imbalan atas tanggung jawab/jaminan.’ [Riwayat Abu Dawud hadits no. 3512, dan dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam kitab Irwaul Ghalil hadits no. 1315]

Pada kisah ini, dengan tegas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa kegunaan barang adalah imbalan merupakan konsekuensi langsung dari kepemilikan Anda atas suatu barang. Dengan demikian, sebagai pembeli maka Anda harus siap menerima ketentuan ini, dan sebagai penjual Anda pun sewajarnya rela dengan kenyataan ini.

Saudaraku! Ketentuan ini sepenuhnya berlaku apabila barang yang menjadi objek akad jual beli telah Anda serahkan kepada pembeli. Adapun bila barang belum Anda serahkan kepada pembeli, maka sudah barang tentu akad jual beli belum selesai. Dan sebagai konsekuensinya, segala risiko kerusakan barang masih menjadi tanggung jawab Anda –penjual.

Peringatan
Hukum ini berlaku pada penjualan barang selain buah-buahan atau biji-bijian yang masih di atas pohonnya. Adapun buah atau biji-bijian yang telah menua namun masih berada di atas pohonnya, dan kemudian karena suatu hal gagal panen, maka risiko menjadi tanggung jawab penjual. Hukum ini berlaku walaupun Anda sebagai penjual telah memberikan kesempatan (menyerahkan) kepada pembeli untuk memanen buah atau biji-bijian yang telah ia beli. Pengecualian ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَوْ بِعْتَ مِنْ أَخِيْكَ ثَمَرًا فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ فَلاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْ خُذَ مِنْهُ شَيْئًا بِمَ تَأْ خُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقًّ

“Bila engkau membeli buah-buahan dari saudaramu, lalu ditimpa bencana, maka tidak halal bagimu sedikit pun dari pembayarannya. Atas dasar apa engkau memakan uang pembayarannya tanpa alasan yang dibenarkan?” [Riwayat Muslim hadits no. 1554]

Ketentuan hukum ini berlaku dikarenakan pembeli belum sepenuhnya menerima barang yang ia beli, walaupun Anda telah memberikan kesempatan kepadanya untuk memanennya. Musibah gagal panen yang menimpa, terjadi di luar kemampuannya sebagai manusia biasa. Karena itu, bila Anda tetap memungut uang pembayaran padahal pembeli gagal mendapatkan buah yang ia beli, berarti Anda telah memakan hartanya tanpa ada imbalan yang Anda berikan kepadanya.

KETENTUAN KETIGA: MENJUAL KEMBALI (RESALE)
Di antara konsekuensi dari kepemilikan barang, pembeli berhak menggunakan barang yang telah ia beli, termasuk dengan cara menjualnya kembali. Hanya, ada tiga pantangan yang harus dihindari pada penjualan kembali barang yang telah Anda beli.

Pantangan Pertama: Jangan Menjual Kembali Kepada Penjual.
Dalam beberapa kesempatan, dikarenakan suatu lasan pembeli menjual kembali kepada penjual. Penjualan kembali kepada penjual pertama tentu menimbulkan tanda tanya besar, mengapa dan apa untungnya? Karena itu, wajar bila Islam mewaspadai praktik-praktik semacam ini.

Secara umum, menjual kembali kepada penjual pertamal-setidaknya- dua kemungkinan:

Kemungkinan Pertama: Membeli dengan pembayaran terhutang dan menjual kembali dengan pembayaran tunai. Bila kemungkinan ini yang terjadi maka praktik semacam ini merupakan celah nyata terjadinya praktik riba. Betapa tidak, biasanya penjual pertama menjual dengan harga lebih mahal, kemudian membeli kembali dengan harga yang lebih murah karena pembeliannya dengan cara tunai [1]. Dan praktik semacam ini disebut dengan jual beli ‘inah yang nyata-nyata terlarang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا تَبَايَعتُمْ بِالْعِيْنَةِوَأأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِوَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاَيَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِغُواإلَى دِيْنِكُمْ

“Bila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah, sibuk dengan peternakan sapi, puas dengan pertanian, dan meninggalkan jihad, niscaya Allah menimpakan kehinaan kepada kalian. Dan Allah tidak akan mengangkat kehinaan itu dari kalian hingga kalian kembali ke jalan agama kalian.” [Abu Dawud hadits no.3464]

Kemungkinan Kedua: Hadits di atas juga mengisyaratkan bahwa bila penjualan kembali dengan pembayaran tunai atau terhutang dengan harga yang sama atau lebih mahal dari harga penjualan pertama, maka tidak mengapa. Yang demikian itu dikarenakan kekhawatiran adanya praktik riba tidak terwujud, sehingga tidak ada alasan untuk melarang penjualan ini. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِالرِّبَا

“Barang siapa melakukan dua akad penjualan dalam satu transaksi jual beli, maka ia harus menggunakan harga yang termurah, bila tidak maka ia telah terjerumus dalam praktik riba.” [Riwayat Abu Dawud hadits no. 3463]

Pantangan Kedua: Menjual Kembali Di Tempat Penjual Pertama.
Barang yang Anda beli pada dasarnya telah menjadi milik Anda, sehingga idealnya Anda harus bertanggung jawab penuh atas segala yang terjadi padanya. Keuntungan menjadi milik Anda, dan sebaliknya, kerugian pun Anda yang menanggungnya-sebagaimana telah dijelaskan diatas. Namun, kadang kala karena keinginan untuk memperkecil risiko, maka sebagian pedagang melakukan penjualan kembali barang yang telah ia beli sedangkan barang tersebut masih berada di tempat penjual pertama.

Anda bisa tebak, siapakah yang rela membeli barang dari Anda, sedangkan Anda dan juga barang yang Anda jual masih berada ditempat penjual pertama. Secara logika, apa untungnya membeli dari Anda, padahal pembeli mampu membeli langsung dari penjual pertama.

Dengan merenungkan hal ini, Anda dapat melihat bahwa pada praktik semacam ini, yaitu menjual kembali padahal barang masih berada di tempat penjual pertama, terdapat celah terjadinya praktik riba. Biasanya, yang sudi membeli dari penjual kedua sedangkan ia-calon pembeli- telah sampai di tempat penjual pertama adalah orang yang tidak mampu melakukan pembayaran tunai. Dengan demikian, sejatinya penjual kedua hanya sebatas menghutangi sejumlah uang kepada pembeli kedua, dan kemudian penjual kedua mendapatkan keuntungan dari piutang tersebut.

عَنِ ابنِ عُمَرَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : ابْتَعْتُ زَيْتًا فِي السُّوقِ فَلَمَّااسْتَوْجَبْتُهُ لِنَفْسِى لَقِيَنِي رَجُلٌ فَأعْطَانِي بِهِ رِجْحًا حَسَنًا فَأَرَدْتُ أَنْ أَضْرِبَ عَلَى يَدِهِ فَأَخَذَ رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي بِذِرَاعِي فَالْتَفَتُّ فَإِذَا زَيْدُ بْنُ ثَابِتِ فَقَالَ لاَ تَبِعهُ حَيْثْهُ ابْتَعْتَهُ حَتَّى تَحُوزَهُ إِلَى رَحْلِكَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ تُبَاعَ السَّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَنَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ

"Sahabat Ibnu Umar Radhiyallahu anhu mengisahkan, “Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar. Ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki menemuiku dan menawar minyak tersebut. Ia menawarkan keuntungan yang cukup banyak. Tanpa pikir panjang , aku pun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran darinya). Namun, tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka aku pun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit. Lalu ia berkata,’Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat pembeliannya, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pembeli ke tempatnya sendiri.” [Riwayat Abu Dawud hadits no. 3501 dan oleh al-Albani dinyatakan sebagai hadits hasan dalam kitabnya, shahih sunan Abu Dawud hadits no.3499]

Pantangan Ketiga: Menjual Sebelum Menerima Barang
Diantara hal yang harus Anda waspadai sebelum Anda menjual kembali barang pembelian Anda ialah keberadaan barang tersebut. Bila barang yang Anda beli belum Anda terima, karena dalam proses pengiriman atau bahkan sedang dalam proses produksi, maka Anda tidak dibenarkan untuk menjualnya kembali sampai barang itu benar-benar tiba di tangan Anda. Yang demikian itu demi menutup berbagai celah praktik-praktik riba. Anda bisa bayangkan, bila pembeli dibenarkan menjual kembali sebelum menerima barangnya, maka pembeli selanjutnya pun akan melakukan hal yang serupa dan demikian seterusnya. Dan bila ini telah terjadi maka sudah dapat Anda tebak, praktik-praktik riba tidak dapat dihindarkan. Praktik riba yang berupa uang melahirkan uang tanpa ada pergerakan barang atau jasa.

عَنِ ابْنِ عَبَّا سٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُوْ لُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمَا وَأَحْسِبُ كُلَّ شَيْءٍ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ

"Sahabat Ibnu Abbas Radhiyalllahu anhuma menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia benar-benar telah menerimanya.’” Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma berkata,”Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” [Riwayat Bukhari hadits no. 2025 dan Muslim hadits no. 1525]

Tahwus merasa heran dengan larangan ini, sehingga beliau bertanya kepada gurunya, yaitu Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma.

قُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ : كَيْفَ ذَاكَ؟ قَالَ : ذَكَ دَرَهِمُ بِدَرَاهِمَ وَالطَّعَامُ مُرْجَأٌ

“Saya bertanya kepada Ibnu Abbas,’Bagaimana kok demikian?’ Ia menjawab, ‘Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.’”[Riwayat Bukhari hadits no. 2025]

Ibnu Hajar menjelaskan perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu di atas sebagaimana berikut, “ Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar-misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar uang 100 dinar dengan harga 120 dinar. Dan berdasarkan penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja.” [Fathul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani 4/348-349]

KETENTUAN KEEMPAT: TIDAK DAPAT MEMBATALKAN PENJUALAN ATAU PEMBELIAN
Di antara konsekuensi akad jual beli ialah kedua belah pihak tidak dapat membatalkan akad yang terjalin antara mereka tanpa izin pihak kedua. Hal ini berlaku selama tidak ditemukan cacat atau tindak kecurangan. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

"Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu". [Al-Maidah : 1]

Keumuman ayat ini mencakup akad jual beli, sehingga Anda wajib memenuhi akad yang telah Anda sepakati. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan hal ini dengan gamblang pada sabdanya:

إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلاَنِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِعًا أَوْيُخَيِّرُ أَحَدُ هُمَا الآخَرَ فَإِنْ خَيَّرَ أَحَدُ هُمَاالآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ تَبَايَعَا وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا الْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ

“Bila dua orang saling berjual beli, maka masing-masing dari keduanya memiliki hak pilih selama keduanya belum berpisah dan masih bersama-sama, atau salah satu dari keduanya menawarkan pilihan kepada kawannya. Bila salah satu dari keduanya menawarkan pilihan yang ditawarkan tersebut maka telah selesailah akad jual beli tersebut. Bila lalu mereka berpisah setelah mereka menjalankan akad jual beli, dan tidak ada seorang pun dari keduanya yang membatalkan akad penjualan, maka telah selesailah akad penjualan tersebut.” [Bukhari hadits no. 2006 dan Muslim hadits no. 1531]

KETENTUAN KELIMA: BEBAS MENENTUKAN HARGA JUAL
Diantara konsekuensi atas kepemilikan Anda terhadap suatu barang yang telah Anda beli, maka Anda berhak menentukan berapa pun harga jualnya. Sebagaimana Anda pun bebas memasang batas nilai keuntungan yang Anda kehendaki darinya. Yang demikian itu karena tidak ditemukan satu dalil pun yang membatasi nominal keuntungan yang boleh Anda pungut. Bahkan dalil-dalil yang ada mengindikasikan bahwa Anda bebas memasang target keuntungan yang Anda suka.

Kisah berikut adalah salah satu dalil yang menguatkan penjelasan ini:

عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرٍى بِهِ شَاةً، فَاشْتَرَى لَهُ بِهِ شَاتَيْنِ، فَبَاعَ إِحْدَا هُمَا بِدِينَارٍ وَجَاءَهُ بِدِيْنَارٍ وَشَاةٍ، فَدَعَالَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ، وَكَانَ لَوِ اشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبحَ فِيهِ

"Sahabat Urwah al-Bariqy Radhiyallahu anhu mengisahkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberiku uang satu dinar untuk membeli seekor kambing kurban, atau seekor kambing. Berbekal uang satu dinar aku membeli dua ekor kambing dan kemudian aku menjual kembali salah satunya seharga satu dinar. Selanjutnya aku datang menemui beliau dengan membawa seekor kambing dan uang satu dinar.” Mendapatkan ulah cerdas sahabatnya ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan keberkahan pada perniagaan Sahabat Urwah, sehingga andai ia membeli debu, niscaya ia mendapatkan laba darinya.” [Riwayat Bukhari hadits no.3443]

PENUTUP
Semoga paparan singkat tentang beberapa hukum umum akad jual beli ini bermanfaat bagi Anda. Dengan demikian Anda dapat memahami pembahasan-pembahasan tentang hukum jual beli yang telah menjadi tema rubrik ini dapat Anda pahami dengan baik. Dan dengan izin Allah untuk edisi selanjutnya saya akan mengetengahkan tema tentang hukum sewa-menyewa. Wallahu Ta’ala a’lamu bishshawab

Anjuran Bershalawat Kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam

ANJURAN BERSHALAWAT KEPADA NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM [1]

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Di antara hak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta'ala atas ummatnya adalah agar mereka mengucapkan shalawat dan salam untuk beliau. Allah Subhanahu wa Ta'ala dan para Malaikat-Nya telah bershalawat kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada para hamba-Nya agar mengucapkan shalawat dan taslim kepada beliau. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [Al-Ahzaab: 56]

Diriwayatkan bahwa makna shalawat Allah kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah pujian Allah atas beliau di hadapan para Malaikat-Nya, sedang shalawat Malaikat berarti mendo’akan beliau, dan shalawat ummatnya berarti permohonan ampun bagi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dalam ayat di atas, Allah telah menyebutkan tentang kedudukan hamba dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pada tempat yang tertinggi, bahwasanya Dia memujinya di hadapan para Malaikat yang terdekat, dan bahwa para Malaikat pun mendo’akan untuknya, lalu Allah memerintahkan segenap penghuni alam ini untuk mengucapkan shalawat dan salam atasnya, sehingga bersatulah pujian untuk beliau di alam yang tertinggi dengan alam terendah (bumi).

Adapun makna: “Ucapkanlah salam untuknya” adalah berilah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam penghormatan dengan penghormatan Islam. Dan jika bershalawat kepada Nabi Muhammad hendaklah seseorang menghimpunnya dengan salam untuk beliau. Karena itu hendaknya tidak membatasi dengan salah satunya saja. Misalnya dengan mengucapkan: “Shallallaahu ‘alaih (semoga shalawat dilimpahkan untuknya)” atau hanya mengucapkan: “‘alaihis salaam (semoga dilimpahkan untuknya keselamatan).” Hal itu karena Allah memerintahkan untuk mengucapkan keduanya.

Mengucapkan shalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diperintahkan oleh syari’at pada waktu-waktu yang dipentingkan, baik yang hukumnya wajib atau sunnah muakkadah. Dalam kitab Jalaa’ul Afhaam, Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan 41 waktu (tempat). Beliau rahimahullah memulai dengan sesuatu yang paling penting yakni ketika shalat di akhir tasyahhud. Di waktu tersebut para ulama sepakat tentang disyari’atkannya bershalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun mereka berselisih tentang hukum wajibnya. Di antara waktu lain yang beliau sebutkan adalah di akhir Qunut, kemudian saat khutbah, seperti khutbah Jum’at, hari raya dan istisqa’, kemudian setelah menjawab muadzdzin, ketika berdo’a, ketika masuk dan keluar dari masjid, juga ketika menyebut nama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kaum Muslimin tentang tatacara mengucapkan shalawat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan untuk memperbanyak membaca shalawat kepadanya pada hari Jum’at.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَكْثِرُوا الصَّلاَةَ عَلَيَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، فَمَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا.

“Perbanyaklah kalian membaca shalawat kepadaku pada hari dan malam Jum’at, barangsiapa yang bershalawat kepadaku sekali niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali.”[2]

Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan beberapa manfaat dari mengucapkan shalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dimana beliau menyebutkan ada 40 manfaat. Di antara manfaat itu adalah:

1. Shalawat merupakan bentuk ketaatan kepada perintah Allah.
2. Mendapatkan 10 kali shalawat dari Allah bagi yang bershalawat sekali untuk beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
3. Diharapkan dikabulkannya do’a apabila didahului dengan shalawat tersebut.
4. Shalawat merupakan sebab mendapatkan syafa’at dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika ketika mengucapkan shalawat diiringi dengan permohonan kepada Allah agar memberikan wasilah (kedudukan yang tinggi) kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari Kiamat.
5. Shalawat merupakan sebab diampuninya dosa-dosa.
6. Shalawat merupakan sebab sehingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab orang yang mengucapkan shalawat dan salam kepadanya.[3]

Tetapi tidak dibenarkan mengkhususkan waktu dan cara tertentu dalam bershalawat dan memuji beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali berdasarkan dalil shahih dari Al-Qur-an dan As-Sunnah. Para ulama Ahlus Sunnah telah banyak meriwayatkan lafazh-lafazh shalawat yang shahih, sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya Radhiyallahu anhum.

Di antaranya adalah:

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، اَللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

“Ya Allah, berikanlah rahmat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia. Ya Allah, berikanlah berkah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Maha-mulia.” [4]

Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi yang mulia ini, juga bagi keluarga beliau, para Sahabat, dan orang-orang yang mengikuti jejak beliau hingga hari Kiamat.

LARANGAN GHULUW DAN BERLEBIH-LEBIHAN DALAM MEMUJI NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM

Ghuluw artinya melampaui batas. Dikatakan: “ غَلاَ يَغْلُو غُلُوًّا ,” jika ia melampaui batas dalam ukuran. Allah berfirman:

لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ

“Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu.” [An-Nisaa': 171]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ.

“Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” [5]

Salah satu sebab yang membuat seseorang menjadi kufur adalah sikap ghuluw dalam beragama, baik kepada orang shalih atau dianggap wali, maupun ghuluw kepada kuburan para wali, hingga mereka minta dan berdo’a kepadanya padahal ini adalah perbuatan syirik akbar.

Sedangkan ithra’ artinya melampaui batas (berlebih-lebihan) dalam memuji serta berbohong karenanya. Dan yang dimaksud dengan ghuluw dalam hak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah melampaui batas dalam menyanjungnya, sehingga mengangkatnya di atas derajatnya sebagai hamba dan Rasul (utusan) Allah, menisbatkan kepadanya sebagian dari sifat-sifat Ilahiyyah. Hal itu misalnya dengan memohon dan meminta pertolongan kepada beliau, tawassul dengan beliau, atau tawassul dengan kedudukan dan kehormatan beliau, bersumpah dengan nama beliau, sebagai bentuk ‘ubudiyyah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, perbuatan ini adalah syirik.

Dan yang dimaksud dengan ithra’ dalam hak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah berlebih-lebihan dalam memujinya, padahal beliau telah melarang hal tersebut melalui sabda beliau:

لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ.

“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagai-mana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji ‘Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka kata-kanlah, ‘‘Abdullaah wa Rasuuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya).’”[6]

Dengan kata lain, janganlah kalian memujiku secara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku. Hal itu sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissallam, sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku, maka katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.” [7]

‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (penguasa) kami!” Spontan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

اَلسَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.

“Sayyid (penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”

Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Serta merta beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan:

قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَو بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ.

“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan.” [8]

Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata, “Sebagian orang berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik di antara kami dan putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid kami dan putera sayyid kami!’ Maka seketika itu juga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدٌ، عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُوْنِيْ فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِيْ أَنْزَلَنِيَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ.

“Wahai manusia, ucapkanlah dengan yang biasa (wajar) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh syaithan, aku (tidak lebih) adalah Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengangkat (menyanjung)ku di atas (melebihi) kedudukan yang telah Allah berikan kepadaku.” [9]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membenci jika orang-orang memujinya dengan berbagai ungkapan seperti: “Engkau adalah sayyidku, engkau adalah orang yang terbaik di antara kami, engkau adalah orang yang paling utama di antara kami, engkau adalah orang yang paling agung di antara kami.” Padahal sesungguhnya beliau adalah makhluk yang paling utama dan paling mulia secara mutlak. Meskipun demikian, beliau melarang mereka agar menjauhkan mereka dari sikap melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam menyanjung hak beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga untuk menjaga kemurnian tauhid. Selanjutnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengarahkan mereka agar menyifati beliau dengan dua sifat yang merupakan derajat paling tinggi bagi hamba yang di dalamnya tidak ada ghuluw serta tidak membahayakan ‘aqidah. Dua sifat itu adalah ‘Abdullaah wa Rasuuluh (hamba dan utusan Allah).

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan dan Allah ridhai. Tetapi banyak manusia yang melanggar larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, sehingga mereka berdo’a kepadanya, meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Hal itu sebagaimana yang mereka lakukan ketika peringatan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dalam kasidah atau anasyid, di mana mereka tidak membedakan antara hak Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan hak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Al-‘Allamah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah dalam kasidah nuniyyah-nya berkata:

ِللهِ حَقٌّ لاَ يَكُوْنُ لِغَيْرِهِ
وَلِعَبْدِهِ حَقٌّ هُمَا حَقَّانِ
لاَ تَجْعَلُوا الْحَقَّيْنِ حَقًّا وَاحِدًا
مِنْ غَيْرِ تَمْيِيْزٍ وَلاَ فُرْقَانِ

“Allah memiliki hak yang tidak dimiliki selain-Nya,
bagi hamba pun ada hak, dan ia adalah dua hak yang berbeda.
Jangan kalian jadikan dua hak itu menjadi satu hak,
tanpa memisahkan dan tanpa membedakannya.” [10]

Kiat-Kiat Menghapal Al-Qur-an Dan As-Sunnah

Kiat-Kiat Menghapal Al-Qur-an Dan As-Sunnah

Rabu, 13 Juni 2012 22:32:19 WIB

KIAT-KIAT MENGHAFAL AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Seorang penuntut ilmu hendaknya mengetahui bahwa menuntut ilmu memiliki beberapa tahapan yang harus dilalui. Ia harus memulai dari yang paling penting kemudian yang penting. Ia tidak boleh tergesa-gesa, bahkan ia harus bersabar dan mengetahui kadar kemampuan dirinya.

Para ulama kita tidak pernah melewati dan menyimpang dari tahapan menuntut ilmu karena bertahap dalam menuntut ilmu adalah jalan selamat untuk memperoleh ilmu. Bertahap dalam menuntut ilmu ini berdasarkan firman Allah Tabaaraka wa Ta’aala,

وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا

“Dan Al-Qur-an (Kami turunkan) berangsur-angsur agar engkau (Muhammad) membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya secara bertahap.” [Al-Israa': 106]

Dan firman Allah Ta’ala,

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً ۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ ۖ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا

“Dan orang-orang kafir berkata: ‘Mengapa Al-Qur-an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?’ Demikianlah agar Kami memperteguh hatimu (Muhammad) dengan-nya dan Kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan dan benar).” [Al-Furqan: 32]

Banyak manusia yang tercegah dari tujuannya dalam menuntut ilmu karena meninggalkan ushul (landasan pokok). Yang dimaksud ushul adalah Al-Qur-an dan As-Sunnah.

Seorang penuntut ilmu hendaklah memprioritaskan dirinya untuk menghafalkan Al-Qur-an kemudian hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah yang dinasihatkan oleh para ulama Salaf kepada orang yang hendak menimba ilmu dari mereka.

Imam Abu ‘Umar Yusuf bin ‘Abdullah bin Muhammad Ibnu ‘Abdil Barr (wafat th. 463 H) rahimahullaah mengatakan, “Menuntut ilmu memiliki tingkatan dan tahapan yang tidak boleh dilanggar. Siapa yang melanggarnya secara keseluruhan, maka ia telah melanggar jalan para ulama Salaf, siapa yang melanggar jalan mereka dengan sengaja, maka ia telah tersesat, dan siapa yang melanggarnya lantaran ijtihadnya, maka ia telah menyimpang.

Awal dari ilmu adalah menghafalkan Kitabullah dan memahaminya. Segala apa yang dapat membantu untuk memahaminya, maka wajib untuk mempelajarinya. Aku tidak mengatakan bahwa menghafal seluruh Al-Qur-an adalah fardhu, tetapi aku katakan bahwa hal itu adalah wajib (sunnah yang mendekati wajib) dan keharusan bagi siapa saja yang ingin menjadi seorang yang alim, bukan fardhu.

Al-Qur-an adalah pokok dari ilmu. Siapa yang menghafalkannya sebelum usia baligh, kemudian meluangkan waktunya untuk mempelajari apa yang dapat membantunya dalam memahaminya berupa bahasa Arab, maka hal itu adalah penolong terbesar untuk mencapai tujuan dalam memahami Al-Qur-an dan Sunnah-Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam...

Kemudian melihat kepada Sunnah-Sunnah yang masyhur, yang telah tetap dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sehingga dengannya seorang penuntut ilmu sampai kepada maksud Allah Ta’ala dalam Kitab-Nya. Dan Sunnah itu membukakan hukum-hukum Al-Qur-an baginya...

Barangsiapa mencari Sunnah-Sunnah Nabi, hendaklah ia prioritaskan pada hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para imam, yang tsiqah dan banyak hafalannya (huffazh)[1].” Maka, wahai saudaraku, engkau harus menghafal ushul dan mencari bantuan dengannya.

Imam Ibnu Jama’ah (wafat th. 733 H) rahimahullaah mengatakan, “Hendaklah (penuntut ilmu) memulai dengan Kitabullaahil ‘Aziiz, menghafalkannya dengan mutqin (betul-betul matang), bersungguh-sungguh memahami tafsirnya, dan semua ilmunya (ilmu Al-Qur-an). Karena, Al-Qur-an adalah pokok ilmu, induk-nya, dan yang paling penting.”[2]

Jadi, target utama penuntut ilmu adalah menghafal Kitabullah dan Sunnah Nabi yang shahih. Setelah itu hendaklah ia menghafalkan kitab-kitab matan, baik dalam bidang aqidah, fiqih, hadits, nahwu, maupun fara-idh. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah mengatakan, “Yang paling penting bagi seseorang dalam menuntut ilmu adalah mempelajari tafsir Kalamullaah karena Kalamullaah seluruhnya adalah ilmu. Allah Ta’ala berfirman,

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

“... Dan Kami turunkan Al-Kitab (Al-Qur-an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim).” [An-Nahl: 89]

Dahulu para Shahabat tidak pernah melewati sepuluh ayat sampai mereka mempelajari apa yang ada di dalamnya berupa ilmu dan amal sehingga mereka mempelajari Al-Qur-an, ilmu, dan amal sekaligus. Menurut saya inilah yang paling penting. Maka hendak-lah para remaja -terutama anak-anak- memulainya dengan menghafalkan Al-Qur-an... Bersamaan dengan itu hendaklah penuntut ilmu mencurahkan perhatiannya terhadap Sunnah karena merupakan landasan syari’at yang tidak dapat dipisahkan selamanya, Al-Qur-an dan As-Sunnah keduanya merupakan wahyu. Dan apa yang telah tetap dalam As-Sunnah sama saja dengan apa yang ditetapkan di dalam Al-Qur-an.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

“... Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur-an) dan hikmah (As-Sunnah) kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu sangat besar.” [An-Nisaa’: 113][3]

• Kiat-kiat Menghafal Al-Qur-an [4]
Dahulu menghafalkan Al-Qur-an dalam pandangan ulama merupakan hal pokok. Dengannya mereka memulai menuntut ilmu. Karena itulah mereka tidak pernah ragu memulai menghafal Al-Qur-an. Hafalannya menjadi ciri khas yang tampak di masyarakat ulama dan penuntut ilmu. Sebagian Salaf sangat menganggap aib karena tidak menghafal Al-Qur-an. Di antara buktinya adalah apa yang diungkapkan al-Hafizh Ibnu Hajar (wafat th. 852 H) dalam Taqriibut Tahdziib (I/664, no. 4529), tentang biografi ‘Utsman bin Muhammad bin Abi Syaibah, “Dia adalah tsiqah, seorang hafizh yang terkenal, tetapi dia memiliki auham (sejumlah kesalahan) dan dikatakan dia tidak hafal Al-Qur-an.”[5]

Sesungguhnya menghafalkan Al-Qur-an bukan merupakan kewajiban atas seorang penuntut ilmu, tetapi hafalannya adalah kunci menuju jalan hafalan dan pemahaman. Hendaklah seorang penuntut ilmu mengetahui bahwa menghafalkan Al-Qur-an dan mengamalkannya dapat menambah ketinggian derajat. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَ يَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ.

“Sesungguhnya Allah Ta’ala mengangkat (derajat) beberapa kaum dengan Kitab (Al-Qur-an) dan merendahkan yang lainnya dengan Al-Qur-an". [6]

Berikut beberapa hal yang dapat membantu se-orang penuntut ilmu dalam menghafal Al-Qur-an:

1. Berdo’a kepada Allah Ta’ala dengan ikhlas agar diberikan kemudahan dalam menghafalkan Al-Qur-an. Hendaklah menghafal Al-Qur-an dilakukan dengan ikhlas semata-mata mencari keridhaan Allah Ta’ala.

2. Memperdengarkan semampunya ayat-ayat yang telah dihafalnya kepada seorang qari’ yang baik bacaan dan hafalannya.

3. Mengulang-ngulang ayat yang telah dihafal secara terjadwal dan berusaha untuk disiplin.

4. Menggunakan satu mushaf Al-Qur-an agar dapat menguatkan hafalan.

5. Mengulang-ngulang ayat yang dihafal sepuluh kali/dua puluh kali -boleh juga lebih- dengan berdiri, duduk, dan berjalan.

6. Membaca ayat-ayat yang baru dihafalkan dalam shalat karena dapat lebih melekatkan hafalan.

7. Membaca terjemah dan tafsir ayat yang telah dihafalkan.

8. Menjauhi dosa dan maksiyat.

Imam adh-Dhahhak (wafat th. 102 H) rahimahullaah mengatakan, “Tidaklah seseorang mempelajari Al-Qur-an kemudian ia lupa, melainkan disebabkan dosa.” Beliau lalu membaca firman Allah,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan musibah apapun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” [Asy-Syuura: 30]

Kemudian beliau melanjutkan, “Musibah apakah yang lebih besar daripada melupakan al-Qur-an?” [7]

9. Menentukan jadwal yang teratur untuk menentukan batas hafalan harian (apa yang dihafal setiap hari).

Diusahakan untuk tidak menyelisihi aturan atau mengubahnya, kecuali karena ada hal-hal yang darurat untuk dilakukan.

10. Hendaknya ayat yang diahafal sedikit setiap hari agar lebih melekat

Bagi yang sudah hafal beberapa juz Al-Qur-an atau yang sudah hafal 30 juz, hendaklah ia selalu muraja'ah (mengulang-ngulang) hafalannya dan menjaganya dengan baik karena Al-Qur-an lebih cepat hilangnya daripada unta yang diikat.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

تَعَاهَدُوْا هَذَا الْقُرْآنَ، فَوَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَهُوَ أَشَدُّ تَفَلُتَا مِنَ الْإِبِلِ فِيْ عُقُلِهَا

Bacalah selalu Al-Qur'an ini. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh, Al-Qur-an itu lebih mudah lepas daripada seekor unta dalam ikatannya"[8]

• Kunci dalam Menghafal dan Mengingat
Ada beberapa hal penting yang dapat membantu penuntut ilmu dalam menghafalkan atau mengingat pelajarannya dengan gambaran yang baik, di antaranya:

1. Mengikhlaskan niat karena Allah dan mengharapkan ganjaran dari-Nya.

2. Menjauhi hal-hal yang diharamkan dan dilarang syari’at.

3. Hasil usaha yang baik, memakan makanan yang halal dan menjauhi yang haram.

4. Mengosongkan hati dari berbagai kesibukan.

5. Tidak menghafal pada saat sangat lapar, haus, capek, atau pada saat hatinya sibuk dengan urusan yang lain.

6. Berkemauan tinggi, bersungguh-sungguh, dan terus mengulangi pelajaran agar berhasil menghafal.

7. Tidak putus asa dengan jeleknya kemampuan menghafal dan terus mengulang-ngulang pelajaran.

8. Mengulangi pelajaran dengan suara yang dapat didengarnya karena mendengarkan pelajaran dapat membantunya dalam menghafal.

9. Menggunakan bantuan pena atau kertas untuk menyusun segala apa yang dapat membantunya dalam menghafal, atau mengulang-ngulang pela-jaran dengan cara ditulis.

10. Dan sebelum semua hal di atas, hendaklah selalu bertaqwa kepada Allah Ta’ala.[9]

Imam al-Bukhari rahimahullah adalah orang yang kuat hafalannya. Beliau pernah ditanya, "Apakah obat lupa itu?" Beliau menjawab, "Senantiasa melihat ke kitab" (Yaitu selalu membaca dan mengulanginya).[10]

• Waktu-waktu Terbaik untuk Menghafal
Imam Ibnu Jama’ah rahimahullaah menuturkan, “Waktu yang paling baik untuk menghafal adalah ketika sahur; untuk membahas di pagi hari; untuk menulis di siang hari; dan untuk muthala’ah dan berdiskusi (mudzakarah) di malam hari.”

Al-Khatib al-Baghdadi (wafat th. 463 H) rahimahullaah mengatakan, “Waktu yang paling baik untuk menghafal adalah di waktu sahur, kemudian pertengahan hari, dan selanjutnya di pagi hari.” Beliau menambahkan, “Menghafal di malam hari lebih mendatangkan manfaat daripada menghafal di siang hari, dan ketika lapar (yang tidak sangat) lebih bermanfaat daripada ketika kenyang.” [11]

• Tempat Terbaik untuk Menghafal
Imam Ibnu Jama’ah mengatakan -menukil dari al-Khatib, “Tempat yang paling baik untuk menghafal adalah kamar dan setiap tempat yang jauh dari hal-hal yang membuat lalai.” Beliau berkata, “Tidak baik apabila menghafal di tempat yang terdapat tumbuhan, di sekitar pohon-pohon yang menghijau, di tepi sungai, di tengah jalan, dan tempat yang bising karena hal itu (umumnya) dapat mencegah kosongnya hati (untuk menghafal).”[12]

• Penuntut Ilmu Harus Akrab dengan Al-Qur-an
‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda kepadaku,

اِقْرَإِ الْقُرْآنَ فِيْ كُلِّ شَهْرٍ، قَالَ: قُلْتُ: إِنِـّيْ أَجِدُ قُوَّةً. قَالَ: فَاقْرَأْهُ فِيْ عِشْرِيْنَ لَيْلَةً، قَالَ: قُلْتُ: إِنِـّيْ أَجِدُ قُوَّةً، قَالَ: فَاقْرَأْهُ فِيْ سَبْعٍ وَلَا تَزِدْ عَلَى ذَلِكَ.

“Bacalah Al-Qur-an (sampai khatam) setiap bulan.” ‘Abdullah berkata, aku berkata, “Sungguh, aku mampu mengerjakan lebih dari itu.” Rasulullah bersabda, “Maka bacalah (sampai khatam) selama dua puluh hari.” ‘Abdullah berkata, aku berkata, “Sungguh, aku mampu melakukan lebih dari itu.” Rasulullah bersabda, “Jika demikian, bacalah (sampai khatam) selama tujuh hari dan jangan lebih dari itu.” [13]

Jundub bin ‘Abdullah bin Sufyan al-Bajali (wafat antara th. 60-70 H) radhiyallaahu ‘anhu pernah berwasiat, “Aku berwasiat kepada kalian, hendaklah bertakwa kepada Allah. Aku juga berwasiat kepada kalian agar selalu (membaca dan menghayati) kandungan Al-Qur-an karena ia adalah cahaya di malam yang kelam dan petunjuk di siang yang terang. Ketahuilah bahwa Al-Qur-an bisa menyebabkan kamu meraih sesuatu yang nilainya sangat tinggi... .”[14]