Minggu, 30 Oktober 2011

HUKUM ASURANSI DIMATA ISLAM

Definisi asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan kepada nasabah/klien-nya (muamman) sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, Gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika terjadibencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari klien/nasabah tersebut (muamman) kepada perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya.
Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi.
Beberapa istilah asuransi yang digunakan antara lain:
A. Tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas harta benda
B. Penanggung, dalam hal ini Perusahaan Asuransi, merupakan pihak yang menerima premi asuransi dari Tertanggung dan menanggung risiko atas kerugian/musibah yang menimpa harta benda yang diasuransikan
ASURANSI KONVENSIONAL
A. Ciri-ciri Asuransi konvensional Ada beberapa ciri yang dimiliki asuransi konvensional, diantaranya adalah:
  • Akad asurab si konvensianal adalah akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua balah pihak, pihak penanggung dan pihak tertanggung. Kedua kewajiban ini adalah keawajiban tertanggung menbayar primi-premi asuransi dan kewajiban penanggung membayar uang asuransi jika terjadi perietiwa yang diasuransikan.
  • Akad asuransi ini adalah akad mu’awadhah, yaitu akad yang didalamnya kedua orang yang berakad dapat mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya.
  • Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada eaktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil.
  • Akad asuransi ini adalah akad idz’an (penundukan) pihak yang kuat adalah perusahan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung,
B. Asuransi dalam Sudut Pandang Hukum Islam Mengingat masalah asuransi ini sudah memasyarakat di Indonesia dan diperkirakan ummat Islam banyak terlibat di dalamnya, maka permasalahan tersebut perlu juga ditinjau dari sudut pandang agama Islam.
Di kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak Islami. Orang yang melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang mengingkari rahmat Allah. Allah-lah yang menentukan segala-segalanya dan memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun dibumi mealinkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (Q. S. Hud: 6)
“……dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)?……” (Q. S. An-Naml: 64)
“Dan kami telah menjadikan untukmu dibumi keperluan-keprluan hidup, dan (kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.” (Q. S. Al-Hijr: 20)
Dari ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan segala-galanya untuk keperluan semua makhluk-Nya, termasuk manusia sebagai khalifah di muka bumi. Allah telah menyiapkan bahan mentah, bukan bahan matang. Manusia masih perlu mengolahnya, mencarinya dan mengikhtiarkannya.
Melibatkan diri ke dalam asuransi ini, adalah merupakan salah satu ikhtiar untuk mengahadapi masa depan dan masa tua. Namun karena masalah asuransi ini tidak dijelaskan secara tegas dalam nash, maka masalahnya dipandang sebagai masalah ijtihadi, yaitu masalah yang mungkin masih diperdebatkan dan tentunya perbedaan pendapat sukar dihindari.
Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
I. Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa
Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth‘i (mufti Mesir”). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
  • Asuransi sama dengan judi
  • Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti.
  • Asuransi mengandung unsur riba/renten.
  • Asurnsi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi.
  • Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
  • Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
  • Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.
II. Asuransi konvensional diperbolehkan
Pendapat kedau ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari‘ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan:
  • Tidak ada nash (al-Qur‘an dan Sunnah) yang melarang asuransi.
  • Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
  • Saling menguntungkan kedua belah pihak.
  • Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
  • Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)
  • Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta‘awuniyah).
  • Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.
III. Asuransi yang bersifat sosial di perbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan
Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo).
Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh).
Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu.
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa masalah asuransi yang berkembang dalam masyarakat pada saat ini, masih ada yang mempertanyakan dan mengundang keragu-raguan, sehingga sukar untuk menentukan, yang mana yang paling dekat kepada ketentuan hukum yang benar.
Sekiranya ada jalan lain yang dapat ditempuh, tentu jalan itulah yang pantas dilalui. Jalan alternatif baru yang ditawarkan, adalah asuransi menurut ketentuan agama Islam.
Dalam keadaan begini, sebaiknya berpegang kepada sabda Nabi Muhammad SAW:
“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kamu (berpeganglah) kepada hal-hal yagn tidak meragukan kamu.” (HR. Ahmad)
Asuransi syariah
A. Prinsip-prinsip dasar asuransi syariah
Suatu asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
  • Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman,” Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
  • Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
  • Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
  • Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
  • Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
  • Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.
B. Ciri-ciri asuransi syari’ah Asuransi syariah memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah Sbb:
  • Akad asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan riba.
  • Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).
  • Dalam asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
  • Akad asuransi syari’ah bersih dari gharar dan riba.
  • Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.
C. Manfaat asuransi syariah. Berikut ini beberapa manfaat yang dapat dipetik dalam menggunakan asuransi syariah, yaitu:
  • Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara anggota.
  • Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam salimg tolong menolong.
  • Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.
  • Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian yang diderita satu pihak.
  • Juga meningkatkan efesiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu, dan biaya.
  • Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu, dan tidak perlu mengganti/ membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tertentu dan tidak pasti.
  • Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad.
  • Menutup Loss of corning power seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat berfungsi(bekerja).
Perbandingan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional.
A. Persamaan antara asuransi konvensional dan asuransi syari’ah. Jika diamati dengan seksama, ditemukan titik-titik kesamaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah, diantaranya sbb:
  • Akad kedua asuransi ini berdasarkan keridloan dari masing- masing pihak.
  • Kedua-duanya memberikan jaminan keamanan bagi para anggota
  • Kedua asuransi ini memiliki akad yang bersifad mustamir (terus)
  • Kedua-duanya berjalan sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak.
B. Perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syariah. Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal.
  • Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.
  • Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan).
  • Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
  • Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
  • Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
  • Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
Dari perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi konvensional tidak memenuhi standar syar’i yang bisa dijadikan objek muamalah yang syah bagi kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan syariat yang ada dalam asuransi tersebut.
Oleh karena itu hendaklah kaum muslimin menjauhi dari bermuamalah yang menggunakan model-model asuransi yang menyimpang tersebut, serta menggantinya dengan asuransi yang senafas dengan prinsip-prinsip muamalah yang telah dijelaskan oleh syariat Islam seperti bentuk-bentuk asuransi syariah yang telah kami paparkan di muka.
Selanjutnya, Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhut Al-Ilmiyah Wal Ifta [Komite Tetap Untuk Riset Ilmiyah dan Fatwa Saudi Arabia] mengeluarkan fatwa sebagai berikut :
Asuransi ada dua macam. Majlis Hai’ah Kibaril Ulama telah mengkajinya sejak beberapa tahun yang lalu dan telah mengeluarkan keputusan. Tapi sebagian orang hanya melirik bagian yang dibolehkannya saja tanpa memperhatikan yang haramnya, atau menggunakan lisensi boleh untuk praktek yang haram sehingga masalahnya menjadi tidak jelas bagi sebagian orang.
Asuransi kerjasama (jaminan sosial) yang dibolehkan, seperti ; sekelompok orang membayarkan uang sejumlah tertentu untuk shadaqah atau membangun masjid atau membantu kaum fakir. Banyak orang yang mengambil istilah ini dan menjadikannya alasan untuk asuransi komersil. Ini kesalahan mereka dan pengelabuan terhadap manusia.
Contoh asuransi komersil : Seseorang mengasuransikan mobilnya atau barang lainnya yang merupakan barang import dengan biaya sekian dan sekian. Kadang tidak terjadi apa-apa sehingga uang yang telah dibayarkan itu diambil perusahaan asuransi begitu saja. Ini termasuk judi yang tercakup dalam firman Allah Ta’ala “Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan” [Al-Maidah : 90]
Kesimpulannya, bahwa asuransi kerjasama (jaminan bersama/jaminan social) adalah sejumlah uang tertentu yang dikumpulkan dan disumbangkan oleh sekelompok orang untuk kepentingan syar’i, seperti ; membantu kaum fakir, anak-anak yatim, pembangunan masjid dan kebaikan-kebaikan lainnya.
Berikut ini kami cantumkan untuk para pembaca naskah fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhut Al-Ilmiyah wal Ifta (Komite Tetap Untuk Riset Ilmiyah dan Fatwa) tentang asuransi kerjasama (jaminan bersama).
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, para keluarga dan sahabatnya, amma ba’du.
Telah dikeluarkan keputusan dari Ha’iah Kibaril Ulama tentang haramnya asuransi komersil dengan semua jenisnya karena mengandung madharat dan bahaya yang besar serta merupakan tindak memakan harta orang lain dengan cara perolehan yang batil, yang mana hal tersebut telah diharamkan oleh syariat yang suci dan dilarang keras.
Lain dari itu, Hai’ah Kibaril Ulama juga telah mengeluarkan keputusan tentang bolehnya jaminan kerjasama (asuransi kerjasama) yaitu terdiri dari sumbangan-sumbangan donatur dengan maksud membantu orang-orang yang membutuhkan dan tidak kembali kepada anggota (para donatur tersebut), tidak modal pokok dan tidak pula labanya, karena yang diharapkan anggota adalah pahala Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan, dan tidak mengharapkan timbal balik duniawi. Hal ini termasuk dalam cakupan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” [Al-Ma'idah : 2]
Dan sabda nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan Allah akan menolong hamba selama hamba itu menolong saudaranya” [Hadits Riwayat Muslim, kitab Adz-Dzikr wad Du'at wat Taubah 2699]
Ini sudah cukup jelas dan tidak ada yang samar.
Tapi akhir-akhir ini sebagian perusahaan menyamarkan kepada orang-orang dan memutar balikkan hakekat, yang mana mereka menamakan asuransi komersil yang haram dengan sebutan jaminan sosial yang dinisbatkan kepada fatwa yang membolehkannya dari Ha’iah Kibaril Ulama. Hal ini untuk memperdayai orang lain dan memajukan perusahaan mereka. Padahal Ha’iah Kibaril Ulama sama sekali terlepas dari praktek tersebut, karena keputusannya jelas-jelas membedakan antara asuransi komersil dan asuransi sosial (bantuan). Pengubahan nama itu sendiri tidak merubah hakekatnya.
Keterangan ini dikeluarkan dalam rangka memberikan penjelasan bagi orang-orang dan membongkar penyamaran serta mengungkap kebohongan dan kepura-puraan. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada seluruh keluarga dan para sahabat.
[Bayan Min Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta Haula At-Ta'min At-Tijari wat Ta'min At-Ta'awuni]“.

Kemudian, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin berpendapat sebagai berikut :
Asuransi konvensional tidak boleh hukumnya berdasarkan syari’at, dalilnya adalah firmanNya “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan bathil” [Al-Baqarah : 188]
Dalam hal ini, perusahaan tersebut telah memakan harta-harta para pengasuransi (polis) tanpa cara yang haq, sebab (biasanya) salah seorang dari mereka membayar sejumlah uang per bulan dengan total yang bisa jadi mencapai puluhan ribu padahal selama sepanjang tahun, dia tidak begitu memerlukan servis namun meskipun begitu, hartanya tersebut tidak dikembalikan kepadanya.
Sebaliknya pula, sebagian mereka bisa jadi membayar dengan sedikit uang, lalu terjadi kecelakaan terhadap dirinya sehingga membebani perusahaan secara berkali-kali lipat dari jumlah uang yang telah dibayarnya tersebut. Dengan begitu, dia telah membebankan harta perusahaan tanpa cara yang haq.
Hal lainnya, mayoritas mereka yang telah membayar asuransi (fee) kepada perusahaan suka bertindak ceroboh (tidak berhati-hati terhadap keselamatan diri), mengendarai kendaraan secara penuh resiko dan bisa saja mengalami kecelakaan namun mereka cepat-cepat mengatakan, “Sesungguhnya perusahaan itu kuat (finansialnya), dan barangkali bisa membayar ganti rugi atas kecelakaan yang terjadi”. Tentunya hal ini berbahaya terhadap (kehidupan) para penduduk karena akan semakin banyaknya kecelakaan dan angka kematian.
[Al-Lu'lu'ul Makin Min Fatawa Ibn Jibrin, hal 190-191]“

Referensi: 1. Al-Quran AL-karim. 2. Al-fiqh al-Islamy wa adillatuhu, DR. Wahbah Azzuhaily. 3. Al-Islam wal manahij al-Islamiyah, Moh. Al Gozali. 4. Asuransi dalam hukum Islam, Dr. Husain Hamid Hisan. 5. Majalah al- buhuts al- Islamiyah, kumpulan ulama-ulama besar pada lembaga riset, Fatwa, dan dakwah. 6. Masail al-fiqhiyah, zakat, pajak, asuransi dan lembaga keuangan, M. Ali Hasan. 7. Halal dan haram, DR. Muhammad Yusuf al-Qordhowi. 8. Riba wa muamalat masrofiyah, DR. Umar bin Abdul Aziz al-Mutrik. 9. Riba wa adhroruhu ala al mujtama’, DR. Salim Segaf al-Djufri. 10. Masail diniyah keputusan musyawarah nasional Alim ulama NU, bandar lampung, 16-20 Rajab/ 25 januari 1992 M, 11.Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq

Rabu, 26 Oktober 2011

SOAL DAN JAWABAN LATIHAN TINDAK PIDANA DILUAR KUHP dan POLITIK HUKUM

SOAL DAN JAWABAN LATIHAN TINDAK PIDANA DILUAR KUHP


1.Apakah yang dimaksud dengan perbuatan pidana, tindak pidana, dan peritiwa pidana? Terangkan pula tujuan hukum pidanan dan pemidanaan!

Perbuatan Pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Kapan suatu peristiwa hukum dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana.

Suatu peristiwa hukum yang dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur obyektif dan unsur subyektif.
Dua unsur yang harus dipenuhi untuk menentukan adanya suatu perbuatan pidana adalah:
  1. unsur obyektif, yaitu adanya suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum atau  perbuatan yang dilarang oleh hukum dengan ancaman pidananya. Menjadi titik utama dari pengertian obyektif ini adalah tindakannya.
  2. unsur subyektif, yaitu adanya perbuatan seseorang atau beberapa orang yang berakibat pada hal yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Menjadi titik utama dari pengertian subyektif ini adalah adanya seseorang atau beberapa orang yang melakukan tindakan.
Syarat yang harus dipenuhi (sebagai unsur obyektif dan subyektif yang dipersyaratkan) dalam suatu peristiwa pidana ialah:
  • Harus ada perbuatan orang atau beberapa orang. Perbuatan itu dapat dipahami orang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa;
  • Perbuatan itu harus bertentangan dengan hukum;
  • Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang disebutkan dalam ketentuan hukum;
  • Harus terbukti ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan;
  • Harus tersedia ancaman hukuman terhadap perbuatan yang dilakukan yang termuat dalam peraturan hukum yang berlaku.



Tindak Pidana adalah Perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa
kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang - undangan

Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:
- Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) dimuat dalam buku III.
- Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten).
- Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana dengan tidak disengaja (culpose delicten).
- Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak pidana omisi (delicta omissionis).
- Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.
- Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.
- dilihat dari sudut subyek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (yang dapat dilakukan oleh siapa saja), dan tindak pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh orang memiliki kualitas pribadi tertentu).
- Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht delicten).
- Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eencoudige delicten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gequalifeceerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten).
- Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagainya.
- Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal (ekelovoudige delicten) dan tindak pidana berangkai (samengestelde delicten).
Walaupun dasar pembedaan itu terdapat titik lemah, karena tidak menjamin bahwa seluruh kejahatan dalam buku II itu semuanya itu bersifat demikian, atau seluruh pelanggaran dalam buku III mengandung sifat terlarang kerana dimuatnya dalam undang-undang. Contohnya sebagaimana yang dikemukakan Hazewinkel Suringa, Pasal 489 KUHP, Pasal 490 KUHP atau Pasal 506 KUHP yang masuk pelanggaran pada dasarnya sudah merupakan sifat tercela dan patut dipidana sebelum dimuatnya dalam undang-undang. Sebaliknya ada kejahatan misalnya Pasal 198, Pasal 344 yang dinilai menjadi serius dan mempunyai sifat terlarang setelah dimuat dalam undang-undang.
Apa pun alasan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran, yang pasti jenis pelanggaran itu adalah lebih ringan daripada kejahatan, hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih didominir dengan ancaman pidana penjara.
Dengan dibedakannya tindak pidana antara kejahatan dan pelanggaran secara tajam dalam KUHP, mempunyai konsekuensi berikutnya dalam hukum pidana materiil, antara lain yaitu:
1) Dalam hal percobaan, yang dapat dipidana hanyalah terhadap percobaan melakukan kejahatan saja, dan tidak pada percobaan pelanggaran.
2) Mengenai pembantuan, yang dapat dipidana hanyalah pembantuan dalam hal kejahtan, dan tidak dalam hal pelanggaran.
3) Azas personaliteit hanya berlaku pada warga negara RI yang melakukan kejahatan (bukan pelanggaran) diwilayah hukum RI yang menurut hukum pidana Negara asing tersebut adalah berupa perbuatan yang diancam pidana.
4) Dalam hal melakukan pelanggaran, pengurus atau anggota pengurus atau para komisaris hanya dipidana apabila pelanggaran itu terjadi adalah atas sepengetahuan mereka, jika tidak, maka pengurus, anggota pengurus atau komisaris itu tidak dipidana. Hal ini tidak berlaku pada kejahatan.
5) Dalam ketentuan perihal syarat pengaduan bagi penuntutan pidana terhadap tindak pidana (aduan) hanya berlaku pada jenis kejahatan saja, dan tidak pada jenis pelanggaran.
6) Dalam hal tenggang waktu daluwarsa hak negara untuk menuntut pidana dan menjalankan pidana pada pelanggaran relatif lebih pendek daripada kejahatan.
7) Hapusnya hak negara untuk melakukan penuntutan pidana karena telah dibayarnya secara sukarela denda maksimum sesuai yang diancamkan serta biaya-biaya yang telah dikeluarkan jika penuntutan telah dimulai, hanyalah berlaku pada pelanggaran saja.
8) Dalam hal menjatuhkan pidana perampasan barang tertentu dalam pelanggaran-pelanggaran hanya dapat dilakukan jika dalam undang-undang bagi pelanggaran tersebut ditentukan dapat dirampas.
9) Dalam ketentuan mengenai penyertaan dalam hal tindak pidana yang dilakukan dengan alat percetakan hanya berlaku pada pelanggaran.
10) Dalam hal penadahan, benda obyek penadahan haruslah oleh dari kejahatan saja, dan bukan dari pelanggaran.
11) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia hanya diberlakukan bagi setiap pegawai negeri yang diluar wilayah hukum Indonesia melakukan kejahatan jabatan, dan bukan pelanggaran jabatan.
12) Dalam hal perbarengan perbuatan sistem penjatuhan pidana dibedakan antara perbarengan antara kejahatan dengan kejahatan yang menggunakan sisten hisapan yang diperberat dengan perbarengan perbuatan anatara kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran yang menggunakan sistem kumulasi murni.
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memperhatikan atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian untuk selesainya pencurian digantungkan pada selesainya perbuatan mengambil.
Sebaliknya dalam rumusan tindak pidana materiil, inti larangan adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana. Tentang bagaimana wujud perbuatan yang menimbulkan akibat terlarang itu tidak penting. Misalnya pada pembunuhan inti larangan adalah pada menimbulkan kematian orang, dan bukan pada wujud menembak, membacok, atau memukul untuk selesainya tindak pidana digantungkan pada timbulnya akibat dan bukan pada selesainya wujud perbuatan.
Begitu juga untuk selesainya tindak pidana materiil tidak bergantung pada sejauh mana wujud perbuatan yang dilakukan, tetapi sepenuhnya digantungkan pada syarat timbulnya akibat terlarang tersebut. misalnya wujud membacok telah selesai dilakukan dalam hal pembunuhan, tetapi pembunuhan itu belum terjadi jika dari perbuatan itu belum atau tidak menimbulkan akibat hilangnya nyawa korban, yang terjadi hanyalah percobaan pembunuhan.


Peristiwa Pidana adalah perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan seseorang yang mampu bertanggung jawab.




Tujuan Hukum Pidana adalah
  • Fungsi umum – fungsi khusus
  • Fungsi umum: untuk mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat sehingga tercipta ketertiban bersama
Fungsi khusus: Melindungi kepentingan hukum (individu, masyarakat dan negara) (ii) Dasar bagi negara dalam menjalankan fungsinya,Pembatasan kekuasaan negara dalam menjalankan fungsinya

Konsep tentang tujuan diadakannya hukum pidana agaknya cenderung diorientasikan untuk memberikan perlindungan terhadap berbagai macam kepentingan warga Negara secara individu dari kesewenang-wenangan penguasa. Konsep demikian antara lain dapat ditelusuri melalui berbagai pemikiran barat khususnya yang terkait dengan gagasan tentang azas legalitas. Sementara itu, ada pula pemikiran yang menggabungkan secara sekaligus dua tujuan diadakannya hukum pidana yang telah disebutkan diatas. Sehingga konsepnya menjadi bahwa hukum pidana diadakan tujuannya adalah disamping untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang bersifat kemasyarakatan, sekaligus (secara implisit) juga melindungi kepentingan-kepentingan yang bersifat perseorangan.

Tujuan Pemidanaan adalah Bagaimana tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan, menjadi dasar penentuan dipidana atau tidak dipidananya pembuat yang melakukan tindak pidana dengan kesalahan, menentukan dalam hal ini.

Tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan dikaitkan dengan kesalahan pembuat, menentukan alasan pengenaan, bentuk dan lamanya pidana yang dapat dijatuhkan.

Tujuan pengenaaan pidana atau pemidanaan selalu menjadi perdebatan para ahli hukum pidana,dari waktu ke waktu. Tidak mengherankan apabila para ahli hukum akan gembira sekali jika dapat menentukan dengan pasti tujuan yang ingin dicapai dengan adanya penjatuhan pidana atau pemidanaan itu.berbagai kritik tentang dasar moral dan kinerja hukum pidana dan sistem peradilan pidana, dalam mencegah dan menanggulangi tindak pidana, juga diorientasikan kepada tujuan-tujuan ini. Kegagalan menentukan hal ini, menyebabkan hukum pidana kehilangan dasar moral keberlakuannya.

2.Jelaskan mengenai perbuatan Pidana yang dilakukan secara bersama – sama dan melibatkan korporasi.

Perbuatan Pidana yang Dilakukan Secara Massal1. Pengertian perbuatan pidana yang dilakukan secara massal
Untuk mendefinisikan perbuatan pidana yang dilakukan secara massal, menurut penulis dibutuhkan ketelitian dan kejelasan yang tegas, karena mengingat kata massal dalam khasanah keilmuan hukum pidana tidak dikenal dan hanya merupakan Bahasa yang timbul dan hidup di masyarakat sebagai realitas sosial.
Menurut hemat penulis perbuatan pidana yang dilakukan secara massal terdiri dari dua pengertian yang dirangkaikan menjadi satu yaitu pengertian perbuatan pidana dan pengertian massal.
Pada bab sebelumnya telah dikemukakan tentang pengertian dari perbuatan pidana (yang mana istilah perbuatan pidana yang digunakan penulis dalam tulisan ini, dan bukan tindak pidana atau peristiwa pidana) yaitu perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, dimana larangan disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut dan perlu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan / kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian ini .
Kata massal menurut kamus ilmiah populer adalah dengan cara melibatkan banyak orang; bersama-sama; secara besar-besaran (orang banyak) . Jadi berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa massal adalah sekumpulan orang banyak yang terdiri dari satu orang lebih yang tanpa batas berapa banyak jumlahnya.
Jadi berdasarkan kedua pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa perbuatan pidana yang dilakukan secara massal adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang berlaku disertai ancaman sanksi bagi pelanggarnya yang mana perbuatan tersebut dilakukan oleh sekumpulan orang banyak/lebih dari satu orang dimana jumlahnya tanpa batas.
Dengan melihat definisi tersebut, menurut analisa penulis perbuatan pidana yang dilakukan secara massal juga dapat dikatakan perbuatan pidana yang dilakukan secara kolektif, karena dalam melakukan perbuatan pidana para pelaku dalam hal ini dengan jumlah yang banyak/lebih dari satu orang dimana secara langsung maupun tidak langsung baik direcanakan ataupun tidak direncanakan telah terjalin kerjasama baik hal tersebut dilakukan secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri dalam satu rangkaian peristiwa kejadian yang menimbulkan perbuatan pidana, atau lebih spesifik menimbulkan/ mengakibatkan terjadinya kerusakan baik fisik maupun non fisik.
Adapun karena perbuatan pidana yang dilakukan secra massal disyaratkan harus adanya kerjasama baik direncakan ataupun tidak direncanakan tetap jasa dalam melakukan kerjasama tersebut disadari terjadinya dan dikehendakinya perbuatan tersebut, oleh karena itu perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dapat dikatakan sebagai delik dolus karena dilakukan dengan sengaja. Karena tidak mungkin adanya kerjasama apabila tidak disengaja.
Menurut para ahli perbuatan pidana yang dilakukan secara massal yang mengakibatkan kerusakan fisik maupun non fisik dikatakan sebagai kekerasan yang bertentangan dengan hukum, kekerasan dalam hal ini baik berupa ancaman saja maupun sudah merupakan suatu tindakan nyata dan memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap harta benda atau fisik/mengakibatkan kematian pada seseorang (definisi yang sangat luas sekali, karena menyangkut pula “mengancam” di samping suatu tindakan nyata) .
Dengan melihat definisi tentang kekerasan tersebut maka dalam pidana yang dilakukan secara massal masuk dalam kategori kekerasan kolektif (Collective Violeng).
Biasanya tindakan massa tersebut disertai/ditandai dengan ciri-ciri yaitu :

1. Anonimitas adalah memindah identitas dan tanggung jawab individual ke dalam identitas dan tanggung jawab kelompok.
2. Impersonalitas adalah hubungan antara individu di luar massa maupun di dalam massa menjadi sangat impersonal
3. Sugestibilitas adalah sifat sugestif dan menularnya.
Dengan mendasarkan ciri-ciri kerumunan massa di atas kemudian dikomparasikan dengan realitas yang ada tidak semua ciri-ciri tersebut mutlak terdapat pada semua gerakan/kerumunan massa lebih dari satu orang dan ciri-ciri tersebut bersifat kumulatif, artinya untuk ciri anonimitas dan sugestibilitas bisa jadi terdapat pada sebuah kelompok massa tapi tidak untuk impersonalitas atau sebaliknya.
Adapun yang menjadi catatan bagi penulis dalam hal ini adalah antara perbuatan pidana yang dilakukan secara massal tidak ada perbedaan yang signifikan dengan perbuatan pidana yang biasa kita kenal (dilakukan) orang seorang, hanya saja yang membedakan adalah subyek dari perbuatan tersebut yang jumlahnya lebih banyak/lebih dari satu orang. Adapun yang selama ini menjadi permasalahan adalah terkait dengan tindakan hukum dan pemberian sanksi yang adil serta efektif terhadap kelompok dan pelaku-pelaku atau sekumpulan orang yang mengalami kesulitan dalam pengaplikasiannya di lapangan .
Pada perbuatan pidana yang dilakukan secara massal untuk menentukan batas maksimal dari jumlah massa sulit, sebagaimana pengertian dari kata “massa” adalah dua orang untuk minimal dan tidak terbatas untuk maksimal. Jadi massa dalam hal ini ada 2 kategori dari jumlah massa yaitu, massa yang jelas berapa jumlah massanya dan massa yang tidak jelas berapa banyak jumlah massanya
Untuk massa yang jelas berapa jumlah massanya adalah dimana massa yang terlibat perbuatan pidana dapat dihitung berapa jumlahnya serta diketahui seberapa besar keterlibatan dalam melakukan perbuatan pidana, sebab hal tersebut sudah diatur dalam hukum pidana yaitu pada delik penyertaan (diuraikan lebih lanjut pada bab III).
Sedangkan untuk massa yang tidak jelas berapa banyak jumlah massanya adalah dimana massa banyak serta sulit dihitung dengan nominal, sehingga menyulitkan dalam menentukan apakah semua massa yang banyak terlibat semua atau tidak, atau hanya sebagiannya saja.
Jadi dalam tulisan ini fokus pembahasan adalah pada massa yang tidak jelas berapa besar jumlah massa serta nominal dari massa yang terlibat dalam melakukan perbuatan pidana.
Jadi berdasarkan uraian di atas tentang perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dalam hal ini bukan hanya sebatas pada kerusuhan massal, amuk massa pengeroyokan dan lain-lain yang dilakukan di depan umum tetapi juga mencakup semua rumusan perbuatan pidana/kejahatan tertuang di dalam KUHP diantaranya pembunuhan, pencurian, perkosaan, penipuan dll.
2. Bentuk-bentuk perbuatan pidana yang dilakukan secara massal
Dengan mengacu pada definisi perbuatan pidana yang dilakukan secara massal, dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan dengan perbuatan pidana pada umumnya, hanya saja yang membedakan adalah dari segi subyek pelakunya yang lebih dari satu orang. Oleh karena itu perbuatan pidana yang dilakukan secara massal pembahasan dititik beratkan pada kata “massal” .
Jadi berdasarkan kata “massa” yang menunjuk pada pelaku pada perbuatan pidana dimaksudkan adalah dua orang lebih dan tidak terbatas maksimalnya. Maka berdasarkan hal tersebut perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dengan massa yang terbentuk secara terorganisir.

Massa yang terorganisir adalah dimana dalam melakukan perbuatan pidana yang dilakukan secara massal, massa yang berbuat terbentuk secara terorganisir. Umumnya pada bentuk massa ini dikendalikan oleh operator-operator lapangan yang mengerahkan bagaimana dan sejauhmana massa harus bertindak. Tindakan yang dilakukan ditujukan untuk mencari keuntungan (material) secara kelompok dan dilakukan secara ilegal (melanggar hukum) .
Pada bentuk yang pertama ini massa berbuat dalam melakukan perbuatan pidana dilakukan dengan kerjasama secara fisik dan non fisik (artinya kerjasama dalam menentukan rencana yang akan dijalankan pada saat beraksi), sertadisadari dan dikehendaki terjadinya. Massa pada bentuk ini bergerak secara sistematis dan terkordinasi satu sama lainnya dan berada dibawah satu komando, yang umumnya memiliki pemimpin atau ketua sebagai motor penggeraknya. Pemimpin atau ketua mempunyai tanggungjawab yang besar dan penuh terhadap semua anggotanya selama masih dibawah kewenangannya.
Pada bentuk massa yang terorganisir dalam pembentukkannya dapat terbentuk melalui 2 cara yaitu:

a. Massa yang terbentuk secara terorganisir melalui organisasi, adalah mempunyai ciri-ciri yaitu: memiliki identitas/nama perkumpulan, memiliki struktur organisasi, memiliki peraturan yang mengikat anggotanya, memiliki keuangan sendiri, berkesinambungan dan sosial oriented.
b. Massa yang terbentuk secara terorganisir tidak melalui organisasi, adalah massa yang terorganisir hanya untuk jangka pendek atau sementara sifatnya, dan spontan dibentuk untuk melakukan perbuatan pidana, dan apabila sudah selesai apa yang dikerjakan maka langsung bubar.
Pada bentuk yang pertama ini dalam melakukan perbuatan pidana menurut Tb Ronny Nitibaskara memiliki 3 (tiga) jenis perbuatan pidana atau bahasa yang sering digunakan adalah kekerasan massa (dapat dipersamakan dengan kekerasan kolektif), adapun jenis tersebut, yaitu:
a. Kekerasan massal primitif, adalah yang pada umumnya bersifat nonpolitis, ruang lingkup terbatas pada suatu komunitas lokal, misalnya pengeroyokan, tawuran sekolah.
b. Kekerasan massal reaksioner, adalah umumnya merupakan reaksi terhadap penguasa. Pelaku dan pendukungnya tidak semata-mata berasal dari suatu komunitas lokal, melainkan siapa saja yang merasa berkepentingan dengan tujuan kolektif yang menentang suatu kebijakan/sistem yang dianggap tidak adil dan jujur. Contoh : ribuan sopir angkot mogok (didukung oleh mahasiswa karena disulut oleh adanya kenaikan retribusi dua kali dari Rp. 400 menjadi Rp. 800 yang terjadi di Bandar Lampung tahun 1996).
c. Sedangkan kekerasan kolektif modern, merupakan alat untuk mencapai tujuan ekonomis dan politis dari satu organisasi yang tersusun dan terorganisir dengan baik.
Perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dengan massa yang terbentuk tidak secara terorganisir
Massa yang terbentuk tidak secara terorganisir adalah massa yang melakukan sebuah reaksi terbentuk secara spontanitas tanpa adanya sebuah perencanaan terlebih dahulu. Pada jenis massa ini jauh lebih gampang berubah menjadi amuk massa (acting mob) (korupsi). Adapun tindakan tentang dilakukan merupakan bentuk dari upaya untuk menarik perhatian dari publik maupun aparat penegak hukum atas kondisi sosial yang kurang memuaskan dengan cara yang ilegal .
Pada bentuk kedua ini walaupun massa dalam melakukan perbuatan pidana dengan bersama-sama yang artinya adanya kerjasama, tapi dalam kerjasama yang dilakukan terjadi dengan tanpa rencana sebelumnya dan kerjasamanyapun hanya sebatas pada kerjasama fisik saja tidak non fisik.
Jadi massa yang terbentuk tidak secara terorganisir dalam melakukan perbuatan pidana tergerak untuk bereaksi dikarenakan adanya kesamaan isu dan permasalahan yang dihadapi, dan dalam melakukan aksinyapun tidak memiliki pemimpin atau ketua sebagai sebagai yang mengkordinir bergeraknya massa, dalam hal ini yang menjadi pemimpin adalah diri pribadi masing-masing dari anggota massa yang ada.
3. Faktor penyebab perbuatan pidana yang dilakukan secara massal.
Dalam kasus-kasus perbuatan pidana yang dilakukan secara massal baik dengan massa yang terbentuk secara terorganisir dan massa yang terbentuk tidak secara terorganisir, memiliki motif dan maksud yang lebih kompleks. Motif dan maksud memiliki makna yang berbeda, “motif” hanya menjelaskan tentang latar belakang perbuatan yang dilakukan seseorang. Jadi sifatnya menjawab pertanyaan mengapa pelaku berbuat, sedangkan “maksud” bermakna menjelaskan tentang apa yang hendak dicapai oleh pelaku dengan perbuatannya, jadi lebih menerangkan pada tujuan tertentu dari suatu perbuatan .
Menurut Romli Atmasasmita dengan melihat fenomena kejahatan, kekerasan khususnya dalam hal ini perbuatan pidana yang dilakukan secara massal cukup banyak terkandung perbedaan dalam motif dan maksudnya. Selain itu, perbuatan pidana massal ini juga melahirkan bentuk-bentuk tindakan/perbuatan yang bervariatif dan kompleks sehingga sangat sulit untuk menentukan kuasa kejahatan .
Jadi karena sulit dan kompleksnya penyebab/faktor yang melatarbelakangi suatu perbuatan pidana yang dilakukan secara massal, sehingga tidak ada yang mutlak atau dapat disamakan antara kasus yang satu dengan kasus yang lain tentang hal-hal apa yang melatarbelakanginya.
Dalam menentukan suatu kausa kejahatan hukum pidana dalam hal ini tidak dapat menyelesaikannya sendiri maka dibutuhkan ilmu-ilmu bantu yang relevan dalam hal ini dari segi sosiologi, kriminologi dan psikologi.
Dengan mendasarkan pada ilmu-ilmu tersebut maka faktor penyebab terjadinya perbuatan pidana massal adalah :
a. Segi sosiologi
Menurut Setiadi (1999) berbagai peneliti sosial seprti Levinson (1994), Segal, Dasery, Berry, Poortinga (1990), dan Triardis (1994), pada umumnya menemukan bahwa kekerasan kolektif disebabkan oleh karena terjadinya ketidakpuasan atau konflik antara kelompok-kelompok dalam suatu bangsa/Negara, dan biasanya berkaitan dengan sumber daya ekonomi dan kekuasaan politik yang ada .
Pada intinya, ada kelompok yang mengalami relative deprivation, yaitu perasaan tidak puas yang didasari keyakinan bahwa kelompoknya mendapat lebih sedikit dari yang sepantasnya diperoleh. Dalam hal ini bukan kelompok yang paling tertekan yang akan terlibat dalam kekerasan kolektif, tetapi mereka yang yakin bahwa mereka seharusnya dan dapat memperoleh yang lebih baik hal itu kadang-kadang disertai dengan tidak adanya kepercayaan terhadap sistem hukum yang berlaku.
b. Kriminologi
Dari imu kriminologi perbuatan pidana massal ini, dalam ilmu krimonologi dikenal dengan kekerasan kolektif dapat dijelaskan dengan menggunakan Social Control Theory (Teori Kontrol Sosial).
Pengertian “Teori Kontrol”/“Control Theory” menunjuk kepada setiap perpektif yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia. Sementara itu pengertian “Teori Kontrol Sosial” atau “Social Control Theory” menunjuk kepada pembahasan dan kejahatan dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis antara lain keluarga, pendidikan, kelompok dominan.
Pada dasarnya teori ini tidak lagi mempertanyakan mengapa orang melakukan kejahatan tetapi berorientasi kepada pertanyaan mengapa tidak semua orang melanggar hukum/mengapa orang taat kepada hukum.

Menurut Muladi, berkaitan dengan pertanggungjawaban korporasi dan memperhatikan dasar pengalaman pengaturan hukum positif serta pemikiran yang berkembang maupun kecenderungan internasional, maka pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hendaknya memperhatikan hal-hal:
1. Korporasi mencakup baik badan hukum (legal entity) maupun non badan hukum seperti organisasi dan sebagainya;
2. Korporasi dapat bersifat privat (private juridical entity) dan dapat pula bersifat publik (public entity);
3. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam bentuk organisasional, maka orang alamiah (managers, agents, employess) dan korporasi dapat dipidana baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (bi¬punishmentprovision);
4. Terdapat kesalahan manajemen korporasi dan terjadi apa yang dinamakan breach of- a statutory or regulatory provision;
5. Pertanggungjawaban badan hukum dilakukan terlepas dari apakah orang-orang yang bertanggung jawab di dalam badan hukum tersebut berhasil diidentifikasikan, dituntut dan dipidana;
6. Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara.

3.Apakah yang dimaksud dengan Tindak Pidana Umum, Tindak Pidana Khusus, dan Tindak Pidana Administrasi? Terangkan Pula Contoh kasusnya.

Tindak pidana umum adalah tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan merupakan perbuatan-perbuatan yang bersifat umum, dimana sumber hukumnya bermuara pada KUHP sebagai sumber hukum materiil dan KUHAP sebagai sumber hukum formil. Selain itu sistem peradilannya bersifat kovensional yaitu Polisi sebagai penyidik dan penyelidik, Jaksa sebagai penuntut umum,dan hakim adalah hakim peradilan umum bukan peradilan ad hoc. Contoh tindak pidana umum adalah tindak pidana pembunuhan pasal 338 KUHP, tindak pidana pencurian pasal 362 KUHP.

tindak pidana khusus adalah tindak pidana yang perundang-undangannya diatur secara khusus artinya dalam undang-undang yang bersangkutan dimuat antara hukum pidana materiil dan hukum acara pidana (hukum pidana formil). 

Contohnya perbedaan pada KUHP sebagai sumber hukum materiil pada tindak pidana umum dengan UU tindak pidana korupsi pada tindak pidana khusus:

No
Perbedaan
KUHP
UU Tindak pidana korupsi
1
Penyadapan
Tidak dibolehkan
Dibolehkan dilakukan penyadapan
2
Aparat penegak hukum
Polisi sebagai penyidik dan penyelidik
Penyidik dan penyelidik selain polisi juga bisa jaksa penuntut umum dan penyidik KPK
3
Sistem peradilannya
Bersifat konvensional
Secara ad hoc

tindak pidana administrasi adalah pendayagunaan hukum pidana untuk menegakkan hukum administrasi. Padangan demikian memposisikan hukum pidana sebagai ultimum remidium. Artinya hukum pidana adalah senjata pamungkas terakhir yang digunakan setelah sarana hukum lainnya keder. Namun pada nyatanya tidak juga seekstrim itu. Hukum pidana acap lumpuh meskipun kadang diposisikan sebagai upaya pertama (primum remidium). Bahkan sering lumpuh karena tidak mampu mengalahkan hukum administrasi. Kita lihat saja satu contoh kecil ketika Dakwaan Illegal Logging dan Korupsi yang dikenakan kepada Adelin Lis tidak berdaya dipengadilan hanya karena selembar surat dari Menteri Kehutanan (aspek administrasi) yang menyatakan bahwa tindakan Adelin Lis bukanlah tindak pidana, melainkan pelanggaran administrasi.

4.Apakah arti penting pencantuman ketentuan pidana dalam suatu ketentuan perundang – undangan ? Terangkan pula asas hukum yang terkait.

Asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yangmerumuskan tindak pidana tidak dapat diberlakukan secara surut (retroaktif). Pemberlakuan secara surut merupakan suatu kesewenang-wenangan,yang berarti pelanggaran hak asasi manusia. Seseorang tidak dapat dituntutatas dasar undang- undang yangberlaku surut. Namun demikian,dalam prakteknya penerapan asas legalitas ini terdapat penyimpangan-penyimpangan. Sebagai contoh, kasus Bom Bali,

kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor-Timur, dan kasus Tanjung Priok. Dalam kasus-kasus tersebut, asas legalitas disimpangi dengan memberlakukan asas retroakti.


5.Dimanakah letak perbedaan antara tindak pidana tertentu dalam KUHP dan diluar KUHP? Terangkan pula pasal atau ketentuan perundang -undangan terkait!

Tindak pidana tertentu dalam KUHP merupakan tindak pidana yang telah termasuk dalam KUHP dan adanya ketentuan/ peraturan perundangundangan yang mengatur tindak pidana tersebut sedangkan tindak pidana tertentu di luar KUHP merupakan tindak pidana yang belum termasuk dalam KUHP namun telah diatur tersendiri dalam ketentuan/ peraturan perundang-undangan khusus.
Contoh:
a. KUHP telah mengatur kejahatan terhadap keamanan negara pada Bab I Buku II KUHP. Ketentuan lebih lanjut tentang tindak pidana ini diatur pula dalam Undang-Undang No.27 Tahun 1999 tentang
Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara. Sehingga kejahatan terhadap keamanan negara merupakan salah satu
contoh tindak pidana tertentu dalam KUHP. TINDAK PIDANA TERTENTUDI LUAR KUHP 2011
b. Contoh tindak pidana tertentu di luar KUHP, antara lain: tindak
pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana lingkungan, kejahatan HAM, tindak pidana fiskal, tindak pidana ekonomi dll. Tindak pidana tersebut tidak termasuk dan belum diatur dalam KUHP serta telah diatur tersendiri dalam undang-undang khusus.
Misalnya:
1) UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2) UU No.23 Tahun 1997 jo UU No.32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.


6.Apakah Pelanggaran terhadap UU Lingkungan Hidup dapat dikategorikan sebagai tindak pidana tertentu diluar KUHP? Berikan Pendapat saudara dengan disertai contoh kasus!

Buku II KUHP tentang kejahatan Bab I sampai dengan Bab XXXI dan
Buku III KUHP tentang pelanggaran Bab I sampai dengan Bab IX tidak
mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap lingkungan hidup.Tindak pidana ini diatur tersendiri dalam UU No.23 tahun 1997 jo UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Oleh karena tindak pidana terhadap lingkungan hidup belum diatur dalam KUHP tetapi telah diatur tersendiri dalam undang-undang khusus maka pelanggaran terhadap UU Lingkungan Hidup dapat dikategorikan sebagai tindak pidana tertentu di luar KUHP.
Contoh kasus: Kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
“Semburan lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas di Dusun Balongnongo, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur telah menyebabkan tergenangnya kawasan pemukiman, pertanian dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya serta mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.” Dalam kasus ini, Polda Jawa Timur telah menetapkan 13 tersangka yakni:

a) Ir. EDI SUTRIONO selaku Drilling Manager PT. Energy Mega Persada, Tbk.
b) Ir. NUR ROCHMAT SAWOLO, MESc selaku Vice President Drilling Share Services PT. Energy Mega Persada, Tbk.
c) Ir. RAHENOD selaku Drilling Supervisor PT. Medici Citra Nusa.
d) SLAMET BK selaku Drilling Supervisor PT. Medici Citra Nusa.
e) SUBIE selaku Drilling Supervisor PT. Medici Citra Nusa.
f) SLAMET RIYANTO selaku Project Manager PT. Medici Citra Nusa.
g) YENNY NAWAWI, SE selaku Dirut PT. Medici Citra Nusa.
h) SULAIMAN Bin H.M. ALI selaku Rig Superintendent PT. Tiga
Musim Mas Jaya.
i) SARDIANTO selaku Tool Pusher PT. Tiga Musim Mas Jaya.
j) LILIK MARSUDI selaku Driller PT. Tiga Musim Mas Jaya.
k) WILLEM HUNILA selaku Company Man Lapindo Brantas, Inc.
l) Ir. H. IMAM PRIA AGUSTINO selaku General Manager Lapindo
Brantas, Inc.
m) Ir. ASWAN PINAYUNGAN SIREGAR selaku mantan General
Manager Lapindo Brantas, Inc.
Para tersangka dijerat Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP dan UU No.23
tahun 1997 Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 42 tentang Pencemaran
Lingkungan dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara.


7.Bagaimana kaitan antara Tindak Pidana Khusus dengan KUHP dan KUHAP ? Terangkan pula mengenai perbedaan lingkup tindak Pidana khusus dan tindak Pidana Tertentu? Berikan contoh.

Kaitan antara Tindak Pidana Khusus dengan KUHP dan KUHAP adalah bahwa ketentuan dalam KUHP dan KUHAP berlaku juga untuk Tindak Pidana Khusus sepanjang Undang-Undang yang mengatur tindak pidana khusus tersebut tidak mengaturnya. Hal ini terdapat dalam Pasal 103 KUHP dan 284 KUHAP, yaitu: ]
a. Pasal 103 KUHP berbunyi “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.” TINDAK PIDANA TERTENTU DI LUAR KUHP 2011
b. Pasal 284 KUHAP, berbunyi:
  1. Terhadap perkara yang ada sebelum undang-undang inidiundangkan, sejauh mungkin diberlakukan ketentuan undangundang ini.
  2. Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan,maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undangundangini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai
    ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undangundangtertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidakberlaku lagi.Perbedaan lingkup tindak pidana khusus dan Tindak PidanaTertentu dalam KUHP terletak pada ada tidaknya ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana tersebut dalam KUHP.Lingkup tindak pidana tertentu dalam KUHP yaitu tindak pidana yang telah termasuk dalam KUHP dan adanya ketentuan/ peraturan perundangundangan yang mengatur tindak pidana tersebut sedangkan tindakpidana tertentu di luar KUHP (tindak pidana khusus) yaitu tindak pidana yang belum termasuk dalam KUHP namun telah diatur tersendiri alam ketentuan/ peraturan perundang-undangan khusus.
8.Apakah ketentuan buku I KUHP berlaku untuk tindak Pidana tertentu dalam KUHP dan di luar KUHP? Berikan contoh kasusnya.

Dalam KUHP dan di luar KUHP sepanjang ketentuan tersebut tidak diatur oleh ketentuan perundang-undangan lain yang mengatur tindak pidana tertentu di luar KUHP. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 103 KUHP, yang berbunyi “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai. Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain. Hal ini berlaku asas Lex Specialist Derogate Lex Generalis.

Contoh kasus: Penganiayaan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Ketentuan tentang tindak pidana penganiayaan telah diatur dalam pasal 351 KUHP namun ketika penganiayaan tersebut dilakukan oleh suami terhadap istrinya maka ketentuan pasal 351 KUHP tersebut tidak berlaku setelah adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tanggal 22 September 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pasal 1 ayat 1 UU No.23 Tahun 2004 menyebutkan bahwa:
“Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.” UU No. 23 Tahun 2004 juga mengatur ketentuan pidananya, antara lain:

a. Pasal 46 UU NO.23 Tahun 2004
“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”

b. Pasal 47 UU NO. 23 Tahun 2004
“Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 dan pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).” Berdasarkan penjelasan tersebut maka ketentuan Buku I KUHP tetap berlaku sepanjang tidak ada ketentuan yang mengatur secara khusus dalam UU tindak pidana tertentu di luar KUHP. Namun apabila UU tindak pidana tertentu di luar KUHP telah mengaturnya secara khusus maka ketentuan dalam UU tindak pidana tertentu di luar KUHP mengesampingkan ketentuan Buku I KUHP.

9.Apakah arti penting diberlakukannya Undang – undang informasi dan transaksi Elektronik (UUITE) terhadap pembaruan hukum pidana.

Arti penting diberlakukannya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) terhadap pembaruan hukum pidana adalah perluasan dalam hal alat bukti. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan
terdakwa. Alat bukti yang sah menurut Pasal 1866 KUH Perdata terdiri bdari bukti tulisan, bukti dengan saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Seiring dengan perkembangan jaman, saat ini telah marak transaksitransaksi elektronik yang menghasilkan bukti-bukti secara elektronik, misalnya : print out mesin atm, faksimili, email dll. Adanya UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (“UU ITE”) telah memperluas pengertian alat bukti menurut pasal 184 ayat 1 KUHAP dan pasal 1866 KUH Perdata. Definisi informasi elektronik menurut Pasal 1 angka 1 UU ITE adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks,
telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Selain itu, Pasal 5 ayat (1) UU ITE menyatakan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti hukum yang sah.


10.Bagaimana proses penegakan hukum atas tindak pidana yang dikategorikan sebagai tindak pidana tertentu di luar KUHP? Misal: Tindak Pidana Perpajakan, Perbankan, dsb

sebagaimana diatur dalam UU tindak pidana tertentu di luar KUHP tersebut dan apabila UU tindak
pidana tertentu di luar KUHP tidak mengaturnya maka proses penegakan hukum atas tindak pidana tertentu di luar KUHP mengacu/ berdasar pada ketentuan dalam KUHP maupun KUHAP.
Contoh:
a) UU No.23 Tahun 1997 jo UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
1) Pasal 95 ayat 1 UU No.32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa “Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu
antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri.
2) Pasal 95 ayat 2 UU No.32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa” Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penegakan hukum terpadu diatur dengan peraturan perundang-undangan.”
b) UU No.10 Tahun 1995 jo UU No. 17 Tahun 2006 tentang kepabeanan
1) Pasal 112 ayat 1 berbunyi “Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentudi lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk
melakukan penyidikan tindak pidana di bidang kepabeanan.”
2) Pasal 112 ayat 3 berbunyi “Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.”
c) UU No.23 Tahun 1999 jo UU No.3 Tahun 2004 tentang BankIndonesia dan UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam rangka menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki ketahanan dalam menghadapi resiko, Bank Indonesia menerapkan law enforcement atas tindak pidana perbankan bekerja sama dengan Kepolisian RI dan Kejaksaan RI. Kewenangan Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan secara lengkap tertuang dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2004 dan Undang-Undang No.7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk :
1) Memberikan izin (right to licence);
2) Mengatur (right to regulate);
3) Mengawasi (right to supervise); serta
4) Mengenakan sanksi (right to impose sanction). Terkait dengan kewenangan mengenakan sanksi, Bank Indonesia selaku otoritas perbankan melalui mekanisme pengawasan dan pembinaan hanya dapat menyelesaikan perbuatan yang bersifat administratif serta hanya berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap suatu bank yang terbukti melakukan kegiatan usaha yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku sedangkan penyimpanganyang mempunyai indikasi tindak pidana, proses pengenaan sanksinyadiserahkan kepada penegak hukum sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku.




















SOAL DAN JAWABAN LATIHAN POLITIK HUKUM

1. Pengertian Politik Hukum Berikut ini pengertian politik hukum menurut para ahli:
a. Satjipto Rahardjo Politik Hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat.
b. Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus Politik Hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu (menjadikan sesuatu sebagai hukum). Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum dan penerapannya.
c. L.J. Van Apeldorn Politik hukum sebagai politik perundang-undangan. Politik hukum berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundangundangan. (Pengertian politik hukum terbatas hanya pada hukum tertulis saja)
d. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto Politik hukum sebagai kegiatan-kegiatan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai.
2. Karakter produk hukum yaitu sifat atau watak produk hukum, misalnya:
sifat memaksa, sifat tidak berlaku surut, sifat umum dll.Jenis karakter produk hukum, antara lain:
a. Responsif/populistik: Beberapa hal tentang karakter responsif, antara lain:
1) Definisi: hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat.
2) Proses pembuatan mengikutsertakan masyarakat (sebanyakbanyaknya) yang diwakili melalui individu-individu, atau kelompokkelompok sosial dalam masyarakat.
3) Aspiratif: memuat materi-materi yang umumnya sesuai dengan keinginan dan kehendak masyarakat.
4) Limitative: artinya bahwa peluang untuk menafsirkan suatu materi sangat dibatasi karena kedetailan isi dan tujuannya (peraturan pelaksana hanya bersifat teknis)
b. Konservatif/ortodoks/elitis yaitu produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elite politik, keinginan pemerintah, dan menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara. Hal-hal lain dari karakter konservatif, antara lain:
1) Pembuatannya didominasi oleh elite-elite politik tertentu, atau lembaga negara terutama oleh pemegang kekuasaan eksekutif.
2) Positivis-instrumentalis: substansinya memuat materi-materi demi mewujudkan keinginan dan kepentingan program pemerintah saja.
3) Open interpretative: peluang untuk ditafsirkan sangat terbuka, karena isi hukumnya singkat, hanya pokok-pokoknya saja sehingga cenderung dijadikan alat untuk mengatur sesuai visi dan misinya sendiri.
3. Politik hukum Hindia Belanda pada masa penjajahan adalah
politik hukum lama. Pemerintah Hindia Belanda menerapkan asas konkordansi yaitu
menerapkan hubungan yang berlaku di Belanda berlaku juga di Hindia Belanda selain hukum adat dan hukum Islam. Dengan kata lain, asas konkordansi yaitu pemberlakuan hukum Belanda di sebuah wilayah Hindia Belanda. Berikut ini beberapa pandangan politik hukum penjajah Belanda di Hindia Belanda:
a. Secara keseluruhan politik hukum Belanda sama isinya dengan politik hwed untuk tanah atau aja hanya di Hindia Belanda.
b. Pandangan politik Hukum Belanda sama dengan politik umum dan politik hukum dari hampir semua orang Eropa dan negara barat terhadap daerah timur yang mereka jajah.
c. Umumnya daerah yang dapat mereka kuasai yaitu daerah di Afrika dan Asia.
d. Mereka berpandangan bahwa kebudayaan barat bersifat tinggi, baik, mulia sedangkan kebudayaan timur bersifat rendah, terbelakang, primitif, sangat bergantung pada alam.
e. Orang yang berpegang pada kebudayaan barat maju sedangkan orang yang berpegang pada kebudayaan timur ketinggalan zaman.
f. Mereka memandang pendidikan asli adalah rendah, pendidikan Islam adalah rendah. Hal ini dapat dilihat pada daerah jajahan Inggris, Perancis dan Belanda.
g. Usaha penjajah Belanda memaksakan sistem kebudayaan ke Hindia Belanda berhasil sehingga pemikiran sebagian bangsa Indonesia berpihak pada penjajah Belanda atau Barat sehingga terjadi dikotomi Timur dan Barat. Politik Pembangunan Hukum Nasional Secara normatif, pembangunan hukum nasional khususnya hukum pidana dimulai sejak masa permulaan berdirinya Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Dasar hukumnya adalah pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.” Berdasarkan ketentuan ini maka KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berlaku di Indonesia. Seiring dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang semakin cepat dan beragam maka mulai tahun 1946 melalui
UU No.1 tahun 1946 dibuatlah beberapa undang-undang pidana di luar KUHP.

    4.Menurut Marc Ancel, kebijakan hukum pidana (Penal Policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang- undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Yang dimaksud dengan upaya penal adalah upaya-upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana sedangkan upaya non penal yaitu upayaupaya penanggulangan kejahatan bukan dengan hukum pidana atau di luar hukum pidana, misalnya: pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment), mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan, dll 5. Makna/ Pengertian Pembaharuan Hukum Pidana Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa pembaruan hukum pidana padahakekatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi danreformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosial politik,sosial filosofis, dan sosio kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.Ruang Lingkup Pembaharuan Hukum PidanaBarda Nawawi Arief dalam pembaharuan hukum pidana berorientasi padatiga hal, yaitu: a. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakanPembaruan hukum pidana dapat berorientasi kepada kebijakan sosial yang pada hakekatnya adalah bagian dari upaya untuk mengatasi masalah- masalah sosial. Sedangkan sebagai kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada hakekatnya adalah bagian dari upaya perlindungan terhadap masyarakat.
    b. Dilihat dari segi kebijakan penegakan hukum Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya memperbarui substansi hukum.
    c. Pembaharuan hukum pidana hendaknya dilakukan dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law), antara lain: dalam hukum agama dan hukum adat. 6. Permasalahan yang muncul dilihat dari sudut pembaharuan hukum pidana, antara lain: a. Masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana Menurut Sudarto, dalam menghadapi masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana (masalah kriminalisasi), harus diperhatikan hal-hal, sebagai berikut: 1) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil spiritual berdasarkan Pancasila sehingga penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. 2) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan/ atau spiritual) atas warga masyarakat. 3) Penggunaan hukum pidana harus memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle). 4) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting). b. Masalah penentuan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar Dalam penentuan sanksi apa yang sebaiknya dikenakan kepada si pelanggar, hal-hal yang harus diperhatikan, antara lain: 1) Sanksi pidana harus disepadankan dengan kebutuhan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan masyarakat. 2) Pidana hanya dibenarkan apabila ada kebutuhan yang berguna bagi masyarakat. 3) Pidana yang tidak diperlukan tidak dapat dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat. 4) Batas-batas sanksi pidana ditetapkan berdasarkan kepentingankepentingan masyarakat dan nilai-nilai yang mewujudkannya. 7. Dalam rangka melakukan pembaharuan/ rekonstruksi terhadap KUHP, saat ini sedang disusun konsep RUU KUHP yang bertolak dari ide dasar keseimbangan. a. Yang dimaksud dengan ide dasar keseimbangan adalah suatu gagasan dasar bahwa dalam melakukan pembaharuan/ rekonstruksi terhadap KUHP khususnya mengenai syarat pemidanaan harus terdapat keseimbangan antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan individu dan antara faktor objektif dengan faktor subjektif. Materi konsep KUHP (sistem hukum pidana materiil), secara garis besar dapat disebut dengan ide keseimbangan, yang mencakup: 1) keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum/ masyarakatdengan kepentingan individu/ perseorangan. 2) keseimbangan kepentingan umum/ individu yang tercakup juga ide perlindungan/ kepentingan korban dan ide individualisasi pidana. 3) Keseimbangan antara unsur/ faktor objektif (perbuatan/ lahiriah)dengan subjektif (orang/bathiniah/sikap bathin). 4) Keseimbangan antara kriteria formal dan materiil. 5) Keseimbangan antara kepastian hukum, kelenturan/ elastisitas/ fleksibilitas dan keadilan. 6) Keseimbangan antara nilai-nilai nasional dengan nilai-nilai global/ internasional/ universal.
    b. Dasar/ landasan pemikiran bahwa penyusunan konsep RUU KUHP bertolak/ berorientasipada ide dasar keseimbangan adalah bahwa saat ini politik hukum pidana yang digunakan terlalu memberatkan kepada perlindungan kepentingan politik negara (Staate’s policy) dan kepentingan hak-hak masyarakat (Comunal rights) sehingga mengancam kebebasan individual (Civil liberties). Hal ini terlihat dari kebijakan kriminalisasi atas perbuatan yang berada pada ranah privat (hak-hak individu) yang cenderung berlebihan (overcriminalization) karena jauh memasuki wilayah paling personal seseorang. c. Implementasi ide keseimbangan dalam kebijakan formulasi RUU KUHP yang berhubungan dengan: 1) Sumber hukum pidana Pada umumnya, sumber hukum pidana terdiri dari sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Sumber hukum materiil adalah tempat dari mana materiil itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah (kriminologi, lalulintas), perkembangan internasional dan keadaan geografis. Sedangkan sumber hukum formal merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu berlaku formal. Sumber hukum formal yang diakui umum, antara lain: Undang-Undang, perjanjian antar negara, yurisprudensi dan kebiasaan. Terkait dengan implementasi ide keseimbangan dalam kebijakan formulasi RUU KUHP yang berhubungan dengan sumber hukum pidana maka harus ada keseimbangan antara sumber hukum pidana yang digunakan dalam RUU KUHP tersebut baik sumber hukum materiil maupun sumber hukum formilnya. 2) Asas-asas atau syarat-syarat pemidanaan Asas-asas atau syarat-syarat pemidanaan didasarkan pada dua pilar/ asas yang fundamental, yaitu asas legalitas (merupakan asas kemasyarakatan) dan asas kesalahan/ culpabilitas (merupakan asas kemanusiaan/individual). Terkait dengan implementasi ide keseimbangan dalam kebijakan formulasi RUU KUHP yang berhubungan dengan asas-asas atau syarat-syarat pemidanaan maka harus ada keseimbangan penggunaan kedua asas tersebut baik sisi legalitas maupun sisi culpabilitasnya. 3) Aturan peralihan (dalam hal perubahan perundang-undangan) Aturan Peralihan Pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen keempat tahun 2002 berbunyi “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetep berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.Terkait dengan implementasi ide keseimbangan dalam kebijakan formulasi RUU KUHP yang berhubungan dengan aturan peralihan ini maka harus ada keseimbangan antara peraturan perundang-undangan yang masih tetep berlaku dengan peraturan perundang-undangan yang baru. Demikianlah beberapa soal latihan Politik Hukum Pidana beserta