BAB. I
PENDAHULUAN
Dewasa ini masih terdapat anggapan bahwa
Islam menghambat kemajuan. Beberapa kalangan mencurigai Islam sebagai
factor penghambat pembangunan (an obstacle to economic growth). Pandangan ini berasal dari para pemikir Barat. Meskipun demikian, tidak sedikit intelektual muslim yang juga menyakininya.
Kesimpulan yang agak tergesa-gesa ini
hampir dapat dipastikan timbul karena kesalah pahaman terhadap Islam.
Seolah-olah Islam merupakan agama yang hanya berkaitan dengan masalah
ritual, bukan sebagai suatu system yang komprehensif dan mencakup
seluruh aspek kehidupan, termasuk masalah pembangunan ekonomi serta
industri perbankan sebagai salah satu motor penggerak roda perekonomian.
Manusia adalah khalifah di muka bumi.
Islam memandang bahwa bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah
kepada sang khalifah agar dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan
bersama. Untuk mencapai tujuan suci ini, Allah memberikan petunjuk
melalui para rasul-Nya. Petunjuk tersebut meliputi segala sesuatu yang
dibutuhkan manusia baik akidah, akhlak, maupun syariah.
Dua komponen pertama, akidah dan akhlak,
bersifat konstan. Keduanya tidak mengalami perubahan apapun dengan
berbedanya waktu dan tempat. Adapun syariah senantiasa berubah sesuai
dengan kebutuhan dan taraf peradaban umat, yang berbeda-beda sesuai
dengan masa rasul masing-masing. Hal ini diungkapkan dalam Al’Qur’an
Surah Al-Maa’idah ayat 48 yang artinya “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang“
Juga oleh Rasulullah saw, dalam suatu hadits, HR Bukhari, Abu Dawud, dan Ahmad yang artinya :
“Para rasul tak ubahnya bagaikan saudara sebapak, ibunya (syariahnya) berbeda-beda sedangkan dinnya (tauhidnya) satu “.
Oleh karena itu, syariah Islam sebagai
suatu syariah yang dibawa oleh rasul terakhir, mempunyai keunikan
tersendiri. Syariah ini bukan saja menyeluruh atau komprehensif, tetapi
juga universal. Karakter istimewa ini diperlukan sebab tidak akan ada
syariah lain yang datang untuk menyempurnakannya.
Komprehensif berarti syariah Islam
merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual (ibadah) maupun sosial
(muamalah). Ibadah diperlukan untuk menjaga ketaatan dan keharmonisan
hubungan manusia dengan Khaliq-nya. Ibadah juga merupakan sarana untuk
mengingatkan secara kontinu tugas manusia sebagai khalifah-Nya di muka
bumi ini. Adapun muamalah diturunkan untuk menjadi rules of the game atau aturan main manusia dalam kehidupan sosial. Kelengkapan system muamalah yang disampaikan Rasulullah saw.
Universal bermakna syariah Islam dapat
diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai Hari Akhir nanti.
Universalitas ini tampak jelas terutama pada bidang muamalah. Selain
mempunyai cakupan luas dan fleksibel, muamalah tidak membeda-bedakan
antara muslim dan non muslim. Kenyataan ini tersirat dalam suatu
ungkapan yang diriwayatkan oleh Sayyidina Ali, “ Dalam bidang muamalah
kewajiban mereka adalah kewajiban kita dan hak mereka adalah hak kita. “
Sifat muamalah ini dimungkinkan karena Islam mengenal hal yang diistilahkan sebagai tsawabit wa mutaghayyirat.
Dalam sektor ekonomi, misalnya yang merupakan prinsip adalah larangan
riba, syistem bagi hasil, pengambilan keuntungan, pengenaan zakat, dan
lain-lain. Adapun contoh variable adalah instrument-instrumen untuk
melaksanakan prinsip-prinsip tersebut. Di antaranya adalah aplikasi
prinsip jual beli dalam modal kerja, penerapan asas mudharabah dalam investasi atau penerapan bai’as-salam
dalam pembangunan suatu proyek. Tugas cendekiawan muslim sepanjang
zaman adalah mengembangkan teknik penerapan prinsip-prinsip tersebut
dalam variabel-variabel yang sesuai dengan situasi dan kondisi pada
setiap masa.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pandangan Islam Terhadap Harta dan Ekonomi
Secara umum, tugas kekhalifahan manusia
adalah tugas mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidup dan
kehidupan (Al-An’aam : 165) serta tugas pengabdian atau ibadah dalam
arti luas (adz-Dzaariyaat : 56). Untuk menunaikan tugas tersebut, Allah SWT memberi manusia dua anugerah nikmat utama, yaitu manhaj al-hayat “ sistem kehidupan “ dan wasilah al-hayat “ sarana kehidupan .
Manhaj al-hayat adalah seluruh
aturan kehidupan manusia yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul. Aturan tersebut berbentuk keharusan melakukan atau sebaiknya
melakukan sesuatu, juga dalam bentuk larangan melakukan atau sebaliknya
meninggalkan sesuatu. Aturan tersebut dikenal sebagai hukum lima, yakni
wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram.
Aturan-aturan tersebut dimaksudkan untuk
menjamin keselamatan manusia sepanjang hidupnya, baik yang menyangkut
keselamatan agama, keselamatan diri (jiwa dan raga), keselamatan akal,
keselamatan harta benda, maupun keselamatan nasab keturunan. Hal-hal
tersebut merupakan kebutuhan pokok atau primer.
Pelaksanaan Islam sebagai way of life
secara konsisten dalam semua kegiatan kehidupan, akan melahirkan sebuah
tatanan kehidupan yang baik, sebuah tatanan yang disebut sebagai hayatan thayyibah (An-Nahl : 97).
Sebaliknya, menolak aturan itu atau sama
sekali tidak memiliki keinginan mengaplikasikannya dalam kehidupan,
akan melahirkan kekacauan dalam kehdupan sekarang, ma’isyatan dhanka atau kehidupan yang sempit, serta kecelakaan diakhirat nanti (Thaahaa : 124 – 126).
Aturan-aturan itu juga diperlukan untuk mengelola wasilah al-hayah atau segala sarana dan prasarana kehidupan yang diciptakan Allah SWT untuk kepentingan hidup manusia secara keseluruhan. Wasilah al-hayah ini dalam bentuk udara, air, tumbuh-tumbuhan, hewan ternak, dan harta benda lainnya yang berguna dalam kehidupan.
Sebagaimana dalam Surah Al-Baqarah ayat 29 yang artinya :
“Dialah Allah yang menjadikan segala
yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit,
lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan, dia Maha Mengetahui segala sesuatu
“
Dari keterangan diatas, islam mempunyai
pandangan yang jelas mengenai harta dan kegiatan ekonomi. Pandangan
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
- Pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, termasuk harta benda, adalah Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relativf, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya.
- Status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut.
- Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada. Dalam bahasa Einstein, manusia tidak mampu menciptakan energi ; yang mampu manusia lakukan adalah mengubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi lain. Pencipta awal segala energi adalah Allah SWT.
- Harta sebagi perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai, dan menikmati harta. Firman-Nya, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup di dunia dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran : 14). Sebagai perhiasan hidup, harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan, serta kebanggan diri (Al-‘Alaq : 6 – 7).
- Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam ataukah tidak. (Al-Anfaal : 28)
- Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan muamalah di antara sesama manusia, melalui kegiatan zakat, infak dan sedekah. (At-Taubah : 41, 60 ; Ali Imran : 133-134).
- Pemilikan harta dapat dilakukan antara lain melalui usaha (a’mal) atau mata pencaharian (ma’isyah) yang halal dan sesuai dengan aturan-Nya. Banyak ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang mendorong umat manusia bekerja mencari nafkah secara halal.
- Dilarang mencari harta, berusaha, atau bekerja yang dapat melupakan kematian (At-Takaatsur : 1 – 2), melupakan dzikrullah (tidak ingat kepada Allah dengan segala ketentuan-Nya ) (Al-Munaafiquun ; 9 ), melupakan shalat dan zakat (an-Nuur ; 37), dan memutuskan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja (al-Hasyr : 7).
- Dilarang menempuh usaha yang haram seperti melalui kegiatan riba (al-Baqarah : 273 – 281), perjudian, berjual beli barang yang dilarang atau haram (al-Maa’idah : 90-91), mencuri, merampok, penggasaban (al-Maa’idah : 38 ), curang dalam takaran dan timbangan (al-Muthaffifiin : 1 – 6) melalui cara-cara yang batil dan merugikan (al-Baqarah : 188 ), dan melalui suap-menyuap (HR Imam Ahmad ).
- 2. Nilai-nilai Sistem Perekonomian Islam
- a. Perekonomian Masyarakat Luas, Bukan Hanya Masyarakat Muslim Akan Menjadi Baik Bila Menggunakan kerangka Kerja atau Acuan Norma-Norma Islami.
Banyak ayat Al-Qur’an yang menyerukan
penggunaan kerangka kerja perekonomian Islam, diantaranya Aurah
Al-Baqarah ayat 60 dan Al-Maa’idah ayat 87 – 88 yang semua ayatnya
merupakan penentuan dasar pikiran dari pesan Al-Qur’an dalam bidang
ekonomi. Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa Islam mendorong
penganutnya untuk menikmati karunia yang telah diberikan oleh Allah.
Karunia tersebut harus didayagunakan untuk meningkatkan pertumbuhan,
baik materi maupun non materi.
Islam juga mendorong penganutnya
berjuang untuk mendapatkan materi atau harta dengan berbagai cara,
asalkan mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan.
- b. Keadilan dan Persaudaraan Menyeluruh
Islam bertujuan untuk membentuk
masyarakat dengan tatanan sosial yang solid. Dalam tatanan itu, setiap
individu diikat oleh persudaraan dan kasih saying bagai satu keluarga.
Sebuah persaudaraan yang universal dan tak diikat batas geografis.
Keadilan dalam Islam memiliki implikasi sebagai berikut :
— Keadilan Sosial
Islam menganggap umat manusia sebagai
suatu keluarga. Karenanya, semua anggota keluarga ini mempunyai derajat
yang sama di hadapan Allah. Hukum Allah tidak membedakan yang kaya dan
yang miskin, demikian juga tidak membedakan yang hitam dan yang putih.
Secara sosial, nilai yang membedakan satu dengan yang lain adalah
ketakwaan, ketulusan hati, kemampuan dan pelayanannya pada manusia.
— Keadilan Ekonomi
Konsep persaudaraan dan perlakuan yang
sama bagi setiap individu dalam masyarakat dan dihadapan hukum harus
diimbangi oleh keadilan ekonomi. Tanpa pengimbangan tersebut, sosial
kehilangan makna. Dengan keadilan ekonomi, setiap individu akan
mendapatkan haknya sesuai dengan kontribusi masing-masing kepada
masyarakat. Setiap individu pun harus terbebaskan dari eksploiasi
individu lainnya. Islam dengan tegas melarang seorang muslim merugikan
orang lain.
Peringatan akan ketidakadilan dan
eksploitasi ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak individu dalam
masyarakat, juga untuk meningkatkan kiesejahteraan umum sebagai tujuan
utama Islam.
- c. Keadilan Distribusi Pendapatan
Kesenjangan pendapatan dan kekayaan alam
yang ada dalam masyarakat, berlawanan dengan semangat serta komitmen
Islam terhadap persaudaraan dan keadilan sosial ekonomi. Kesenjangan
harus diatasi dengan menggunakan cara yang ditekankan Islam. Diantaranya
adalah dengan cara-cara berikut ini.
Pertama :
- Menghapuskan monopoli, kecuali oleh pemerintah, untuk bidang-bidang tertentu.
- Menjamin hak dan kesempatan
semua pihak untuk aktif dalam proses ekonomi, baik produksi, distribusi,
sirkulasi maupun konsumsi.
- Menjamin basic needs fulfillment ( pemenuhan kebutuhan dasar hidup ) setiap anggota masyarakat.
- Melaksanakan amanah at-takaaful al-ijtima’I social economic security insurance dimana yang mampu menanggung dan membantu yang tidak mampu.
Dengan cara itu, standar kehidupan
setiap individu akan lebih terjamin. Sisi manusiawi dan kehormatan
setiap individu akan lebih terjaga sesuai dengan martabatnya yang yang
telah melekat pada manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Kedua :
Islam membenarkan seorang memilih
kekayaan lebih dari yang lain sepanjang kekayaan tersebut diperoleh
secara benar dan yang bersangkutan telah menunaikan kewajibannya bagi
kesejahteraan masyarakat, baik dalam bentuk zakat maupun amal kebajikan
lain seperti infak dan sedekah. Meskipun demikian, Islam sangat
menganjurkan golongan yang kaya untuk tetap tawadhu dan tidak pamer.
Jika seluruh ajaran Islam (termasuk
pelaksanaan syariah serta norma keadilan) diterapkan, kesenjangan
kekayaan serta pendapatan yang mencolok tidak akan terjadi di dalam
masyarakat.
- d. Kebebasan Individu dalam Konteks Kesejahteraan Sosial
Pilar terpenting dalam keyakinan seorang
muslim adalah kepercayaan bahwa manusia diciptakan oleh Allah. Ia
tidak tunduk kepada siapa pun kecuali kepada Allah (ar-Ra’d : 36 dan
Luqman : 32). Ini merupakan dasar bagi Piagam Kebebasan Islam dari
segala bentuk perbudakan. Menyangkut hal ini Al Qur’an tegas menyatakan
bahwa tujuan utama dari misi kenabian Muhammad adalah melepaskan
manusia dari beban dan rantai yang membelenggunya (Al-A’raaf : 157).
Konsep Islam amat jelas. Manusia
dilahirkan merdeka. Karenanya, tidak ada seorang pun bahkan Negara
manapun yang berhak mencabut kemerdekaan tersebut dan membuat hidup
manusia terikat. Dalam konsep ini, setiap individu berhak menggunakan
kemerdekaannya tersebut sepanjang tetap berada dalam kerangka
norma-norma islami. Dengan kata lain, sepanjang kebebasan tersebut dapat
dipertanggungjawabkan, baik secara sosial maupun dihadapan Allah.
Kebebasan individu dalam kerangka etika
Islam diakui selama tidak bertentangan dengan kepentingan sosial yang
lebih besar atau sepanjang individu itu tidak melangkahi hak-hak orang
lain.
BAB III
KESIMPULAN
Islam membenarkan seorang memilih
kekayaan lebih dari yang lain sepanjang kekayaan tersebut diperoleh
secara benar dan yang bersangkutan telah menunaikan kewajibannya bagi
kesejahteraan masyarakat, baik dalam bentuk zakat maupun amal kebajikan
lain seperti infak dan sedekah. Meskipun demikian, Islam sangat
menganjurkan golongan yang kaya untuk tetap tawadhu dan tidak pamer.
Islam juga mendorong penganutnya
berjuang untuk mendapatkan materi atau harta dengan berbagai cara,
asalkan mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan. Dilarang mencari
harta, berusaha, atau bekerja yang dapat melupakan kematian (At-Takaatsur : 1 – 2), melupakan dzikrullah (tidak ingat kepada Allah dengan segala ketentuan-Nya ) (Al-Munaafiquun ; 9), melupakan shalat dan zakat (an-Nuur ; 37), dan memutuskan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja (al-Hasyr : 7).
Konsep Islam amat jelas. Manusia
dilahirkan merdeka. Karenanya, tidak ada seorang pun bahkan Negara
manapun yang berhak mencabut kemerdekaan tersebut dan membuat hidup
manusia terikat. Dalam konsep ini, setiap individu berhak menggunakan
kemerdekaannya tersebut sepanjang tetap berada dalam kerangka
norma-norma islami. Dengan kata lain, sepanjang kebebasan tersebut dapat
dipertanggungjawabkan, baik secara sosial maupun dihadapan Allah.
Kebebasan individu dalam kerangka etika
Islam diakui selama tidak bertentangan dengan kepentingan sosial yang
lebih besar atau sepanjang individu itu tidak melangkahi hak-hak orang
lain.
DAFTAR PUSTAKA
Islamic Banking, Bank Syariah dari Teori
Ke Praktik. Muhammad Syafi’i Antonio, Gema Inzani bekarja sama dengan
Tazkia Cendekia, Jakarta 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar