Selasa, 20 Desember 2011

TINDAK PIDANA EKONOMI

Tindak pidana ekonomi (TPE) dalam arti sempit dapat didefinisikan sebagai tindak pidana yang secara yuridis diatur dalam UU Darurat nomor 7 tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan tindak pidana ekonomi.
Dalam arti luas, TPE didefinisikan sebagai semua tindak pidana diluar UU darurat no 7 tahun 1955 yang bercorak atau bermotif ekonomi atau yang dapat berpengaruh negatif terhadap kegiatan perekonomian dan keuangan negara yang sehat.
Dalam istilah asing sering disebut : economic crimes, crime as bussiness, bussines crimes, abuse of economic power.
Ruang lingkup economic crimes sangat luas, mencakup berbagai macam tindak pidana. Economic crimes meliputi :
a. Property crimes : Perbuatan yang mengancam harta benda / kekayaan seseorang atau Negara (act that threathen property held by private persons or by the state)
b. Regulatory crimes : Perbuatan yang melanggar aturan-aturan pemerintah (action that violate government regulations)
c. Tax Crime : pelanggaran mengenai pertanggungjawaban atau pelanggaran syarat-suarat yang berhubungan dengan pembuatan laporan menurut undang-undang pajak (violations of the liability or reporting requirements of the tax laws)
TPE meliputi juga : Penyelundupan (smuggling), tindak pidana di bidang perbankan (banking crimes), tindak pidana di bidang perniagaan (commercial crimes), kejahatan computer (computer crime), tindak pidana lingkungan hidup (environmental crime), tindak pidana di bidang kekayaan intelektual, tindak pidana korupsi, tindak pidana di bidang perpajakan, tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.


Tindak pidana penyelundupan

Tindak pidana penyelundupan diatur dalam UU Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. Pada hakekatnya penyelundupan diartikan sebagai perbuatan mengimpor, mengekspor,mengantar pulaukan barang dengan tidak memenuhi formalitas pabean, yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.
Formalitas pabean di sini merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam hal ekspor dan impor.
Penyelundupan dibedakan menjadi 2 (dua), yakni :
a. Penyelundupan fisik : setiap kegiatan memasukkan adat mengeluarkan barang (ke/dari Indonesia) tanpa dokumen.
b. Penyelundupan administratif : setiap kegiatan memasukkan atau mengeluarkan barang yang ada dokumennya tetapi tidak sesuai dengan jumlah/ jenis atau harga barang yang ada di dalamnya.
(Pelajari pasal 102-106 UU Kepabeanan)
Pasal 102 : ”Barang siapa mengimpor atau mengekspor atau mencoba mengimpor atau mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan Undang-undang kepabeanan dipidana karena melakukan penyelundupan dengan pidana penjara paling lama delapan tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah)”.
Pasal ini merupakan ”delik berkualifikasi” atau ”delik dengan nama” sebagaimana dalam pasal 262,378 KUHP.
Pengertian ”tanpa mengindahkan undang-undang kepabeanan ” adalah sama sekali tidak memenuhi ketentuan atau prosedur yang telah ditetapkan dalam UU Kepabeanan . Jadi jika seseorang telah menindahkan ketentuan meski tidak sepenuhnya, tidak termasuk perbuatan yang dapat dipidana. Pasal ini mengandung esensi penyelundupan fisik.
Sedangkan pasal 103 dianggap mengatur penyelundupan administratif, meski tidak terang-terangan menyebutkan demikian.





Pertanggungjawaban Pidana

Berdasarkan undang-undang Kepabeanan dapat diidentifikasikan sistem pertanggungjawaban terhadap pelaku tindak pidana sebagai berikut :
a. Subyek yang dapat dipertanggungjawabkan :
- orang perorang (ps 102) dan Koorporasi (ps 108)
- pengusaha Tempat Penimbunan Sementara, pengusaha Tempat Penimbunan Berikat, pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan dan pengusaha Pengangkutan
(ps 106)
b. pertanggunjawaban berdasarkan kesalahan :
baik percobaan, kesengajaan, kelalaian dapat diancam dengan pertanggungjawaban pidana mutlak (strict liability) maupun pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious liability).

Sanksi Pidana

Perumusan sanksi dengan sistem pidana kumulatif, yaitu pidana penjara dan denda. Pidana pokok :
a. penjara : maksimal 8 tahun
b. kurungan
c. denda : maksimal Rp500.000.000,00
d. Sanksi administratif yang bervariatif.
Daluarsa penuntutan 10 tahun sejak diserahkan Pemberitahuan Pabean atau sejak terjadinya tindak pidana.

Kewenangan penyidikan

Selain penyidik Polri, kewenangan penyidikan diberikan kepada :
a. PPNS di lingkungan Dirjen Bea dan cukai (ps 112) untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap tersangka.
b. Penghentian penuntutan oleh Jaksa Agung. Penghentian penuntutan dilakukan atas permintaan menteri Keuangan dan demi kepentingan penerimaan negara. Namun demikian tetap dijatuhi sanksi membayar bea masuk yang tidak atau kurang bayar ditambah dengan sanksi administratif denda 4 kali jumlah bea masuk yang tidak atau kurang bayar.



























Tindak Pidana Perbankan

Tindak Pidana Perbankan (Banking Crimes) meliputi Tindak Pidana yang secara yuridis diatur dan dirumuskan dalam UU nomor 7 tahun 1992 jo UU nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan.
( Lihat Pasal 46-53 )

Subyek yang dapat dipertanggungjawabkan

Subyek yang dapat dipertanggungjawabkan berupa natural persoon dan judicial persoon. Disamping itu subyek tindak pidana perbankan dapat bersifat khusus yaitu : dewan komisaris, direksi, pegawai bank, pihak terafiliasi lainnya.
Pihak terafiliasi adalah :
a. anggota Dewan Komisaris, Pengawas direksi atau kuasanya, Pejabat dan Karyawan Bank.
b. Angota pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat atau karyawan bank khususnya bank yang berbentuk koperasi sesuai dengan peraturan yang berlaku
c. Pihak yang memberikan jasa kepada Bank ,seperti : angktan publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya
d. Pihak yang menuruk penilaian BI turut mempengaruhi pengelolaan Bank, anara lain : pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, keluarga pengurus.

Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan.

Sistem pertanggungjawaban dalam UU perbankan ini menganut prinsip liability based on fault (asas kesalahan) , asas culpabilitas.
Sanksi pidana dengan sistem kumulasi alternatif. Sanksi administratif berupa :
a. denda uang
b. teguran tertulis
c. penurunan tingkat kesehatan Bank
d. Pembekuan kegiatan usaha tertentu baik untuk kantor cabang maupun bank keseluruhan
e. Pemberhentian pengurus dan mengangkat pengganti sementara sampai RUPS atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan BI
f. Pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela bidang perbankan

SEJARAH TERBENTUKNYA PENGADILAN NEGERI DI INDONESIA (Sebelum terbentuknya UU No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman)

SEJARAH TERBENTUKNYA PENGADILAN NEGERI DI INDONESIA
(Sebelum terbentuknya UU No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman)
A. Latar belakang
Menurut Sudikno Mertokusumo peradilan adalah segala sesuatu yang bertalian dengan tugas hakim dalam memutus perkara, baik perkara perdata maupun perkara pidana untuk mempertahankan atau atau menjamin ditaatinya hukum materil[1]. Sedangkan hukum materil merupakan pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat dalam masyarakat yang pada hakekatnya bertujuan untuk melindungai kepentingan orang lain[2]. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsi pengadilan sangat penting sebagai tempat untuk menegakkan hukum.
Sejarah terbentuknya pengadilan di Indonesia sangat panjang dan banyak mengalami perubahan sebelum menjadi seperti yang sekarang ini, dimulai dari masa sebelum  pemerintahan Belanda sampai Indonesia merdeka. Hal tersebut membuat penulis tertarik untuk meneliti dan menelusuri sejarah terbentuknya Pengadilan Negeri di Indonesia.

B. Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang ingin penulis bahas adalah bagaimanakah sejarah terbentuknya Pengadilan Negeri di Indonesia?

C. Metode Historis

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan dimana data diperoleh dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka hukum, dengan menganalisa bahan-bahan yang menguraikan mengenai sejarah peradilan di Indonesia terutama Pengadilan Negeri, menganalisa undang-undang yang berkaitan dengan hal tersebut yaitu undang-undang tentang kekuasaan kehakiman dan tentang peradilan umum.
D. SEJARAH TERBENTUKNYA PENGADILAN NEGERI DI INDONESIA
i.        Masa sebelum pemerintahan Hindia-Belanda.
Pada masa sebelum pemerintahan Hindia-belanda di Indonesia, tata hukum di Indonesia mendapatkan pengaruh dari hukum agama yaitu Hindu dan Islam serta hukum adat. Pengaruh agama Hindu tersebut dapat dilihat pada sistem peradilannya dimana dibedakan antara perkara Pradata dan perkara Padu[3]. Perkara Pradata adalah perkara yang menjadi urusan peradilan raja yang diadili oleh raja sendiri yaitu perkara yang membahayakan mahkota, kemanan dan ketertiban negara, hukum Pradata ini bersumber dari hukum Hindu dimana Raja adalah pusat kekuasaan[4] sedangkan perkara Padu adalah perkara mengenai kepentingan rakyat perseorangan, perkara ini diadili oleh pejabat negara yang disebut jaksa[5].
ii.   Masa pemerintahan Hindia-Belanda
     Pada tahun 1602 Belanda mendirikan suatu perserikatan dagang untuk Timur-jauh yang dinamakan VOC (De Vereenigde Oost-Indische Compagnie) dengan tujuannya untuk berniaga, maka melalui VOC tersebut Belanda masuk ke Indonesia.
Jan Pieterszoon Coen pada tanggal 30 Mei 1619 berhasil membuat Sultan Banten menyerahkan daerahnya kepada Kompeni. Pada tanggal 26 Maret 1620 dibuat resolusi yang mengangkat seorang Baljuw sebagai opsir justisi dan kepala kepolisian lalu pada tanggal 24 Juni 1620 dibentuk suatu mejelis pengadilan di bawah pimpinan Baljauw yang dinamakan College van Schepennen disebut schepenbank untuk mengadili segala penduduk kota bangsa apapun kecuali pegawai dan serdadu Kompeni yang akan diadili oleh Ordinaris luyden van den gerechte in het Casteel yang pada 1626 diubah menjadi Ordinaris Raad van Justisie binnen het casteel Batavia, disebut sebagai Raad van Justisie.
Sejak tahun 1684 VOC banyak mengalami kemunduran ditambah dengan adanya pergeseran politik Eropa yang mengakibatkan berubahnya situasi politik di Belanda, hal tersebut mengakibatkan dihentikannya VOC dan pada tahun 1806 Belanda menjadi kerajaan di bawah Raja Lodewijk Napoleon yang kemudian mengangkat Mr. Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal yang menetapkan charter untuk daerah jajahan di Asia dimana dalam Pasal 86 charter tersebut berisi bahwa susunan pengadilan untuk bangsa Bumiputera akan tetap berdasarkan hukum serta adat mereka.
a.  Masa pemerintahan Inggris
Setelah kekuasaan Hindia-Belanda pada 1811 dipatahkan oleh Inggris maka Sir Thomass Stamford Raffles diangkat menjadi Letnan Jenderal untuk P. Jawa dan wilayah di bawahnya (Palembang, Banjarmasin, Makasar, Madura dan kepulauan Sunda-kecil). Ia mengeluarkan maklumat tanggal 27 Januari 1812 yang berisi bahwa susunan pengadilan untuk bangsa Eropa berlaku juga untuk bangsa Indonesia yang tinggal di dalam lingkungan kekuasaan kehakiman kota-kota (Batavia, Semarang dan Surabaya) dan sekitarnya jadi pada jaman rafles ini ada perbedaan antara susunan pengadilan untuk bangsa Indonesia yang tinggal di kota-kota dan di pedalaman atau desa-desa.
b.        Masa kembalinya pemerintahan Hindia-Belanda
Berakhirnya peperangan di Eropa mengakibatkan daerah jajahan Belanda yang dikuasai Inggris akan dikembalikan kepada Belanda (Conventie London 1814).
Pada masa ini Pemerintah Hindia-Belanda berusaha untuk mengadakan peraturan-peraturan di lapangan peradilan sampai pada akhirnya pada 1 Mei 1848 ditetapkan Reglement tentang susunan pengadilan dan kebijaksanaan kehakiman 1848 (R.O), dalam R.O ada perbedaan keberlakuan pengadilan antara bangsa Indonesia dengan golongan bangsa Eropa diama dalam Pasal 1 RO disebutkan ada 6 macam pengadilan:
1.     districtsgerecht
Mengadili perkara perdata dengan orang Indonesia asli sebagai tergugat dengan nilai harga di bawah f20-.
2.     regenschapgerecht
Mengadili perkara perdata untuk orang Indonesia asli dengan nilai harga f.20-f.50 dan sebagai pengadilan banding untuk keputusan-keputusan districtsgerecht.
3.     landraad
merupakan pengadilan sehari-hari biasa untuk orang Indonesia asli dan dengan pengecualian perkara-perkara perdata dari orang-orang Tionghoa – orang-orang yang dipersamakan hukumnya dengan bangsa Indonesia, juga di dalam perkara-perkara dimana mereka ditarik perkara oleh orang-orang Eropa atau Tionghoa selain itu landraad juga berfungsi sebagai pengadilan banding untuk perkara yang diputuskan oleh regenschapgerecht sepanjang dimungkinkan banding.
4.     rechtbank van omgang diubah pada 1901 menjadi residentiegerecht dan pada 1914 menjadi landgerecht.
Mengadili dalam tingkat pertama dan terahir dengan tidak membedakan bangsa apapun yang menjadi terdakwa.
5.     raad van justisie
Terdapat di Jakarta, Semarang dan Surabaya untuk semua bangsa sesuai dengan ketentuan.
6.     hooggerechtshof
Merupakan pengadilan tingkat tertinggi dan berada di Jakarta untuk mengawasi jalannya peradilan di seluruh Indonesia.
iii.    Masa pemerintahan Jepang
Masa pemerintahan Jepang di Indonesia dimulai pada 8 Maret 1942 dengan menyerahnya Jendral Ter Poorten[6], untuk sementara Jepang mengeluarkan Undang-undang Balatentara Jepang tanggal 8 Maret No.1 yang menyatakan bahwa segala undang-undang dan peraturan-peraturan dari pemerintah Hindia-Belanda dulu terus berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan Balatentara Jepang. Untuk proses peradilan Jepang menetapkan UU 1942 No. 14 tentang Peraturan Pengadilan Pemerintah Balatentara Dai-Nippon, dimana dengan UU ini didirikan pengadilan-pengadilan yang sebenarnya merupakan lanjutan dari pengadilan–pengadilan yang sudah ada:
1.     Gun Hoon
Pengadilan Kawedanan, merupakan lanjutan dari districtsgerecht.
2.     Ken Hooin
Pengadilan kabupaten, merupakan lanjutan dari regenschapsgerecht.
3.     Keizai Hooin
Pengadilan kepolisian, merupakan lanjutan dati Landgerecht.
4.     Tihoo Hooin
Pengadilan Negeri, merupakan lanjutan dari Lanraad.
5.     Kooto Hooin
Pengadilan Tinggi, merupakan lanjutan dari Raad van Justisie.
6.     Saikoo Hooin
Mahkamah Agung, merupakan lanjutan dari Hooggerechtshof.
Masa pemerintahan Jepang ini menghapuskan dualisme di dalam peradilan dengan Osamu Seirei 1944 No.2 ditetapkan bahwa Tihoo Hooin merupakan pengadilan buat segala golongan penduduk, dengan menggunakan hukum acara HIR.
iv.   Masa Kemerdekaan Republik Indonesia
a.  1945-1949
Pasal II Aturan Peralihan UUD’45 menetapkan bahwa: segala badan negara dan peraturan yang ada masih lansung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Hal ini berarti bahwa semua ketentuan badan pengadilan yang berlaku akan tetap berlaku sepanjang belum diadakan perubahan.
Dengan adanya Pemerintahan Pendudukan Belanda di sebagian wilayah Indonesia maka Belanda mengeluarkan peraturan tentang kekuasaan kehakiman  yaitu Verordening No. 11 tahun 1945 yang menetapkan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilakukan oleh Landgerecht dan Appelraad dengan menggunakan HIR sebagai hukum acaranya.
Pada masa ini juga dikeluarkan UU UU No.19 tahun 1948 tentang Peradilan Nasional yang ternyata belum pernah dilaksanakan[7].
b.  1949-1950
Pasal 192 Konstitusi RIS menetapkan bahwa Landgerecht diubah menjadi Pengadilan Negeri dan Appelraad diubah menjadi Pengadilan Tinggi
c.  1950-1959
Adanya UU Darurat No.1 tahun 1951 yang mengadakan unifikasi susunan, kekuasaan, dan acara segala Pengadilan Negeri dan segala Pengadilan Tinggi di Indonesia dan juga menghapuskan beberapa pengadilan termasuk pengadilan swapraja dan pengadilan adat.
d.  1959 sampai sekarang terbitnya UU No. 14 Tahun 1970
Pada masa ini terdapat adanya beberapa peradilan khusus di lingkungan pengadilan Negeri yaitu adanya Peradilan Ekonomi (UU Darurat No. 7 tahun 1955), peradilan Landreform (UU No. 21 tahun 1964). Kemudian pada tahun 1970 ditetapkan UU No 14 Tahun 1970 yang dalam Pasal 10 menetapkan bahwa ada 4 lingkungan peradilan yaitu: peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa:
-         sejarah terbentuknya Pengadilan Nesgeri di Indonesia sangat panjang namun dalam makalah ini penulis membatasi penelitian pada masa sebelum pemerintahan Belanda. Pada masa tersebut tata hukum di Indonesia mendapatkan pengaruh dari hukum agama yaitu Hindu dan Islam serta hukum adat;
-         Pada  masa pemerintahan Belanda system pengadilan di Indonesia dibeda-bedakan berdasarkan pasal 163 IS (Indische Staatsregeling),yaitu[8]: golongan penduduk Eropa, golongan penduduk Timur Asing dan golongan penduduk Indonesia dengan peradilan yang berbeda-beda pula. Pada masa Jepang menghapuskan dualisme di dalam peradilan dengan Osamu Seirei 1944 No.2;
-         Setelah Indonesia merdeka barulah usaha-usaha untuk mengadakan unifikasi terhadap peradilan dapat terwujud dengan adanya  UU Darurat No.1 tahun 1951.

DAFTAR PUSTAKA


Amin, SM. Hukum Acara Pengadilan Negeri. Cet.2. Djakarta: Pradnya Paramitha, 1971.
Mertokusumo, Sudikno. Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942. Cet.2. Yogyakarta: Liberty, 1983.
__________. Hukum Acara Perdata Indonesia. ed.4. Yogyakarta: Liberty, 1993.
Leihitu, S. Izaac, Achmad, Fatimah. Intisari Hukum Acara Perdata. Cet.1. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.
Tresna, R. Peradilan di Indonesia Dari Abad ke Abad. Cet.3. Jakarta: Pradnya Paramita, 1978.

[1]     Sudikno Mertokusumo,  Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia sejak 1942, cet.2, Yogyakarta : Liberty, 1983, hal. 3.[2]     _______, Hukum Acara Perdata IndonesiaI, cet.1 , Yogyakarta: Liberty,  1993, hal.1.[3] Tresna, Peradilan di Indonesia dari abad ke abad, cet. 3, Jakarta; Pradnya Paramita, 1978, hal. 16.[4]   Ibid. [5] Ibid.
[6]  Sudikno Mertokusumo,  Op. Cit. hal.10.
[7]  Ibid, hal. 44.
[8] M. Karyadi, Reglement Indonesia yang Diperbaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), Bogor: Politiea, 1992, hal. 3.
SEKILAS TENTANG PERIKATAN

“Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu[1]
Suatu perikatan dapat lahir karena perjanjian ataupun karena undang-undang[2]. Suatu perikatan yang  bersumberkan dari perjanjian lahir karena hal tersebut memang dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian sedangkan perikatan yang bersumberkan dari undang-undang lahir karena kehendak pembuat undang-undang dan diluar kehendak para pihak yang bersangkutan.
Sedangkan perikatan yang bersumberkan dari undang-undang dapat dibedakan lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang yang berhubungan dengan perbuatan orang dimana undang-undang yang bersumberkan dari perbuatan yang berhubungan dengan perbuatan orang dibedakan lagi menjadi perbuatan yang halal dan perbuatan melanggar hukum[3]
“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal[4]”.
Perjanjian dapat berupa lisan atau tulisan namun pada masa ini untuk kepentingan para pihak dan untuk mengurangi kemungkinan adanya kesulitan dalam proses pembuktian apabila di kemudian hari terjadi sengketa, dalam membuat suatu perjanjian biasanya dilakukan secara tertulis dalam bentuk kontrak yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan.
ASAS PERJANJIAN
Dalam hukum kontrak dikenal tiga asas yang satu dengan lainnya saling berkaitan, yakni asas konsensualisme (the principle of consensualism), asas kekuatan mengikatnya kontrak (the principle of binding force of contract), dan asas kebebasan berkontrak (the principle of freedom of contract)[5].
Asas konsensualisme ialah bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan[6].
Ridwan Khairandy dalam disertasinya menyatakan bahwa asas konsensualisme berkaitan dengan penghormatan martabat manusia[7] karena dengan adanya consensus atau kesepakatan yang berasal dari perkataan seseorang maka ada kepercayaan bahwa seseorang tersebut akan memenuhinya dan perkataan seseorang yang bisa dipercaya itulah yang berkaitan dengan penghormatan terhadap martabat manusia.
Asas kebebasan berkontrak diatur dalam pasal 1388 ayat 1 KUH Perdata yang berbunyi:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Berarti bahwa para pihak diberi kebebasan untuk membuat perjanjian sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Berdasarkan asas tersebut para pihak bebas untuk menentukan isi perjanjian, bentuk perjanjian maupun klausula-klausula yang ada dalam perjanjian yang mereka buat.
Kebebasan dalam asas kebebasan berkontrak ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia[8]. Dan perjanjian yang mereka buat mempunyai kekuatan mengikat seperti undang-undang bagi mereka yang membuatnya, (Pacta Sunt Servanda) inilah yang dimaksud dengan asas kekuatan mengikatnya kontrak, seperti diatur dalam Pasal 1338 ayat 2 KUH Perdata yang berbunyi:
“Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau oleh karena alasan-alasan yang oleh undnag-undang dinyatakan cukup untuk itu”
Jadi asas tersebut menyatakan bahwa suatu perjanjian haruslah dipenuhi oleh para pihak karena perjanjian adalah undang-undang bagi para pihak kecuali apabila para pihak tersebut sepakat untuk tidak memenuhi perjanjian tersebut.
Namun kebebasan dalam asas kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan yang tanpa batas karena suatu perjanjian harus memenuhi syarat sah perjanjian, sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata bahwa:
“untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
  1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan
  3. suatu hal tertentu
  4. suatu sebab yang halal”
Keempat syarat tersebut apabila dijabarkan adalah:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Seseorang dikatakan telah memberikan persetujuannya/ sepakatnya (toestemming), kalau orang memang menghendaki apa yang disepakati maka sepakat sebenarnya merupakan pertemuan antara dua kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain[9]
Sedangkan dalam membuat sepakat berarti bahwa para pihak yang membuat perjanjian setuju terhadap isi perjanjian tanpa adanya tanpa adanya kekhilafan, paksaan atau peneipuan, sebagaimana diatur dalam pasal 1321 KUH Perdata yang berbunyi:
“Tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
2.  Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Dalam membuat suatu perjanjian seseorang harus cakap menurut hukum.
Pasal 1321 KUH Perdata:
“Setiap orang adalah untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”
Sedangkan yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap diatur dalam pasal 1330 KUH Perdata:
“Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
  1. orang-orang yang belum dewasa
Pasal 1330 KUH Perdata mengatur bahwa:
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum kawin”
  1. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
Pasal 433 KUH Perdata mengatur bahwa:
“orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang yang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap dan karena keborosannya”
  1. orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undag-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu (ketentuan no 3 ini telah dihapus oleh Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 1963)
3. Suatu hal tertentu;
Pasal 1330 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa:
”Suatu perjanjian harus mempunyai sebagian pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya” jadi suatu perjanjian harus mempunyai obyek dari perjanjian, barang tersebut haruslah ditentukan jenisnya”
Pasal 1332 KUH Perdata mengatur bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok dalam suatu perjanjian
4.Suatu sebab yang halal”
Merupakan isi dari perjanjian, sebab itu adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang termaksud[10].
Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa:
“Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”
Pasal 1336 :
“Jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab lain daripada yang dinyatakan, perjanjiannya namun demikian adalah sah”
Sedangkan ketentuan mengenai sebab yang halal diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata:
“Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”
Jadi pada dasarnya dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu sebab yang halal berarti tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Syarat pertama dan kedua yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan merupakan syarat subjektif karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian dan apabila dilanggar maka perjanjian dapat dibatalkan sedangkan syarat ketiga dan keempat tentang suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal merupakan syarat objektif karena mengenai objek dari perjanjian yang apabila dilanggar perjanjian akan batal demi hukum.
UNSUR PERJANJIAN
Pada dasarnya dalam suatu perjanjian dapat terbagi menjadi tiga unsur, yaitu essensialia, naturalia dan accidentalia[11].
Unsur esensialia merupakan unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian. Merupakan sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta (constructieve oordel)[12] karena unsur esensialia berkaitan dengan isi dari perjanjian merupakan salah satu dari syarat sah perjanjian yaitu hal tertentu. Tanpa adanya unsur ini maka suatu perjanjian menjadi batal demi hukum.
Unsur Naturalia merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacat dalam benda yang dijual (vrijwaring)[13].
Unsur aksidentalia merupakan sifat yang melekat pada perjanjian dalam hal secara tegas diperjanjikan oleh para pihak, seperti ketentuan-ketentuan mengenai domisili para pihak, dan juga pilihan penyelesaian sengketa.


[1] Subekti, Hukum Perjanjian, Cet.18.Jakarta: PT Intermasa, 2001, hal.1
[2] Kitab Undang-Undang hukum Perdata, diterjemahkan oleh R. Subekti, Jakarta: Pradnya Paramita, 1995, Pasal 1233.
[3]Subekti, op., cit.
[4] Ibid. hal.2.
[5]Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta: Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003, hal.27
[6]Subekti, op., cit. hal. 15.
[7]Khairandy, Op., cit. hal. 27.
[8] Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001, hal.84.
[9] J. Satrio, Hukum Perjanjian, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992, hal.128.
[10] Subekti, Op., cit. hal. 19.
[11]R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan,Bandung: Binacipta, 1987, hal.50.
[12] Badrulzaman, op., cit. hal. 74
[13] Ibid.

Posted in CatatanCatatanTentangHukum | 1 Comment »

SEJARAH TERBENTUKNYA PENGADILAN NEGERI DI INDONESIA (Sebelum terbentuknya UU No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman)

Written by disriani.latifah on September 30, 2009 – 10:02 am -


SEJARAH TERBENTUKNYA PENGADILAN NEGERI DI INDONESIA
(Sebelum terbentuknya UU No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman)
A. Latar belakang
Menurut Sudikno Mertokusumo peradilan adalah segala sesuatu yang bertalian dengan tugas hakim dalam memutus perkara, baik perkara perdata maupun perkara pidana untuk mempertahankan atau atau menjamin ditaatinya hukum materil[1]. Sedangkan hukum materil merupakan pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat dalam masyarakat yang pada hakekatnya bertujuan untuk melindungai kepentingan orang lain[2]. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsi pengadilan sangat penting sebagai tempat untuk menegakkan hukum.
Sejarah terbentuknya pengadilan di Indonesia sangat panjang dan banyak mengalami perubahan sebelum menjadi seperti yang sekarang ini, dimulai dari masa sebelum  pemerintahan Belanda sampai Indonesia merdeka. Hal tersebut membuat penulis tertarik untuk meneliti dan menelusuri sejarah terbentuknya Pengadilan Negeri di Indonesia.

B. Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang ingin penulis bahas adalah bagaimanakah sejarah terbentuknya Pengadilan Negeri di Indonesia?

C. Metode Historis

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan dimana data diperoleh dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka hukum, dengan menganalisa bahan-bahan yang menguraikan mengenai sejarah peradilan di Indonesia terutama Pengadilan Negeri, menganalisa undang-undang yang berkaitan dengan hal tersebut yaitu undang-undang tentang kekuasaan kehakiman dan tentang peradilan umum.
D. SEJARAH TERBENTUKNYA PENGADILAN NEGERI DI INDONESIA
i.        Masa sebelum pemerintahan Hindia-Belanda.
Pada masa sebelum pemerintahan Hindia-belanda di Indonesia, tata hukum di Indonesia mendapatkan pengaruh dari hukum agama yaitu Hindu dan Islam serta hukum adat. Pengaruh agama Hindu tersebut dapat dilihat pada sistem peradilannya dimana dibedakan antara perkara Pradata dan perkara Padu[3]. Perkara Pradata adalah perkara yang menjadi urusan peradilan raja yang diadili oleh raja sendiri yaitu perkara yang membahayakan mahkota, kemanan dan ketertiban negara, hukum Pradata ini bersumber dari hukum Hindu dimana Raja adalah pusat kekuasaan[4] sedangkan perkara Padu adalah perkara mengenai kepentingan rakyat perseorangan, perkara ini diadili oleh pejabat negara yang disebut jaksa[5].
ii.   Masa pemerintahan Hindia-Belanda
     Pada tahun 1602 Belanda mendirikan suatu perserikatan dagang untuk Timur-jauh yang dinamakan VOC (De Vereenigde Oost-Indische Compagnie) dengan tujuannya untuk berniaga, maka melalui VOC tersebut Belanda masuk ke Indonesia.
Jan Pieterszoon Coen pada tanggal 30 Mei 1619 berhasil membuat Sultan Banten menyerahkan daerahnya kepada Kompeni. Pada tanggal 26 Maret 1620 dibuat resolusi yang mengangkat seorang Baljuw sebagai opsir justisi dan kepala kepolisian lalu pada tanggal 24 Juni 1620 dibentuk suatu mejelis pengadilan di bawah pimpinan Baljauw yang dinamakan College van Schepennen disebut schepenbank untuk mengadili segala penduduk kota bangsa apapun kecuali pegawai dan serdadu Kompeni yang akan diadili oleh Ordinaris luyden van den gerechte in het Casteel yang pada 1626 diubah menjadi Ordinaris Raad van Justisie binnen het casteel Batavia, disebut sebagai Raad van Justisie.
Sejak tahun 1684 VOC banyak mengalami kemunduran ditambah dengan adanya pergeseran politik Eropa yang mengakibatkan berubahnya situasi politik di Belanda, hal tersebut mengakibatkan dihentikannya VOC dan pada tahun 1806 Belanda menjadi kerajaan di bawah Raja Lodewijk Napoleon yang kemudian mengangkat Mr. Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal yang menetapkan charter untuk daerah jajahan di Asia dimana dalam Pasal 86 charter tersebut berisi bahwa susunan pengadilan untuk bangsa Bumiputera akan tetap berdasarkan hukum serta adat mereka.
a.  Masa pemerintahan Inggris
Setelah kekuasaan Hindia-Belanda pada 1811 dipatahkan oleh Inggris maka Sir Thomass Stamford Raffles diangkat menjadi Letnan Jenderal untuk P. Jawa dan wilayah di bawahnya (Palembang, Banjarmasin, Makasar, Madura dan kepulauan Sunda-kecil). Ia mengeluarkan maklumat tanggal 27 Januari 1812 yang berisi bahwa susunan pengadilan untuk bangsa Eropa berlaku juga untuk bangsa Indonesia yang tinggal di dalam lingkungan kekuasaan kehakiman kota-kota (Batavia, Semarang dan Surabaya) dan sekitarnya jadi pada jaman rafles ini ada perbedaan antara susunan pengadilan untuk bangsa Indonesia yang tinggal di kota-kota dan di pedalaman atau desa-desa.
b.        Masa kembalinya pemerintahan Hindia-Belanda
Berakhirnya peperangan di Eropa mengakibatkan daerah jajahan Belanda yang dikuasai Inggris akan dikembalikan kepada Belanda (Conventie London 1814).
Pada masa ini Pemerintah Hindia-Belanda berusaha untuk mengadakan peraturan-peraturan di lapangan peradilan sampai pada akhirnya pada 1 Mei 1848 ditetapkan Reglement tentang susunan pengadilan dan kebijaksanaan kehakiman 1848 (R.O), dalam R.O ada perbedaan keberlakuan pengadilan antara bangsa Indonesia dengan golongan bangsa Eropa diama dalam Pasal 1 RO disebutkan ada 6 macam pengadilan:
1.     districtsgerecht
Mengadili perkara perdata dengan orang Indonesia asli sebagai tergugat dengan nilai harga di bawah f20-.
2.     regenschapgerecht
Mengadili perkara perdata untuk orang Indonesia asli dengan nilai harga f.20-f.50 dan sebagai pengadilan banding untuk keputusan-keputusan districtsgerecht.
3.     landraad
merupakan pengadilan sehari-hari biasa untuk orang Indonesia asli dan dengan pengecualian perkara-perkara perdata dari orang-orang Tionghoa – orang-orang yang dipersamakan hukumnya dengan bangsa Indonesia, juga di dalam perkara-perkara dimana mereka ditarik perkara oleh orang-orang Eropa atau Tionghoa selain itu landraad juga berfungsi sebagai pengadilan banding untuk perkara yang diputuskan oleh regenschapgerecht sepanjang dimungkinkan banding.
4.     rechtbank van omgang diubah pada 1901 menjadi residentiegerecht dan pada 1914 menjadi landgerecht.
Mengadili dalam tingkat pertama dan terahir dengan tidak membedakan bangsa apapun yang menjadi terdakwa.
5.     raad van justisie
Terdapat di Jakarta, Semarang dan Surabaya untuk semua bangsa sesuai dengan ketentuan.
6.     hooggerechtshof
Merupakan pengadilan tingkat tertinggi dan berada di Jakarta untuk mengawasi jalannya peradilan di seluruh Indonesia.
iii.    Masa pemerintahan Jepang
Masa pemerintahan Jepang di Indonesia dimulai pada 8 Maret 1942 dengan menyerahnya Jendral Ter Poorten[6], untuk sementara Jepang mengeluarkan Undang-undang Balatentara Jepang tanggal 8 Maret No.1 yang menyatakan bahwa segala undang-undang dan peraturan-peraturan dari pemerintah Hindia-Belanda dulu terus berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan Balatentara Jepang. Untuk proses peradilan Jepang menetapkan UU 1942 No. 14 tentang Peraturan Pengadilan Pemerintah Balatentara Dai-Nippon, dimana dengan UU ini didirikan pengadilan-pengadilan yang sebenarnya merupakan lanjutan dari pengadilan–pengadilan yang sudah ada:
1.     Gun Hoon
Pengadilan Kawedanan, merupakan lanjutan dari districtsgerecht.
2.     Ken Hooin
Pengadilan kabupaten, merupakan lanjutan dari regenschapsgerecht.
3.     Keizai Hooin
Pengadilan kepolisian, merupakan lanjutan dati Landgerecht.
4.     Tihoo Hooin
Pengadilan Negeri, merupakan lanjutan dari Lanraad.
5.     Kooto Hooin
Pengadilan Tinggi, merupakan lanjutan dari Raad van Justisie.
6.     Saikoo Hooin
Mahkamah Agung, merupakan lanjutan dari Hooggerechtshof.
Masa pemerintahan Jepang ini menghapuskan dualisme di dalam peradilan dengan Osamu Seirei 1944 No.2 ditetapkan bahwa Tihoo Hooin merupakan pengadilan buat segala golongan penduduk, dengan menggunakan hukum acara HIR.
iv.   Masa Kemerdekaan Republik Indonesia
a.  1945-1949
Pasal II Aturan Peralihan UUD’45 menetapkan bahwa: segala badan negara dan peraturan yang ada masih lansung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Hal ini berarti bahwa semua ketentuan badan pengadilan yang berlaku akan tetap berlaku sepanjang belum diadakan perubahan.
Dengan adanya Pemerintahan Pendudukan Belanda di sebagian wilayah Indonesia maka Belanda mengeluarkan peraturan tentang kekuasaan kehakiman  yaitu Verordening No. 11 tahun 1945 yang menetapkan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilakukan oleh Landgerecht dan Appelraad dengan menggunakan HIR sebagai hukum acaranya.
Pada masa ini juga dikeluarkan UU UU No.19 tahun 1948 tentang Peradilan Nasional yang ternyata belum pernah dilaksanakan[7].
b.  1949-1950
Pasal 192 Konstitusi RIS menetapkan bahwa Landgerecht diubah menjadi Pengadilan Negeri dan Appelraad diubah menjadi Pengadilan Tinggi
c.  1950-1959
Adanya UU Darurat No.1 tahun 1951 yang mengadakan unifikasi susunan, kekuasaan, dan acara segala Pengadilan Negeri dan segala Pengadilan Tinggi di Indonesia dan juga menghapuskan beberapa pengadilan termasuk pengadilan swapraja dan pengadilan adat.
d.  1959 sampai sekarang terbitnya UU No. 14 Tahun 1970
Pada masa ini terdapat adanya beberapa peradilan khusus di lingkungan pengadilan Negeri yaitu adanya Peradilan Ekonomi (UU Darurat No. 7 tahun 1955), peradilan Landreform (UU No. 21 tahun 1964). Kemudian pada tahun 1970 ditetapkan UU No 14 Tahun 1970 yang dalam Pasal 10 menetapkan bahwa ada 4 lingkungan peradilan yaitu: peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa:
-         sejarah terbentuknya Pengadilan Nesgeri di Indonesia sangat panjang namun dalam makalah ini penulis membatasi penelitian pada masa sebelum pemerintahan Belanda. Pada masa tersebut tata hukum di Indonesia mendapatkan pengaruh dari hukum agama yaitu Hindu dan Islam serta hukum adat;
-         Pada  masa pemerintahan Belanda system pengadilan di Indonesia dibeda-bedakan berdasarkan pasal 163 IS (Indische Staatsregeling),yaitu[8]: golongan penduduk Eropa, golongan penduduk Timur Asing dan golongan penduduk Indonesia dengan peradilan yang berbeda-beda pula. Pada masa Jepang menghapuskan dualisme di dalam peradilan dengan Osamu Seirei 1944 No.2;
-         Setelah Indonesia merdeka barulah usaha-usaha untuk mengadakan unifikasi terhadap peradilan dapat terwujud dengan adanya  UU Darurat No.1 tahun 1951.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, SM. Hukum Acara Pengadilan Negeri. Cet.2. Djakarta: Pradnya Paramitha, 1971.
Mertokusumo, Sudikno. Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942. Cet.2. Yogyakarta: Liberty, 1983.
__________. Hukum Acara Perdata Indonesia. ed.4. Yogyakarta: Liberty, 1993.
Leihitu, S. Izaac, Achmad, Fatimah. Intisari Hukum Acara Perdata. Cet.1. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.
Tresna, R. Peradilan di Indonesia Dari Abad ke Abad. Cet.3. Jakarta: Pradnya Paramita, 1978.

[1]     Sudikno Mertokusumo,  Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia sejak 1942, cet.2, Yogyakarta : Liberty, 1983, hal. 3.[2]     _______, Hukum Acara Perdata IndonesiaI, cet.1 , Yogyakarta: Liberty,  1993, hal.1.[3] Tresna, Peradilan di Indonesia dari abad ke abad, cet. 3, Jakarta; Pradnya Paramita, 1978, hal. 16.[4]   Ibid. [5] Ibid.
[6]  Sudikno Mertokusumo,  Op. Cit. hal.10.
[7]  Ibid, hal. 44.
[8] M. Karyadi, Reglement Indonesia yang Diperbaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), Bogor: Politiea, 1992, hal. 3.

Tags:
Posted in CatatanCatatanTentangHukum, HukumAcaraPerdata | No Comments »

KEDUDUKAN GUARANTOR DALAM KEPAILITAN

Written by disriani.latifah on June 9, 2009 – 10:21 am -



KEDUDUKAN GUARANTOR DALAM KEPAILITAN

LATAR BELAKANG

Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditur perlu untuk mengantisipasi kemungkinan debitur tidak dapat membayar utangnya sehingga pihak kreditur, misalnya bank dalam memberikan kredit atau utang selalu mensyaratkan adanya jaminan. Hal ini perlu untuk mencegah atau mengurangi resiko kerugian yang mungkin akan dialami kreditur.
Definisi tentang jaminan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) ternyata tidak dirumuskan secara tegas, KUHPerdata hanya memberikan perumusan secara Jaminan secara umum yang diatur dalam pasal 1131 KUHPerdata, yaitu segala kebendaan seseorang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Namun jaminan secara umum ini masih dirasakan kurang memadai oleh kreditur sehingga seringkali kreditur meminta diberikan jaminan khusus.
Jaminan khusus dapat berupa jaminan kebendaan dan jaminan perorangan (borgtocht). Pada jaminan kebendaan, si debitur/yang berhutang memberi jaminan benda kepada kreditur, sebagai jaminan atas hutang yang dipinjam
debitur[1].
Jadi apabila debitur tidak membayar hutangnya pada saat jatuh tempo maka pihak kreditur dapat menuntut eksekusi atas benda yang telah dijaminkan oleh debitur tersebut untuk melunasi hutangnya. Sedangkan dalam jaminan perorangan atau borgtocht ini jaminan yang diberikan oleh debitur bukan berupa benda melainkan berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga (penjamin/guarantor) yang tak mempunyai kepentingan apa-apa baik terhadap debitur maupun terhadap kreditur, bahwa debitur dapat dipercaya akan melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan; dengan syarat bahwa apabila debitur tidak melaksanakan kewajibannya maka pihak ketiga itu bersedia untuk melaksanakan kewajiban debitur tersebut[2].
Dengan adanya jaminan perorangan maka pihak kreditur dapat menuntut kepada penjamin untuk membayar hutang debitur bila debitur lalai atau tidak mampu untuk membayar hutangnya tersebut.

POKOK PERMASALAHAN
Dapatkah seorang penjamin lansung digugat oleh kreditur apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya itu? dapatkah seorang penjamin dimohonkan pailit apabila ternyata debitur tidak mampu atau hartanya tidak cukup untuk membayar hutangnya atau ternyata debitur telah dinyatakan pailit oleh kreditur lain?

KEPAILITAN

Peraturan mengenai kepailitan pada awalnya diatur oleh Failliessement Verordening, Staatsblad 1905-217 jo 1906-348, namun peraturan tersebut sudah tidak mampu lagi memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi di bidang perekonomian terutama dalam menyelesikan masalah hutang-piutang, untuk itu perlu dilakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap peraturan Faillissement Verordening tersebut dengan ditetapkannya Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan tanggal 22 April 1998 yang kemudian menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Undang-Undang Kepailitan (UUK) pada tanggal 9 September 1998  dan dengan berlakunya UUK ini berarti pemerintah telah memenuhi salah satu persyaratan yang diminta oleh krediur-kreditur luar negeri (baca Dana Moneter Internasional/International Monetary Fund), agar para kreditur luar negeri memperoleh jaminan kepastian hukum[3]. Kemudian Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Undang-Undang Kepailitan (UUK) disempurnakan menjadi Undang-Undang No 37 Tahun 2002 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Penundaan Pembayaran Utang (UUKPKPU).
Istilah kepailitan yang digunakan di Indonesia berasal dari kata pailit yang bersumber dari bahasa Belanda yaitu failliet yang berarti kebangkrutan, bangkrut[4] dan faillissement untuk istilah  kepailitan yang berarti keadaan bangkrut[5]. Sedangkan dalam bahasa Inggris untuk istilah pailit dan kepailitan digunakan istilah bankrupt dan bankruptcy.
Menurut Prof. Subekti, S.H., pailisemen itu adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran bagi semua orang berpiutang secara adil[6].
Menurut Prof.Dr. Soekardono , kepailitan adalah penyitaan umum atas kekayaan si pailit bagi kepentingan semua penagihnya,  sehingga Balai Harta Peninggalanlah yang ditugaskan dengan pemeliharaan serta pemberesan boedel dari orang yang pailit[7]
Dalam pasal 1 Faillissement Verordening tidak memberikan definisi tentang failisemen dan hanya memberikan syarat untuk pengajuan permintaan failisemen, yaitu bahwa seseorang telah berhenti membayar. Berhenti membayar ialah kalau debitur sudah tidak mampu membayar atau tidak mau membayar, dan tidak usah benar-benar ‘telah berhenti sama sekali untuk membayar, tetapi apabila dia pada waktu diajukan permohonan failit berada dalam keadaan tidak dapat membayar utang tersebut’ (Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 171/1973/Perd./PTB.tanggal 31 Juli 1973)[8], namun pada hakekatnya failisemen adalah suatu sita umum yang bersifat conservatoir dan pihak yang dinyatakan failit hilang penguasaannya atas harta bendanya, penyelesaian failit diserahkan kepada seorang kurator yang dalam melaksanakan tugasnya diawasi oleh seorang hakim komisaris, yaitu seorang hakim pengadilan yang ditunjuk[9].
Menurut pasal 1 angka 1 UUKPKPU, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini sedangkan pengertian debitur berdasarkan pasal 2 ayat (1) UUKPKPU adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan  baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seseorang atau lebih krediturnya.
Jadi berdasarkan hal tersbut  dapat disimpulkan bahwa dalam kepailitan ada unsur-unsur:
-         adanya keadaan ‘berhenti membayar’ atas suatu utang,
-         adanya permohonan pailit,
-         adanya pernyataan pailit (oleh Pengadilan Niaga)
-         adanya sita dan eksekusi atas harta kekayaan pihak yang dinyatakan pailit (debitur),
-         yang dilakukan oleh pihak yang berwenang,
-         semata-mata untuk kepentingan kreditur.

HUBUNGAN ANTARA KEPAILITAN DAN GUARANTOR

Berdasarkan pasal 1820 KUHPerdata,  borgtocht atau penanggungan adalah suatu perjanjian dimana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang/kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang/debitur manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya. Dapat disimpulkan bahwa penanggungan adalah jaminan yang:
-            Diberikan oleh pihak ketiga
-            Guna kepentingan kreditur, yaitu
-            Untuk memenuhi kewajiban debitur manakala ia sendiri tidak memenuhinya
Berdasarkan pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, yang dapat dinyatakan pailit atau syarat-syarat pailit adalah:
-            Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur,
-            Debitur tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Hubungan antara borgtocht dengan hukum kepailitan terjadi apabila ada permohonan pernyataan pailit terhadap borg/penjamin/guarantor.

DAPATKAH SEORANG BORG/ PENJAMIN/ GUARANTOR DIPAILITKAN

Berdasarkan pasal 1 angka 1 dan pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, syarat untuk dapat dipailitkan adalah seorang debitur, maka yang perlu dibahas adalah apakah seorang penjamin adalah debitur, sehingga kepadanya dapat dimohonkan pailit.
Masalah apakah seorang penjamin adalah debitur merupakan hal sangat penting apabila ingin memailitkan penjamin, hal ini dikarenakan yang dapat dipailitkan hanyalah debitur, yaitu debitur yang mempunyai dua atau lebih krediur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Maka syarat utama apabila ingin memailitkan penjamin adalah pemohon harus dapat membuktikan bahwa status penjamin telah beralih menjadi debitur, karena hanya debitur yang dapat dipailitkan, setelah itu barulah pemohon harus membuktikan bahwa debitur mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, setelah terbukti barulah debitur dapat dinyatakan pailit.
Untuk menjawab permasalahan tersebut maka dipaparkan beberapa pendapat ahli dan yurisprudensi yang berkaitan dengan permasalahan, yaitu:
Pendapat Elijana S., S.H. [10]
(Hakim Tinggi pada Mahkamah Agung Republik Indonesia)
…yang dapat  dipailitkan  adalah seorang debitur. Guarantor adalah debitur apabila debitur lalai atau cidera janji, jadi seorang guarantor  dapat saja dipailitkan, maka yang menjadi permasalahan adalah kapan seorang penjamin dapat dimohonkan pailit?
-            Untuk guarantor yang tidak melepaskan hak-hak istimewanya maka kreditur harus menggugat debitur utama terlebih dahulu, setelah harta debitur utama disita dan dilelang tetapi tidak cukup utangnya untuk melunasi seluruh utangnya jadi masih ada sisa utang yang belum terbayar atau telah terbukti debitur utama telah tidak mempunyai harta apapun lagi atau debitur utama telah dinyatakan pailit oleh kreditur lain, baru kemudian kreditur dapat menagih utang debitur baru kemudian kreditur dapat menagih utang debitur utama kepada guarantor. Apabila guarantor setelah ditagih  tidak mau membayar maka dapat diajukan permohonan kepailitan, untuk kreditur pemohon harus dapat membuktikan bahwa:
1.Kreditur pemohon telah menagih/menggugat debitur  utama terlebih dahulu tetapi ternyata:
-         debitur utama tidak mempunyai harta sama sekali
-            harta debitur utama tidak cukup untuk melunasi utangnya.
-            debitur utama dalam keadaan pailit.
2.Guarantor sebagai debitur mempunyai lebih dari 1    kreditur.
3.Bahwa salah satu utang tersebut telah jatuh waktu
dan dapat ditagih.
-            Untuk guarantor yang telah melepaskan hak-hak istimewanya, terutama untuk guarantor yang telah menyatakan dirinya bertanggung jawab renteng  dengan debitur utama terhadap utang debitur utama kepada kreditur maka kreditur dapat lansung mengajukan permohonan kepailitan terhadap guarantor tersebut dengan mengajukan sebagai bukti:
1.     Surat perjanjian kredit
2.     Surat perjanjian penanggungan dimana guarantor telah melepaskan hak-hak istimewanya dan menyatakan bertanggung jawab renteng dengan debitur utama.
3.     Guarantor termohon pailit mempunyai utang pada kreditur lain.
4.     Salah satu utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih tetapi guarantor sebagai pihak yang bertanggung jawab renteng dengan debitur utama terhadap utang tersebut, tetap tidak dibayar.
Jadi: “ …Guarantor baik itu Personal atau Coorporate Guarantor dapat dipailitkan hanya kapan, dalam hal apa juga bagaimana caranya harus diperhatikan dan dipenuhi agar Permohonanan Pernyataan Pailit terhadap Guarantor dapat dikabulkan.” 

Pendapat Denny Kailimang, S.H[11]
Sebagai debitur, Penanggung/Guarantor dapat saja dipailitkan dengan syarat Penanggung/Guarantor mempunyai lebih dari 1 kreditur, berarti selain mempunyai kewajiban membayar utang kepada kreditur (pemohon pailit) juga mempunyai utang kepada kreditur lainnya dan salah utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.”
Pendapat Yahya Harahap[12]
Borg atau Guarantor menurut pasal 1820 KUH Perdata, bukan debitur. Tetapi hanya seseorang yang mengikat diri untuk memenuhi perikatan apabila debitur sendiri tidak memenuhi. Dalam kedudukan perikatan yang demikian baik secara teknis dan subtantif, penjamin bukan berubah menjadi debitur. Kedudukannya secara yuridis telah dilembagakan secara murni dalam bentuk BORGTOCHT.” 

Tidak ada dasar hukum untuk menuntut dan menempatkan seorang guarantor dalam keadaan pailit…pada prinsipnya sifat BORGTOCHT, hanya menempatkan guarantor menanggung pembayaran yang akan dilaksanakan debitur, oleh karena itu yang memikul pembayaran utang yang sebenarnya tetap berada pada diri debitur. Pada saat Guarantor berada dalam keadaan tidak mampu kedudukannya sebagai penjamin harus diakhiri dan menggantinya dengan penjamin baru.”
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa ternyata para ahli juga mempunyai perbedaan pendapat mengenai permasalahan dapatkah seorang guarantor dipailitkan. Menurut pendapat penulis, status penjamin dapat beralih menjadi debitur apabila dalam perjanjian penanggungannya (borgtocht) penjamin tersebut telah secara tegas melepaskan hak istimewanya dan debitur utama tidak dapat memenuhi perjanjiannya, terhadap penjamin yang demikian kedudukannya adalah sebagai debitur sehingga kepadanya dapat dimohonkan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga.
DAFTAR PUSTAKA
Elijana S. “Proses Mengajukan Permohonan Pailit Terhadap Guarantor dan Holding Company”, Penyelesaian Utang-Piutang.
Harahap, M. Yahya. Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung:Alumni 1982).
Harahap, Yahya. “Masalah Pailit Dikaitkan dengan Guarantor”, makalah ,  Bukti T-3 dalam perkara No. 037/Pailit/2001/PN.Niaga/JKT.PST.
Kailimang,Denny. “Problematik yang Dihadapi  Debitur/Kreditur Berkaitan dengan Personal Guarantee atau Coorporate Guarantee Sehubungan dengan Gugatan Kepailitan, Penyelesaian Utang-Piutang.
Prodojhamidjojo, Martiman. Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan, (Jakarta: CV. Mandar Maju, 1999).
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1987).
Suherman, E. Faillissement (Kefailitan), (Bandung: Binacipta, 1988).
Soekardono. Hukum Dagang Indonesia Jilid 1, (Jakarta: Soeroenga, 1960).
Wojowasito, S. Kamus Umum Belanda-Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1985).


[1]  M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung:Alumni 1982), hal.315.

[2]               Ibid, hal.315.

[3]  Martiman Prodojhamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan, (Jakarta: CV. Mandar Maju, 1999), hal.1.

[4]   S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda-Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1985), hal.188.

[5]  Ibid.

[6]   Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1987), hal. 230.

[7]  Soekardono, Hukum Dagang Indonesia Jilid 1, (Jakarta: Soeroenga, 1960).

[8] E. Suherman, Faillissement (Kefailitan), (Bandung: Binacipta, 1988), hal.5.

[9]  Ibid.

[10]  Elijana S, “Proses Mengajukan Permohonan Pailit Terhadap Guarantor dan Holding Company”, Penyelesaian Utang-Piutang, Op. Cit., hal. 402.

[11]  Denny Kailimang, “Problematik yang Dihadapi  Debitur/Kreditur Berkaitan dengan Personal Guarantee atau Coorporate Guarantee Sehubungan dengan Gugatan Kepailitan, Penyelesaian Utang-Piutang, Op.Cit., hal 412.

[12]   Yahya Harahap, “Masalah Pailit Dikaitkan dengan Guarantor”, makalah ,  Bukti T-3 dalam perkara No. 037/Pailit/2001/PN.Niaga/JKT.PST.